Putri.
1
MEMBURU PAGI
Pagi adalah milik semua. Tuhan Maha Adil membagi pagiNya. Dia tak memberi pagi
yang sepintas kepada Singapura yang
tertib yang dapat melakukan segalanya dengan efesien. Kepada Moscow yang
dingin, Tuhan tidak mempercepat kehadiran Matahari. Dubai yang gemerlap. Beijing yang sesak.
Jakarta yang gemeretak oleh perjuangan hidup.
Begitulah Tuhan yang Maha Adil.
Dia juga pasti punya alasan membuat kepalaku terasa berat, pagi ini. Ini pasti
efek begadangku semalam. Bukan karena klabing, ajojing dan minum-minum. Mana
mungkin aku, gadis berjilbab, melakukan itu. Tapi peningku juga bukan karena
lembur semalaman seperti layaknya orang bekerja dikejar batas waktu. Memang seharusnya aku Melakukan kerja lembur untuk
proyek iklan pertamaku. Tepatnya untuk presentasi pagi ini. Tapi itu tak
mungkin aku lakukan.
Tapi yang terjadi semalaman
adalah aku dan ibu Ratija begadang menjaga si kembar Rahman Rahim yatim piatu
anggota baru rumah kami. Bayi yang baru mendapat vaksinasi itu, tubuhnya panas
dan rewel semalaman. Memaksa kami untuk menggendong, meninabobokan. Tepat saat adzan
subuh mereka baru bisa memejamkan mata. Jika saja aku tahu suara adzan yang membuat mereka tidur, kenapa aku
tak menyetel suara adzan saja sejak isya? Tapi ya sudahlah, tepat jam subuh itu
kami justru harus bangun, dan memulai hari baru. Rutinitas pagi.
Bruk! Aku terjatuh karena berjalan
sambil mengantuk. Kali ini aku terjatuh karena pengemis cacat yang ‘tempat
kerjanya’ memang ditengah jalan pemisah ini.
“Brengsek! Mana matamu orang
gila?” ujarnya galak.
“Ma-ma-af... “. Kuempar senyumku,
lalu kujatuhkan permen asam buatan ibu ratija di dalam rantang usangnya.
“Hah! Aku tidak butuh permen
seupil ini! Aku mau uang! Aku mau uang!”
Aku mempercepat jalanku. Dia
mengatakan apa? Permen ini seupil? Bayangkankan! permen asam sebesar jempol kaki
ini disebutnya ‘seupil’? berarti upilnya dia besarnya sebesar jempol kaki? Maka
jika upilnya sebesar jempol berarti hidungnya sebesar apa?
Menurut ibu Ratija, pengemis
jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu. Pengemis di jamannya masih mengenal
basa-basi. Pengemis jaman itu bisa melakukan doa standard bagi pemberi
sedekahnya. Para pengemis itu memberi doa sesuai sumbangan yang kita
berikan. Ibu Ratija memberi gambaran seperti ini:
500
rupiah = ‘terima kasih’ (pengemisnya belum berdoa)
1000
rupiah = semoga slamat diperjalanan
1500
rupiah = semoga selamat dan sentosa.
2000
rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh.
2500
rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh, sehat sentosa
Jika
banyak, kau akan mendapat kata ajaib yang memuaskan dermawan : Semoga bahagia
dunia-akhirtat.
Tapi
jika lebih sedekahmu lebih banyak lagi, kau tak usah berharap untuk mendengar
persembahan sebuku surat
Yasin lengkap dengan aneka zikirnya. Karena kebanyakan dari mereka tak bisa
mengaji.
Hah! Tapi di jaman ini, jangan
harap itu semua. Doa yang terlantun telah berganti dengan sumpah serapah. Jadi
aku harus maklum, bahkan seharusnya aku yang malu. Hanya karena memberi sebuah
permen saja aku ingin ucapan terima kasih.
Kepalaku berdenyut pening. mataku bengkak, gelap disekitar matanya,
seperti riasan gaya
gotik. Bagaimana aku bisa tampil cantik di depan rapat nanti? Bagaimana aku
memikirkan kecantikan? Sementara hal yang paling penting, skema rancangan kerja
dan konsep iklan yang harusnya selesai pagi ini, aku sama sekali belum mengerjakannya?
Entah sudah berapa kali aku
menguap lebar, tanpa sopan. Alih-alih oksigen yang masuk ke otakku tapi asap knalpot, polutan H2S yang membawa aroma
kentut. Setiap pagi, saat suhu turun, polutan merayapi udara untuk turun di
tempat yang padat penduduknya. Cekungan Bandung. Tak heran kerja otakku semakin
tak karuan saja.
Jika kau sering mengalaminya, kau tak kan muntah, karena
segala sesuatu yang diterima dengan dosis rendah, kemungkinan besar dapat
membangun ‘kekebalan semu’. Senyawa kimia itu cuma bersarang di sudut selmu,
menyusun kekuatan untuk muncul menjadi kekejian lingkungan jilid 11, Kanker.
Ingin sekali aku jalan selambat
mungkin. Kalau bisa, aku ingin jalan sambil tidur. Tapi tak mungkin. Perasaanku
tak enak. Sejak di Kereta tadi aku merasa seseorang mengawasiku. Beberapa kali
aku mengecek mata burung hantuku lewat kamera penyerenta, dan saat yang sama
aku lihat beberapa orang sedang memperhatikanku. Tidak mungkin aku si ‘muka
standard’ yang sedang buruk penampilan karena begadang, mempunyai penggemar
gelap. Tak mungkin. Walau rasanya ingin.
Aku harus jalan lebih cepat. Saat
kulirik ke arah belakang, benar saja orang di kereta itu mengikutiku dengan bergegas pula. Jadi benar
aku sedang dikejar orang!
Jalanku
mulai setengah melayang. Beberapa kubangan lumpur sisa banjir semalam tak lagi
kuhiraukan. Kecipak airnya mencipratkankan kotoran didalamnya.
Kusebrangi keramaian jalan, begitu aku
menangkap lampu hijau penyeberangan. Aku bahkan hampir menabrak seorang tua
yang tertidur pulas di atas pemisah jalan di tengah lalu lintas. Mobil melesat
dekat sekali kepalanya. Tapi dia tenang saja, tidur pulas ditengah lalu lintas
gila, yang berkabut asap polutan. Melihat dia mendekap boto kosong, kupastikan
dia seorang pemabuk, dan tak sadarkan di jalanan ini. Tak ada yang peduli.
Lalu lintas benar-benar dipenuhi
kabut hasil pembakaran mesin yang tak sempurna. Mobil-mobil yang berhasil
melarikan diri dari kejaran polisi lingkungan,
lolos atas kesalahan mesin yang gagal, atau bahan bakar illegal yang mengandung
logam, dan polutan yang berbahaya bagi
kesehatan.
Aku
masih mencoba jalan cepat di tengah pembatas jalan ini. Nafasku mulai payah,
sudah setengah jam ini aku berjalan, berkelok-kelok menghindari penguntitku.
Kukeluarkan telpon genggamku, mencoba menggunakan layarnya sebagai cermin. Aku
berpura-pura mengobrol sambil jalan dengan seseorang melalui penyerenta.
Ya, aku bisa lihat, setidaknya
ada 4 orang yang mengejarku. Seorang di sisi trotoar kanan, dan seorang di
belakangku yang menguntitku sejak aku turun Kereta. Aku yakin mereka jalan
sambil berhubungan lewat head set telpon genggamnya.
Tuhan
lindungi aku! Aku rasa mereka mengikuti sejak aku keluar dari rumah. Apa mereka
mau menculikku? kenapa aku tak langsung diculik di rumah saja? Kenapa mengikuti
bersusah payah naik kereta berdesakan.
Haaa,
tentu saja mereka telah memperhitungkannya. Wilayah tempat aku tinggal dikenal
sebagai lingkungan bar-bar. Mereka
mungkin menghindari bentrok dengan preman yang menguasai lingkunganku. Pasti
mereka menghormati kode etiknya.
Tapi kenapa mereka tak
menggunakan jasa profesional semacam manusia android [1]saja
dari mafia ilegal? Yang didesain khusus
untuk menculik?
Karena
manusia miskin sepertiku, semestinya bukan incaran bagus untuk dirampok ataupun
dijadikan sandera.
Jadi
untuk apa aku diculik? Mungkin karena sekarang ini penculikan sangat biasa
terjadi. Mungkin bisa disetarakan dengan kejahatan curanmor, atau penjabretan.
Biaya hidup semakin tinggi, hidup
semakin susah, anehnya kehidupan tetap menjadi pilihan yang populer di masa
ini. Sekalipun angka bunuh diri tinggi, tapi tetap saja lebih banyak orang yang
memilih meneruskan hidup dibanding memilih mati.
Untuk menopang hidup yang mahal
ini para kriminal yang malas tapi
bernyali gila melakukan penculikan.
Banyak alasan
penculikan dilakukan para kriminal.
- Korban bisa dijadikan
sandera berharga bila ia berasal dari keluarga kaya.
- Korban bisa dijual sebagai
komoditi prostitusi. Tak peduli dia cukup umur atau anak-anak. Tak peduli
perempuan atau laki-laki. Semua bisa dimanfaatkan.
- Bila tidak bisa ditawarkan
pada dua hal di atas, korban bisa ‘dipakai’, setelah itu dibunuh, dan
dijadikan komoditi penjualan organ ilegal.
- Pilihan lain, korban bisa di
jual untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan di tempat-tempat yang
nampaknya bermoral dengan bendera lembaga intelektual (baca: tempat
percobaan gila).
Atau
untuk hal lain?
Isi kepalaku bergerak panik. Apa
mungkin karena aku menolak tawaran yang lebih menyerupai desakan sekelompok
orang pintar waktu itu? Agar aku dengan imbalan yang lumayan, mau menyumbangkan
sel telurku pada sebuah bank sel telur? Apa menariknya DNA diriku? Atau hanya
sekedar stock untuk percobaan dunia kedokteran? Genetika? Ough, di jaman ini
bahkan iblispun terang-terangkan melakukan aktivitasnya lewat lembaga riset
kedokteran atau farmasi secara legal.
Orang-orang
dari lembaga riset itu, merayu ibu
Ratija, kepala rumah tangga tempat aku tinggal. Mereka memberi iming-iming pembebasan pinjaman berbunga yang
membuat ibu Ratija selalu tercekik di sepanjang hidupnya.
Ya,
Orang-orang itu datang setelah pihak bank itu mengirimkan preman penagih.
Memberi iming-iming bayaran yang besar bila aku bersedia melakukan perjanjian
penjualan sel telur.
Tanpa takut, ibu Ratija selaku waliku menolak mereka.Tapi mereka selalu
datang. Tanpa bosan pula ibu Ratija menjelaskan keberatannya, dari kata halus
hingga tegas-jelas-dan lugas. Mengeluarkan beberapa fatwa syariah kontemporer
yang kuat. Aku juga tahu, beberapa anak gadis tetangga dengan bayaran tinggi
telah menjual ‘sel telur’ mereka. Andai mereka tahu kengerian yang akan mereka
hadapi. Membiarkan anak anak mereka berkembang biak tanpa sanad atau silsilah
yang jelas. Haa, memangnya aku ini apa, sok-sok tak menyetujui penjualan sel
telur, untuk menjaga sanad atau silsilah, sedang aku sendiri tak memiliki
silsilah yang jelas. Ironis, karena Aku,
juga 11 anak di rumah ibu ratija hidup tanpa memiliki silsilah yang jelas. Kami
cuma kumpulan anak-anak yang terbuang.
Percakapan
jual beli sel telur, penyewaan rahim, sudah menjadi potret kehidupan kami,
kelas masyarakat bawah:
‘apa
ruginya? Toh tiap bulan juga sel telur ini di’lewat’kan begitu saja’
‘Tunggu
sampai punya suami? Mohon ijinnya? Lhaaa... emang ada yang mau menjadikanmu
istri?’
‘bentuk
dua dimensi begini, biasanya susah laku, Qon.’
OH.
Sepertinya dia melempar pisau ke pusat
emosiku. Komentar seperti inilah yang
membuatku sebel. Kuhibur diriku dengan alasan masuk akal: Yah, dijaman kecantikan bisa direkayasa,
dipalsu, maka jenis asli sepertiku,
menjadi sukar bersaing dengan pengguna hidung, dagu, buah dada, pantat, tulang
pipi, bahkan kulit kencang yang ‘palsu’.
Kamu bisa lihat bentuk wajahku
yang sepertinya salah tempat. Aku mancung dibagian jidat, dan pesek di bagian
hidung. Hingga adik-adikku bila jahil menggoda dengan cara begini: menabrakan
tangan dari samping, bila tangannya mengarah ke jidat, pasti ‘bruk’ tanda
nabrak. Tapi bila tangannya dari dari samping dilalukan di depan hidung bunyi
nya pasti ‘los’ alias lolos. HUH.
Ibu Ratija selalu membesarkan
hatiku:
‘Tuhan
selalu menciptakan segalanya berpasang-pasangan. Baik-buruk. Cantik-tampan,
Miskin-kaya. Lelaki-perempuan. Kau tahu,
Tuhan tidak menciptakan si tampan untuk si cantik, tapi si baik untuk si baik. Kau tahu, kebaikan dapat mematahkan
kecantikan. Lihat almarhum suami ibu, dia itu seorang manusia sistesis yang
gagal. Wajahnya seperti monster.. Mengerikan bukan?
Tapi,
firasatku, kau akan mendapat seorang yang tampan.‘
Ibu Ratija menatapku lembut,
ketenangannya mengelus jiwa gelisahku. Lalu katanya lagi: ‘Kini orang banyak menyadari, bahwa penampakan kecantikan luar tidak
menjamin kecantikan pribadinya.’
OH! Lagi, sekalipun isinya
–melapangkan dada- tapi tetep ada unsur
penghinaan mengenai penampakanku. Tapi aku
harus ambil sisi positifnya, bukan?
Jadi, aku harus menjadi gadis
yang baik, agar aku mendapatkan jodoh
yang baik dan tampan. Jangan pikirkan kemungkinan lain, seperti Jelek tapi
baik.
Para tetangga yang simpati kepada
kami, menyarankan agar aku –menawarkan- diri sebagai calon ibu ‘tanpa nama’, ‘tanpa hamil’ dengan
bayaran tinggi, bayaran berjangka, bayaran yang dapat menghidupi seluruh
anggota keluargaku yang lima
belas orang itu.
Semua
ini hanya membuktikan kami yang didera kesulitan, adalah makanan empuk bagi
mereka. Hingga hidup ini bukan lagi pilihan. Hidup ini adalah milik mereka, orang-orang ‘beruntung’ itu.
Kadang-kadang
semboyan:
*di negeri ini bertahan hidup adalah setengah
dari pekerjaan utama*
sepertinya menjadi pas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar