Rabu, 21 September 2016

TELELOVE 66

PANGERAN. 22


KEMBALI KE ASAL




Di layar telpon genggamku yang kecil ini aku bisa membuat tampilan tiga dimensi lengkap dengan perbesarannya. Aku hanya tinggal berharap bahwa tak akan ada orang mematikan listriknya. Karena penyerentaku sudah lama tak aku isi energinya.
            Aku mulai menggeser-geser peta kota ini, lebih kecil, hingga gambar tiga dimensi gedung Bio-GO ini. Beberapa gedung aku tak mengenalnya. Tapi gedung beratap kubah yang transparan itu.
            Lebih besar lagi.
Lebih besar lagi.
Aku melakukan perbesaran untuk sebuah gambar: sebuah tempat dimana aku dulu menghabiskan waktuku dengan sia-sia. Aku di sana hanya  untuk berjemur, mengelupas, makan, pokoknya segala kegiatan ‘normal’ seorang manusia buatan ‘abnormal’.
            Hutan Buatan!
            Dari proyeksi penyerenta mungilku aku bisa melihat ke dalamnya walau samar. Hutan itu, apa yang berubah? Semakin lebat? Ya terakhir aku ada di sana, silmulasi baru telah mereka lakukan, dengan memasukan manusia buatan  Karnivora, dan menumbuhkan rumput gajah, membiarkannya begitu saja.
            Aku menangkap Ada gerakan di gambarku. Oh apa itu? Di sela belukar vegetasi hutan hujan, sekelompok orang nampak berjalan  mengendap-endap. Ada yang aneh dari penampilan para peneliti itu. Kali ini mereka menggunakan helm, kacamata pelindung yang canggih yang tergabung dengan  head seat yang merupakan alat komunikasi. Kukira, kacamata itu juga bekerja disesuaikan dengan kemampuan mata pemakainya. Aku pernah melihat iklan  tentang kacamata ini. Kaca mata itu  bisa melakukan zoom, dan pencarian berdasarkan panas tubuh mahluk yang lain sekaligus, hingga estimasi jarak dengan objek.  Luar biasa.
Senjata yang mereka bawa bukan seperti senjata berpeluru jarum suntik lengkap dengan biusnya. Senjata itu nampak seperti senjata sungguhan. Sementara yang lain membawa alat panah, layaknya alat panah yang digunakan para atlet  pemanah.
            Wajah mereka nampak tegang. Apakah mereka para pegawai baru? Nampaknya mereka bukan orang-orang yang bekerja disana. Mereka bukan para penembak jitu yang tugasnya mengambil kami untuk diperiksa di ruang laboratorium. Kucoba mencari cara untuk mendengar apa yang terjadi.
            “roger... roger... objek arah jam sembilan... ganti.”
            “Ya, aku melihatnya...”
             Aku bisa mendengar suara mereka! Aku melihat arah yang mereka maksud.
Sekelompok para carnivora. Oh? Oh!
            Mereka pasti para pemburu. Aku coba menghitungnya. Ada sepuluh orang yang terbagi dalam tiga kelompok. Sepuluh pemburu untuk luas hutan buatan yang 100 hektar, dengan populasi buruan... tentu saja aku tak tahu berapa jumlahnya.  Tapi dengan gambaran hutan buatan yang dibuat sealami mungkin. Seharusnya  populasi disana dalam keseimbangan. Dalam neraca ekologi yang  sehat. Perburuan baru  dilakukan untuk  mengkontrol populasi.
            Jadi, mungkin, mereka diturunkan disana sebagai ‘pengontrol’ populasi hewan tertentu? Hewan apa? 
            Kuakui ini adalah ide cerdas para ilmuwan itu. Untuk menutupi kerugian ujicoba yang gagal, operasional pemeliharaan yang mahal, gaji para ilmuwan yang tinggi, mereka jadikan hutan buatan itu menjadi kawasan perburuan!
            Aku pastikan, kegiatan ini pasti ilegal! Mengingat, hutan buatan ini adalah tempat buangan spesimen gagal. Menurut prosedur seharusnya mereka membunuh para mutan dan mansis yang abnormal ini. Tapi mereka malah menyembunyikannya di sini.
            Kau tahu, setelah aku pandai dan menelusurinya, ternyata keberadaan kami dipertahankan karena kami bisa menjadi ‘industri mahluk hidup’  yang menjanjikan.
Kini aku melihatnya sendiri. Hutan Buatanku yang damai tentram itu telah menjadi arena uji nyali para manusia gila yang haus hiburan.
            Mereka pasti orang-orang sombong yang menempatkan diri diatas para penggemar  olahraga pengundang adrenalin semacam arum jeram, panjat gedung, pendaki puncak everest di musim dingin, para penyelam di kutub, para penjelajah perut bumi.
Hanya karena melakukan ini dengan ilegal dan pasti biaya mahal. Selain itu, mereka pasti terayu oleh iklan gombal:
            *menyumbang, demi ilmu pengetahuan*
            Coba lihat cara mereka menaiki pohon Trambesi besar itu! Tanpa ragu mereka menancapkan alat-alat panjat tebing seolah mereka memanjat batu yang tak bernyawa.
            Lalu dari atas sana, mereka membidikan senapannya ke arah gerombolan Carnivora yang sedang berjalan jalan santai.
            Tap! Seekor karnivora buatan  [1]jatuh, dia nampak  mengeram, lalu kejang, teman-temannya menghentikan langkah dan mengelilinginya. Seekor betina carnivore mengendus-endusnya. Lalu mulai menguik, mendesah, kawanan itu lalu diam, menunduk, sebagian lagi terduduk nampak shock.
Saat mereka saling mendekat dalam kerumunan itu, tiba-tiba jasad carnivore yang tertembak itu meledak. Memuncratkan darah kesegala arah. Bukan cuma darahnya memuncrat, tapi juga darah para teman-teman segerombolannya.
Teman-teman carnivore itu telah ikut dalam perjalanan ke alam kematian.
“Oleeeeeeeeee!” terdengar teriakan pemburu yang berhasil menembak jitu. Disahuti oleh  “Oleeeee…”’ dari pemburu lain di arah lain di tempat lain dalam hutan buatan.
 Tak lama dari ledakan pertama, terdengar ledakan ke dua, di arah lain.
Lalu terdengar teriakan pemburu,”Oleeeeeeeee!”
Disahuti, “Oleeeee!” lagi oleh pemburu yang lain.  Dan lagi.
Para  Primata  buatan berteriak-teriak panik. Meloncat-loncat dari pohon satu ke pohon yang lain mencari tempat yang tertinggi, setinggi mungkin. Mereka pasti berpikir para Homo sapiens  itu tak akan dapat mengejar mereka.
Karena Homo sapiens adalah mahluk yang berjalan tegak di atas tanah, sedang primata buatan ini mahluk arboreal. Pohon adalah wilayah kekuasaan mereka.
Mereka duga begitu? Mereka pasti salah!
Tap!
Tembakan sunyi itu memecahkan hipotesa para Primata buatan.
“Oleeeeee…!” teriak pemburu lain.
Disahuti oleh “Oleee…!” dari yang lain.
Para Primata buatan semakin menjerit panic. Pucuk-pucuk pohon berderak-derak menopang goncangan tubuh mereka.
Hutan Buatan yang semula dipenuhi irama nyanyian alam, kini begitu ribut tanpa irama.
***



[1]  Aku sebut saja semua jenis mahluk dalam Hutan Buatan sebagai mahluk buatan, karena semua yang ada disana bukan ‘mahluk sesungguhnya’ yang diciptakan oleh Sang Pencipta.



BERSAMBUNG 

Tidak ada komentar:

Translator: