PUTRI.
3
SI BOLA BEKEL
Sabarlah, anggap
saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan
jatuhnya yang
penting tapi memantulnya yang penting.
Semakin dibanting,
kau akan semakin melambung,
karena Tuhan
meninggikan derajatmu,
tapi itu terjadi
jika kau ikhlas.’
Bis yang aku tumpangi ternyata
bertujuan ke Pasar Lama. Arah yang berlawanan dengan kantorku. Sialnya lagi aku tak bisa semena-mena
menghentikan bis ini. Aku baru bisa turun di halte berikutnya. Kulihat jam di
atas papan iklan perempatan jalan. Jam
telah menunjukkan –bahwa aku
sangat kesiangan-.
Tuhan!
Jangan biarkan aku kesiangan di rapat pertamaku. Aku telah menyiapkan laporan
survey pasar sejak tiga hari lalu. Jangan biarkan usahaku untuk survey itu
menjadi sia-sia. Tuhan, plis… plis… plis..
Di
halte berikutnya aku turun, dan menyeberang jalan lewat jembatan penyeberangan,
untuk berganti bis ke arah sebaliknya. Menuju kantorku.
Syukurlah, akhirnya aku
melihatnya. Sebuah gedung mewah yang terdiri dari berbagai kantor dari beberapa
bendera korporasi.
Syukur? Bolehkah syukurnya aku
batalkan? Karena ternyata kini aku memandang gemas angka lift yang tak jua
berhenti tepat dimana dia berdiri. Lantai 1. Angka lift cuma berlari-lari
anatara 2-3-4-5-3-4-2-. Sial! Oh, Tuhan! Sial-sial-sial, duhai Penggenggam
Waktu, aku ikhlas bila lift ini lama menghampiriku, tapi tolong tambah waktunya
sekarang sudah jam 10.00, bisakah Kau hentikan waktunya sementara lift ini
begitu sombong untuk mengangkutku?
Dalam keadaan apapun aku selalu mencoba
menjadi pribadi yang seimbang. Menyeimbangkan antara gerutu, keluh kesah dan
doa. Setidaknya kebiasaan ini, menurut keyakinanku, tidak akan membuat aku
terlalu berdosa.
Telpon genggam yang kubawa berbunyi. Panggilan Bu Kim,
atasanku. Aku bisa langsung merasakan hembusan nafasnya, bahkan merasakan lidah
apinya yang menyala dari dalam lidahnya. Mengiringi kata-kata khas ‘hello’nya.
“Dimana?!
Cepat! Semua sudah menunggu!”
Wuuuuzzzz...
kurasa telingaku langsung gosong tersambar lidah apinya yang keluar dari
penyerantaku. Apinya menyambar bagian dalam telingaku, mencairkan kotoran
kupingku, dan membuat system keseimbangan kupingku rusak. Aku limbung.
Tentu
saja itu cuma bayanganku. Kamu tolol bila memercayainya. Itu suara Bu Kimentah darimana. Dan bu Kim adalah
manusia normal, sepertiku.
“Qonitaaaaaaaaaaaaaaa!”
“Eh,
iya bu... liftnya mati.”
Lalu
kulihat pemandangan indahku. Lelaki misteriusku karena aku belum mengenalnya.
Sudah seminggu ini aku sering melihatnya. Subhanalloh, tampannya dia.
Berikutnya aku beristigfar, aku ingat pesan alim ulama, tentang hadis ‘tundukan pandangannmu!’. ‘Pandangan pertama adalah anugrah, dan
pandangan kedua adalah kesesatan’. Maka untuk menjaga agar tak sesat, tak kan kutundukan
pandanganku. Sah? Sah! Kurasakan setan terbahak-bahak di pikiranku. Sedikit
saja jiwaku gelisah. Pemandangan di depanku menyenangkan sisi sesatku. Aku pun
semakin terkejut saat melihat dia berjalan menujuku. Menujuku!
“Lari
(bodoh)! Lewat tangga!” suara bu Kim
tak sabar. Menyadarkan aku.
Tap. Telpon genggamku mati.
Alamak! Naik tangga? Setelah marathon yang diteruskan dengan sprint lalu naik
tangga? Bagus! Setidaknya kalau aku sampai dipecat dini, aku sudah berlatih
menjadi atlit.
Aku langsung lari menuju tangga
darurat. Dua anak tangga aku lalui sekaligus.
Lantai delapan.
Pfuh... akhirnya sampai juga. Tepat
di depan pintu Lift nakal itu. Kuhela
nafasku. Oksigenku harus cukup, sebab aku akan menghadiri rapat pertamaku, sebagai pekerja magang di
perusahaan iklan.
Sampai diantai ruang rapat,
aku diam sejenak. Menghirup nafas
setenang mungkin. Saat yang sama, di depanku pintu lift membuka. Dia, lelaki misteriusku keluar dari sana . Sial! Liftnya
berarti membuka saat aku lari tadi. Ya Tuhan kenapa kau biarkan aku
menyia-nyiakan tenagaku? Kenapa kau biarkan aku melewati kesempatan berdua
dengannya di lift. Sial.
Dia, si tampan itu, melihatku. Aku tak tahu rupaku seperti apa.
Yang ku tahu dia menengok ke arah lain. Tapi lewat cermin dekorasi, aku tahu
dia tersenyum dan matanya mengkerut. Dia pasti menyorakiku karena berlari-lari
lewat tangga, sementara liftnya ‘baik-baik’ saja. Sialan.
“Qon...!” dari jauh Kamila, teman
baruku yang cantik, mengibaskan
tangannya dengan anggun. Gayanya yang berkelas selalu membuatku berangan-angan,
andai aku seperti dia, maka akan seperti apakah dunia di sekelilingku?
Dengan terburu aku memasuki ruang
rapat yang sempit.
“Qon, Gimana sih?” Tanya pak Rudi
mengaggetkanku. Dia adalah seniorku. Pria botak bertubuh atletis.
“Maaf sodara-sodara... hehe..”
aku bisa dengar tawaku mulai salah nada.
“Yah sudah lengkap. Pak Jan ini anak bawang itu. Qonita, pak Jan adalah
pemilik usaha ini. Pak Jan baru balik
dari bawah laut.” Bu Kim mengenalkan seorang yang nampak akrab di benakku. Si
muka pucat nan tampan yang misterius itu!
“Haaa...?” jantungku berdenyut
lebih cepat, tak teratur, dan mungkin mau loncat dari selubungnya. Tuhan!
“ya ampun Qon, hapus muka bodohmu!” Kamila berbisik
gemas ditepi telingaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar