Jumat, 06 Februari 2009

BANGKU KOSONG DI JAM KOSONG

Dua kata pertama kini bisa saja berkonotasi sebuah peluang, seperti kesempatan sekolah, atau kesempatan mudik, bisa juga asosiasinya menjadi angker. Bangku di sudut kelas yang diduduki seorang hantu.

Tapi cerita ini bukan tentang semua itu. Ini tentang bangku guru yang kosong yang dengan sukaria diterima oleh para muridnya sebagai jam kosong. Dari tahun-ke tahun, di mana pun, kejadiannya tetap saja begitu. Hampir sama. Keributan. Intermezo disela jam pelaran.

Dan mungkin ini adalah cerita sedikit lain, karena kami para Gadis SMPN 5 Bandung cukup bangga dengan kelihaian taman-teman kami berbreakdance di atas peta NKRI yang diturunkan dari dinding. Peta NKRI yang digunakan untuk alas pendukung gerakan-gerakan akrobatik Break dance.

Jam kosong ini sepertinya menjadi waktu terpadat, bermanfaat untuk proses pembelajaran, percaya diri. Sepertinya kelas ini tak ubahnya kelas John Robert Power. Seorang murid bisa beraksi di atas peta NKRI ini tanpa malu karena ia memiliki nilai matematika 3-4-5. Dan Murid lain yang bernilai 8-9-10, akan tertegun takjub, terpana menyaksikan akrobatik dance diri si 3-4-5 ini!

See! Arena ini (jam kosong) menjadi media saling menghargai antar siswa. Di sisi lain, murid yang tak pandai bernyanyi meliuk, bermain vibra bak Harvey Maleyholo tak lagi malu mengencangkan suaranya bernyanyi lagu Vina Panduwinata dalam nada rap. Yang nampaknya memudahkan siapa saja. Tanpa harus memiliki kemampuan olah vocal yang prima.

Terkadang jam kosong dijadikan arena main bola. Tapi ini sangat biasa. Yang tidak biasa adalah jam kosong adalah kesempatan mengatur bangku kosong. Bila jam berikutnya adalah pelajaran bahasa Inggris, dengan ibu guru seksi. Berstelan rok span, berdandan gaya Boy George, itulah waktu bagi anak laki-laki mengatur Interior sekitar bangku kosong tsb.

Pengaturannya sungguh minimalis, hanya dengan menaikan ujung taplak meja, agar para siswa dapat memandang leluasa bagian kolongnya! Dan biasanya keberadaan vas bunga di meja digeser-geser. Seorang Siswa mensilmulasi harapan kejadiannya seperti ini:

Dia akan menunduk-nunduk, meniru gerakan sang guru. Mencoba akankah gerakannya ini terlihat dari seluruh kelas?

“Vasnya geser kiri…!” pinta siswa yang ada di barisan kanan.
“Geser kanan…!” pinta siswa sebelah kiri.
Ujung-ujungnya semua siswa bersepakat bahwa demi kelancaran pemandangan saat pelajaran bahasa Inggris, Vas bunga ditiadakan saja.

Kami para siswi seperti saat itu begitu cuek. Tak ada keinginan meluruskan kejadian. Atau mengkoreksi kelakuan teman-teman pria. Setelah tua seperti sekarang ini, aku begitu menyesal, kenapa bentuk pelecehan seksual yang dilakukan secara kolektif oleh para siswa, di sekolah, di taman dan sbb itu dibiarkan saja? Kenapa pada umur remajaku, aku tak menyadarinya.

Ku harap putriku, putraku, tak kehilangan masa remaja yang menggembirakan walau harus selalu dijalan yang sopan.

2 komentar:

shakti mengatakan...

hi

Channel Youtube mengatakan...

hi juga... maaf baru balas.
saya hampir lupa bagaimana caranya main blog.

Translator: