Kamis, 06 November 2008

Taman Kartini, SMPN 5

Bandung, 1983-1984

Sampai hari ini aku masih tak mengerti kenapa hari Kartini diperingati dengan cara para siswi berbaju nasional. Lomba mirip kartini, lomba membaca puisi, lomba menulis dan bazar, apapun dengan label ‚memperingati hari kartini. Padahal hal yang sama bisa dilakukan pada pari apa saja.

Kelas 1K. Kelas satuku, tak kalah gerahnya dengan aroma ibu Kartini yang menguap dari kubur. Semangat perjuangan mencapai emansipasi seolah dirayakan dengan sesuatu, yang menurutku, sampai hari ini hanya jadi sekedar seremonial, pesta HUT biasa.

Tapi sebagai anak yang manis, aku menerima segala acara SMPN 5 dengan pasrah dan gembira saja. Apalagi aku mempunyai alasan untuk lari dari kewajiban mengenakan baju nasional dengan mengikuti paduan suara. Dengan begitu aku tak perlu bersusah payah menyewa baju, dan berdandan, berlaku anggun, berjalan terbatas karena lilitan kain, bernafas sesak karena korset yang ketat, berias menor bak seorang Geisha. Pokoke buatku, nggak banget.

Jadi disanalah aku, di ruang musik menarik suaraku yang melengking indah. Kubayangkan aku seorang Bianca Castaviore (penyanyi seriosa dalam serial Tintin), bernyanyi solo dengan backing vocal paduan suara yang kompak. Pak Karel, mengiring kami dengan geleng-geleng. Bu Tuti Karel (guru seni suara) mengerti arti gelengen suaminya. Tapi aku tidak. Sampai bu Tuti bilang...

„Aduuh itu yang baris belakang, ke dua dari kana... suaranya pelan saja...“

Euh... ordinat yang baru ia bilang itu adalah ... aku... Dengan malu aku diam. Diamku membuatnya tersenyum.

Tiba saatnya kami paduan suara menguasai panggung taman Kartini. Disaksikan para siswa dan guru. Dari bawah. Dan jajaran penonton di koridor atas. Suara kami menggema, menghipnotis para penonton. Mars SMPN 5 sudah lewat. lagu berikutnya menjelang.

Aku berlagak bak seorang penyanyi, mulutku menganga-menutup kompak sesuai gerakan sair, tapi dari sana aku tak menggetarkan suara apa-apa. Karebna aku selalu ingat, rasa maluku yang menempel terus dari ruang musik itu. Pesan bu Tuti Karel padaku dengan tatapan permohonan di tengah peserta paduan suan suara, wakil dari semua kelas satu:

“Inget ya... kamu berdiri yang manis saja, kamu nggak usah pake suara.“

Tidak ada komentar:

Translator: