Senin, 23 Mei 2016

Novel, Fiksi Sains,TELELOVE, Kesit Susilowati. Bagian 1.

Putri. 1
MEMBURU PAGI



Pagi adalah  milik semua. Tuhan Maha Adil membagi pagiNya. Dia tak memberi pagi yang sepintas  kepada Singapura yang tertib yang dapat melakukan segalanya dengan efesien. Kepada Moscow yang dingin, Tuhan tidak mempercepat kehadiran Matahari. Dubai yang gemerlap. Beijing yang sesak. Jakarta yang gemeretak oleh perjuangan hidup.
Begitulah Tuhan yang Maha Adil. Dia juga pasti punya alasan membuat kepalaku terasa berat, pagi ini. Ini pasti efek begadangku semalam. Bukan karena klabing, ajojing dan minum-minum. Mana mungkin aku, gadis berjilbab, melakukan itu. Tapi peningku juga bukan karena lembur semalaman seperti layaknya orang bekerja dikejar batas waktu. Memang seharusnya aku Melakukan kerja lembur untuk proyek iklan pertamaku. Tepatnya untuk presentasi pagi ini. Tapi itu tak mungkin aku lakukan.
Tapi yang terjadi semalaman adalah aku dan ibu Ratija begadang menjaga si kembar Rahman Rahim yatim piatu anggota baru rumah kami. Bayi yang baru mendapat vaksinasi itu, tubuhnya panas dan rewel semalaman. Memaksa kami untuk menggendong, meninabobokan. Tepat saat adzan subuh mereka baru bisa memejamkan mata. Jika saja aku tahu suara  adzan yang membuat mereka tidur, kenapa aku tak menyetel suara adzan saja sejak isya? Tapi ya sudahlah, tepat jam subuh itu kami justru harus bangun, dan memulai hari baru. Rutinitas pagi.
Bruk! Aku terjatuh karena berjalan sambil mengantuk. Kali ini aku terjatuh karena pengemis cacat yang ‘tempat kerjanya’ memang ditengah jalan pemisah ini.
“Brengsek! Mana matamu orang gila?” ujarnya galak.
“Ma-ma-af... “. Kuempar senyumku, lalu kujatuhkan permen asam buatan ibu ratija di dalam rantang usangnya.
“Hah! Aku tidak butuh permen seupil ini! Aku mau uang! Aku mau uang!”
Aku mempercepat jalanku. Dia mengatakan apa? Permen ini  seupil?  Bayangkankan! permen asam sebesar jempol kaki ini disebutnya ‘seupil’? berarti upilnya dia besarnya sebesar jempol kaki? Maka jika upilnya sebesar jempol berarti hidungnya sebesar apa?
Menurut ibu Ratija, pengemis jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu. Pengemis di jamannya masih mengenal basa-basi. Pengemis jaman itu bisa melakukan doa standard bagi pemberi sedekahnya. Para pengemis itu  memberi doa sesuai sumbangan yang kita berikan. Ibu Ratija memberi gambaran seperti ini:
500 rupiah = ‘terima kasih’ (pengemisnya belum berdoa)
1000 rupiah = semoga slamat diperjalanan
1500 rupiah = semoga selamat dan sentosa.
2000 rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh.
2500 rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh, sehat sentosa
Jika banyak, kau akan mendapat kata ajaib yang memuaskan dermawan : Semoga bahagia dunia-akhirtat.
Tapi jika lebih sedekahmu lebih banyak lagi, kau tak usah berharap untuk mendengar persembahan sebuku surat Yasin lengkap dengan aneka zikirnya. Karena kebanyakan dari mereka tak bisa mengaji.
Hah! Tapi di jaman ini, jangan harap itu semua. Doa yang terlantun telah berganti dengan sumpah serapah. Jadi aku harus maklum, bahkan seharusnya aku yang malu. Hanya karena memberi sebuah permen saja aku ingin ucapan terima kasih.
Kepalaku berdenyut pening.  mataku bengkak, gelap disekitar matanya, seperti riasan gaya gotik. Bagaimana aku bisa tampil cantik di depan rapat nanti? Bagaimana aku memikirkan kecantikan? Sementara hal yang paling penting, skema rancangan kerja dan konsep iklan yang harusnya selesai pagi ini, aku sama sekali belum mengerjakannya?
Entah sudah berapa kali aku menguap lebar, tanpa sopan. Alih-alih oksigen yang masuk  ke otakku tapi   asap knalpot, polutan H2S yang membawa aroma kentut. Setiap pagi, saat suhu turun, polutan merayapi udara untuk turun di tempat yang padat penduduknya. Cekungan Bandung. Tak heran kerja otakku semakin tak karuan saja.
 Jika kau sering mengalaminya, kau tak kan muntah, karena segala sesuatu yang diterima dengan dosis rendah, kemungkinan besar dapat membangun ‘kekebalan semu’. Senyawa kimia itu cuma bersarang di sudut selmu, menyusun kekuatan untuk muncul menjadi kekejian lingkungan jilid 11, Kanker.
Ingin sekali aku jalan selambat mungkin. Kalau bisa, aku ingin jalan sambil tidur. Tapi tak mungkin. Perasaanku tak enak. Sejak di Kereta tadi aku merasa seseorang mengawasiku. Beberapa kali aku mengecek mata burung hantuku lewat kamera penyerenta, dan saat yang sama aku lihat beberapa orang sedang memperhatikanku. Tidak mungkin aku si ‘muka standard’ yang sedang buruk penampilan karena begadang, mempunyai penggemar gelap. Tak mungkin. Walau rasanya ingin.
Aku harus jalan lebih cepat. Saat kulirik ke arah belakang, benar saja orang di kereta itu  mengikutiku dengan bergegas pula. Jadi benar aku sedang dikejar orang!
            Jalanku mulai setengah melayang. Beberapa kubangan lumpur sisa banjir semalam tak lagi kuhiraukan. Kecipak airnya mencipratkankan kotoran didalamnya.
 Kusebrangi keramaian jalan, begitu aku menangkap lampu hijau penyeberangan. Aku bahkan hampir menabrak seorang tua yang tertidur pulas di atas pemisah jalan di tengah lalu lintas. Mobil melesat dekat sekali kepalanya. Tapi dia tenang saja, tidur pulas ditengah lalu lintas gila, yang berkabut asap polutan. Melihat dia mendekap boto kosong, kupastikan dia seorang pemabuk, dan tak sadarkan di jalanan ini. Tak ada  yang peduli.
Lalu lintas benar-benar dipenuhi kabut hasil pembakaran mesin yang tak sempurna. Mobil-mobil yang berhasil melarikan diri dari kejaran polisi lingkungan, lolos atas kesalahan mesin yang gagal, atau bahan bakar illegal yang mengandung logam, dan  polutan yang berbahaya bagi kesehatan.
            Aku masih mencoba jalan cepat di tengah pembatas jalan ini. Nafasku mulai payah, sudah setengah jam ini aku berjalan, berkelok-kelok menghindari penguntitku. Kukeluarkan telpon genggamku, mencoba menggunakan layarnya sebagai cermin. Aku berpura-pura mengobrol sambil jalan dengan seseorang melalui penyerenta.
Ya, aku bisa lihat, setidaknya ada 4 orang yang mengejarku. Seorang di sisi trotoar kanan, dan seorang di belakangku yang menguntitku sejak aku turun Kereta. Aku yakin mereka jalan sambil berhubungan lewat head set telpon genggamnya.
            Tuhan lindungi aku! Aku rasa mereka mengikuti sejak aku keluar dari rumah. Apa mereka mau menculikku? kenapa aku tak langsung diculik di rumah saja? Kenapa mengikuti bersusah payah naik kereta berdesakan.
            Haaa, tentu saja mereka telah memperhitungkannya. Wilayah tempat aku tinggal dikenal sebagai lingkungan bar-bar.  Mereka mungkin menghindari bentrok dengan preman yang menguasai lingkunganku. Pasti mereka menghormati kode etiknya.
Tapi kenapa mereka tak menggunakan jasa profesional semacam manusia android [1]saja dari mafia ilegal? Yang didesain  khusus untuk menculik?
            Karena manusia miskin sepertiku, semestinya bukan incaran bagus untuk dirampok ataupun dijadikan sandera.
            Jadi untuk apa aku diculik? Mungkin karena sekarang ini penculikan sangat biasa terjadi. Mungkin bisa disetarakan dengan kejahatan curanmor, atau penjabretan.
Biaya hidup semakin tinggi, hidup semakin susah, anehnya kehidupan tetap menjadi pilihan yang populer di masa ini. Sekalipun angka bunuh diri tinggi, tapi tetap saja lebih banyak orang yang memilih meneruskan hidup dibanding memilih mati.
Untuk menopang hidup yang mahal ini para kriminal yang malas tapi  bernyali gila melakukan penculikan.
Banyak alasan penculikan dilakukan para kriminal.
  1. Korban bisa dijadikan sandera berharga bila ia berasal dari keluarga kaya.
  2. Korban bisa dijual sebagai komoditi prostitusi. Tak peduli dia cukup umur atau anak-anak. Tak peduli perempuan atau laki-laki. Semua bisa dimanfaatkan.
  3. Bila tidak bisa ditawarkan pada dua hal di atas, korban bisa ‘dipakai’, setelah itu dibunuh, dan dijadikan komoditi penjualan organ ilegal.
  4. Pilihan lain, korban bisa di jual untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan di tempat-tempat yang nampaknya bermoral dengan bendera lembaga intelektual (baca: tempat percobaan gila).
Atau untuk hal lain?
Isi kepalaku bergerak panik. Apa mungkin karena aku menolak tawaran yang lebih menyerupai desakan sekelompok orang pintar waktu itu? Agar aku dengan imbalan yang lumayan, mau menyumbangkan sel telurku pada sebuah bank sel telur? Apa menariknya DNA diriku? Atau hanya sekedar stock untuk percobaan dunia kedokteran? Genetika? Ough, di jaman ini bahkan iblispun terang-terangkan melakukan aktivitasnya lewat lembaga riset kedokteran atau farmasi secara legal.
            Orang-orang dari lembaga riset itu,  merayu ibu Ratija, kepala rumah tangga tempat aku tinggal. Mereka memberi  iming-iming pembebasan pinjaman berbunga yang membuat ibu Ratija selalu tercekik di sepanjang hidupnya.
            Ya, Orang-orang   itu datang setelah  pihak bank itu mengirimkan preman penagih. Memberi iming-iming bayaran yang besar bila aku bersedia melakukan perjanjian penjualan sel telur.
             Tanpa takut, ibu Ratija selaku waliku menolak mereka.Tapi mereka selalu datang. Tanpa bosan pula ibu Ratija menjelaskan keberatannya, dari kata halus hingga tegas-jelas-dan lugas. Mengeluarkan beberapa fatwa syariah kontemporer yang kuat. Aku juga tahu, beberapa anak gadis tetangga dengan bayaran tinggi telah menjual ‘sel telur’ mereka. Andai mereka tahu kengerian yang akan mereka hadapi. Membiarkan anak anak mereka berkembang biak tanpa sanad atau silsilah yang jelas. Haa, memangnya aku ini apa, sok-sok tak menyetujui penjualan sel telur, untuk menjaga sanad atau silsilah, sedang aku sendiri tak memiliki silsilah yang jelas. Ironis, karena  Aku, juga 11 anak di rumah ibu ratija hidup tanpa memiliki silsilah yang jelas. Kami cuma kumpulan anak-anak yang terbuang.
            Percakapan jual beli sel telur, penyewaan rahim, sudah menjadi potret kehidupan kami, kelas masyarakat bawah:
‘apa ruginya? Toh tiap bulan juga sel telur ini di’lewat’kan begitu saja’
‘Tunggu sampai punya suami? Mohon ijinnya? Lhaaa... emang ada yang mau menjadikanmu istri?’
‘bentuk dua dimensi begini, biasanya susah laku, Qon.’
OH.
 Sepertinya dia melempar pisau ke pusat emosiku. Komentar seperti inilah  yang membuatku sebel. Kuhibur diriku dengan alasan masuk akal:  Yah, dijaman kecantikan bisa direkayasa, dipalsu, maka jenis asli sepertiku, menjadi sukar bersaing dengan pengguna hidung, dagu, buah dada, pantat, tulang pipi, bahkan kulit kencang yang ‘palsu’.
Kamu bisa lihat bentuk wajahku yang sepertinya salah tempat. Aku mancung dibagian jidat, dan pesek di bagian hidung. Hingga adik-adikku bila jahil menggoda dengan cara begini: menabrakan tangan dari samping, bila tangannya mengarah ke jidat, pasti ‘bruk’ tanda nabrak. Tapi bila tangannya dari dari samping dilalukan di depan hidung bunyi nya pasti ‘los’ alias lolos. HUH.
Ibu Ratija selalu membesarkan hatiku:
‘Tuhan selalu menciptakan segalanya berpasang-pasangan. Baik-buruk. Cantik-tampan, Miskin-kaya. Lelaki-perempuan.  Kau tahu, Tuhan tidak menciptakan si tampan untuk si cantik, tapi si baik untuk si baik.  Kau tahu, kebaikan dapat mematahkan kecantikan. Lihat almarhum suami ibu, dia itu seorang manusia sistesis yang gagal. Wajahnya seperti monster.. Mengerikan bukan?
Tapi, firasatku, kau akan mendapat seorang yang tampan.‘
Ibu Ratija menatapku lembut, ketenangannya mengelus jiwa gelisahku. Lalu katanya lagi: ‘Kini orang banyak menyadari, bahwa penampakan kecantikan luar tidak menjamin kecantikan pribadinya.’
OH! Lagi, sekalipun isinya –melapangkan dada- tapi  tetep ada unsur penghinaan mengenai penampakanku. Tapi aku  harus ambil sisi positifnya, bukan?
Jadi, aku harus menjadi gadis yang baik,  agar aku mendapatkan jodoh yang baik dan tampan. Jangan pikirkan kemungkinan lain, seperti Jelek tapi baik.
Para tetangga yang simpati kepada kami, menyarankan agar aku –menawarkan- diri sebagai calon ibu ‘tanpa nama’, ‘tanpa hamil’ dengan bayaran tinggi, bayaran berjangka, bayaran yang dapat menghidupi seluruh anggota keluargaku yang lima belas orang itu.
            Semua ini hanya membuktikan kami yang didera kesulitan, adalah makanan empuk bagi mereka. Hingga hidup ini bukan lagi pilihan. Hidup ini  adalah milik mereka, orang-orang ‘beruntung’ itu.
            Kadang-kadang semboyan:
 *di negeri ini bertahan hidup adalah setengah dari pekerjaan utama*
 sepertinya menjadi pas.



[1] Manusia android = manusia robot. 

Tidak ada komentar:

Translator: