Kamis, 22 September 2016

TELELOVE 67

PANGERAN 22


KEMBALI KE ASAL



Di pohon yang terguncang-guncang itu, aku  lihat gerombolan burung Pelikan buatan terbang spontan, tanpa rencana. Terbang hanya berputar-putar di langit hutan buatan yang dibatasi oleh kaca polymer  berpori.
Mereka pun  berteriak kalut. Nampaknya mereka ingin menembus langit hutan buatan yang ‘pendek’ itu. Mereka pasti ingin sekali terbang ke langit yang sebenarnya.
Ke manapun mereka terbang, mereka hanya akan melihat hasil aksi terror gila para pemburu itu. Mereka itu cuma ada di hutan buatan.
Jika para ilmuwan menginginkan hormone  adrenalin sebagai hasil sampingan industri biologis ini, maka kali ini mereka benar-benar telah berhasil melakukannya. Hanya saja mereka harus memikirkan bagaimana cara mengambilnya, mengumpulkannya, atau memanennya.
Hutan buatanku menjerit pedih. Pikiranku kalut. Aku –pasti- akan mengelupas lagi.
***

Aku harus tenang! Kupejamkan mataku, kusenyapkan rimba pikiranku. Jantungku terasa berdetak kencang. Ya Tuhan, tolonglah aku, hanya Engkaulah yang mampu menahan setiap mili epidermisku meluruh. Hanya Engkaulah yang dapat menahan setiap selku mengejang.
            Takdirku ada dalam genggamanMu.
Aku pasrah.
            Lima detik. Lima menit. Aku berhasil menahan kekalutanku. Ibu Ratija! Kenapa aku selalu lupa ini? Aku harus selalu ingat nasihatmu:
hanya jiwa yang pasrahlah yang dapat merdeka dari segala penderitaan.’
Ya, baru beberapa hari aku tidak disamping ibu Ratija, aku sepertinya hilang kendali . Emosiku mudah sekali dipermainkan oleh keadaan, hingga aku mengelupas kapanpun sarafku menginginkannya.
Aku tahu, seharusnya bukan karena ibu Ratija aku jauh lebih terkendali, tapi karena jiwaku yang seharusnya menerima takdirnya, ikhlas atas segala anugerahNya. Aku harus selalu ingat, bahwa Tuhanlah penggenggam jiwaku.
 Dialah yang mampu membuatku lega dalam kesesakan. Dialah yang membebaskanku dari takdir keterbatasanku. Dialah yang menyempurnakannya dari ketaksempurnaan tubuhku.
***

Belum habis lelahku setelah perjalanan yang cukup jauh, melalui berbagai kejadian yang membuat sel-sel sarafku terkejut menyaksikannya. Kini kejutan ini terpampang di depan pengelihatanku. Dari atas pohon Mangga  di depan pelataran parkir ini,  aku dapat melihat dokter Rut keluar dari mobil  SUV. Dia berdiri sejenak, lalu menengok jam tangannya. Tak berapa lama, sebuah Lambhorgini  sport klasik merapat di sisinya dengan anggun, luwes, efesien.
            Seorang pria membelakangiku keluar dari sana. Mereka bersalaman, kaku. Wajah dokter Rut nampak lebih tua dari terakhir aku melihatnya.
 Terakhir? Kapan itu? Yang pasti sudah lama sekali. Ya, aku tak salah menghitung.
            Oh, andai aku dapat bebas menemuinya. Aku ingin sekali sekedar menyapanya,
            ‘Hallo dokter Rut! Apa kabar? Aku begitu rindu. Apakah kau kehilangan diriku?’ kubayangkan dia pasti akan terkejut. Mendengarku, mengatakan sapaan dengan bahasa yang sopan, jelas, dan –sangat manusia-.
            Tapi aku tak mungkin menyapanya sekarang, karena di sisinya ada orang lain. Mereka berjalan terburu.
            “Dokter!” seseorang memanggilnya. Orang itu berlari ke arah mereka. Wajah mereka begitu serius. Aku dapat melihat si pengemudi Lamborghini sport klasik. Tapi aku sulit mempercayai pengelihatanku.
 Dia adalah pak Jan. Orang yang selalu membuatku iri dan cemburu. Ada hubungan apa diantara mereka? Ada urusan apa ‘arsitek’ dunia  periklanan itu ada di sini?
            Jarak kami yang jauh tidak cukup membuatku mampu mendengar pembicaraan mereka. Akupun tak dapat mengikuti gerakan bibirnya karena sudut pandangku yang berganti-ganti. Aku harus mengendap-endap loncat dari ujung pohon yang satu ke ujung pohon yang lain.
            Mereka masuk ke dalam sebuah gedung. Jadi aku kehilangan jejak. Sial.
            Jika aku menemui dokter Rut di dalam gedung, pasti sangat berbahaya. Karena aku merupakan mahluk contoh yang nyaris sempurna, sehingga aku sangat berharga bagi mereka. Dalam keadaan mati, ataupun hidup.
            Jika aku tertangkap hidup-hidup, bukan mustahil aku akan mengalami kehidupan lamaku lagi. Tidak, jika aku berada di Hutan buatan, itu akan semakin mengerikan. Ingat saja keganasan para pemburu itu.
            Jika aku sampai terbunuhpun, tetap saja aku adalah aset berharga bagi mereka. Ini menyangkut rantai DNAku yang unik.
            Kalau begitu aku harus sabar menanti salah satu diantara mereka ke luar. Tapi sampai kapan?          Kuputuskan aku akan menunggu dokter Rut di dalam mobilnya saja.
Semoga dokter Rut akan pulang, sendirian, secepatnya.
***

“Hallo...” aku tak bisa menahan suaraku demi kusadari  dia telah berada di dalam mobil ini. Di sampingku. Pria tua yang menyayangiku. Dokter Rut.
            “Oh... oh.. ough...” jelas sekali dia kaget. Seperti dugaanku, dia langsung menutup dan mengunci mobilnya. Lalu menjalankan mobilnya. Aku bisa melihatnya dokter Rut gugup.
            “Apa kabar dokter?” suaraku terdengar gemetar.  Aku lihat wajahnya menegang. Dokter Rut tetap menjalankan mobilnya.
            “Ya Tuhan... benarkah ini kau? Sebelas?” tanyanya tak percaya, berulang kali dia menengok kearahku.
            “Dan kau bicara?” dia mendesis  dengan cara aneh. Lalu tiba-tiba saja dia membanting stirnya ke kanan. Menyusuri jalan setapak yang dinaungi pepohononan Trambesi.
 Aku tak tahu di manakah lokasi ini. Jantungku berdetak lebih keras. Akan dibawa kemanakah aku? Apakah dokter Rut akan mengembalikanku? Ya tentu saja! Karena dia –selalu- bagian dari kelompok ekslusif para ilmuwan itu.
Tiba-tiba dia menginjak rem, hingga aku terpental ke arah depan. Aku baru menyadari kami berhenti di depan pagar yang tinggi.
Tangannya yang pendek memegang kepalaku, menekannya agar aku menunduk. “Sssshhhh.... menunduklah...!” Dokter Rut membuka jendela, dan mengetikan kunci pintunya.
“Apa yang dokter Rut lakukan?” tanyaku bingung. Tapi akhirnya aku mengerti, dokter Rut melindungiku dari kamera pengintai yang terpasang di pintu masuk.
“Fiuhhhh... “ aku menarik nafas begitu melewati pintu pagar.
“Aku tahu, saat seperti ini  pasti akan tiba, tapi aku tak menyangkanya, akan secepat ini.” Dia tersenyum gamang.  “Apakah ini nyata? Bukan mimpi? Sebelas?” tangan kirinya mengelus pipi bersisikku. Kugenggam tangannya keras bertenaga hingga dia mengerut kesakitan. Kami seperti sepasang kekasih yang baru bertemu.
Aku dapat melihatnya ada air mata mengalir di pipinya.
***



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: