Senin, 30 Mei 2016

NOVEL #Scifi. TELELOVE. Kesit Susilowati. Bagian 5.

PUTRI. 3
SI BOLA BEKEL



Sabarlah, anggap saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan
jatuhnya yang penting tapi memantulnya yang penting.
Semakin dibanting, kau akan semakin melambung,
karena Tuhan meninggikan derajatmu,
tapi itu terjadi jika kau ikhlas.’


Bis yang aku tumpangi ternyata bertujuan ke Pasar Lama. Arah yang berlawanan dengan kantorku.  Sialnya lagi aku tak bisa semena-mena menghentikan bis ini. Aku baru bisa turun di halte berikutnya. Kulihat jam di atas papan iklan perempatan jalan. Jam  telah menunjukkan –bahwa aku sangat kesiangan-.
            Tuhan! Jangan biarkan aku kesiangan di rapat pertamaku. Aku telah menyiapkan laporan survey pasar sejak tiga hari lalu. Jangan biarkan usahaku untuk survey itu menjadi sia-sia. Tuhan, plis… plis… plis..
            Di halte berikutnya aku turun, dan menyeberang jalan lewat jembatan penyeberangan, untuk berganti bis ke arah sebaliknya. Menuju kantorku.
Syukurlah, akhirnya aku melihatnya. Sebuah gedung mewah yang terdiri dari berbagai kantor dari beberapa bendera korporasi.
Syukur? Bolehkah syukurnya aku batalkan? Karena ternyata kini aku memandang gemas angka lift yang tak jua berhenti tepat dimana dia berdiri. Lantai 1. Angka lift cuma berlari-lari anatara 2-3-4-5-3-4-2-. Sial! Oh, Tuhan! Sial-sial-sial, duhai Penggenggam Waktu, aku ikhlas bila lift ini lama menghampiriku, tapi tolong tambah waktunya sekarang sudah jam 10.00, bisakah Kau hentikan waktunya sementara lift ini begitu sombong untuk mengangkutku?
 Dalam keadaan apapun aku selalu mencoba menjadi pribadi yang seimbang. Menyeimbangkan antara gerutu, keluh kesah dan doa. Setidaknya kebiasaan ini, menurut keyakinanku, tidak akan membuat aku terlalu berdosa.
            Telpon genggam  yang kubawa berbunyi. Panggilan Bu Kim, atasanku. Aku bisa langsung merasakan hembusan nafasnya, bahkan merasakan lidah apinya yang menyala dari dalam lidahnya. Mengiringi kata-kata khas ‘hello’nya.
            “Dimana?! Cepat! Semua sudah menunggu!”
            Wuuuuzzzz... kurasa telingaku langsung gosong tersambar lidah apinya yang keluar dari penyerantaku. Apinya menyambar bagian dalam telingaku, mencairkan kotoran kupingku, dan membuat system keseimbangan kupingku rusak. Aku limbung.
            Tentu saja itu cuma bayanganku. Kamu tolol bila memercayainya. Itu suara  Bu Kimentah darimana. Dan bu Kim adalah manusia normal, sepertiku.
            “Qonitaaaaaaaaaaaaaaa!”
            “Eh, iya bu... liftnya mati.”
            Lalu kulihat pemandangan indahku. Lelaki misteriusku karena aku belum mengenalnya. Sudah seminggu ini aku sering melihatnya. Subhanalloh, tampannya dia. Berikutnya aku beristigfar, aku ingat pesan alim ulama, tentang hadis ‘tundukan pandangannmu!’.  ‘Pandangan pertama adalah anugrah, dan pandangan kedua adalah kesesatan’. Maka untuk menjaga agar tak sesat, tak kan kutundukan pandanganku. Sah? Sah! Kurasakan setan terbahak-bahak di pikiranku. Sedikit saja jiwaku gelisah. Pemandangan di depanku menyenangkan sisi sesatku. Aku pun semakin terkejut saat melihat dia berjalan menujuku. Menujuku!
            “Lari (bodoh)! Lewat tangga!” suara bu Kim tak sabar. Menyadarkan aku.
Tap. Telpon genggamku mati. Alamak! Naik tangga? Setelah marathon yang diteruskan dengan sprint lalu naik tangga? Bagus! Setidaknya kalau aku sampai dipecat dini, aku sudah berlatih menjadi atlit.
Aku langsung lari menuju tangga darurat. Dua anak tangga aku lalui sekaligus.
Lantai delapan.
Pfuh... akhirnya sampai juga. Tepat di depan pintu Lift nakal itu. Kuhela nafasku. Oksigenku harus cukup, sebab aku akan menghadiri rapat  pertamaku, sebagai pekerja magang di perusahaan iklan.
Sampai diantai ruang rapat, aku  diam sejenak. Menghirup nafas setenang mungkin. Saat yang sama, di depanku pintu lift  membuka. Dia, lelaki misteriusku keluar dari sana. Sial! Liftnya berarti membuka saat aku lari tadi. Ya Tuhan kenapa kau biarkan aku menyia-nyiakan tenagaku? Kenapa kau biarkan aku melewati kesempatan berdua dengannya di lift. Sial.
 Dia, si tampan itu,  melihatku. Aku tak tahu rupaku seperti apa. Yang ku tahu dia menengok ke arah lain. Tapi lewat cermin dekorasi, aku tahu dia tersenyum dan matanya mengkerut. Dia pasti menyorakiku karena berlari-lari lewat tangga, sementara liftnya ‘baik-baik’ saja. Sialan.
“Qon...!” dari jauh Kamila, teman baruku  yang cantik, mengibaskan tangannya dengan anggun. Gayanya yang berkelas selalu membuatku berangan-angan, andai aku seperti dia, maka akan seperti apakah dunia di sekelilingku?
Dengan terburu aku memasuki ruang rapat yang sempit.
“Qon, Gimana sih?” Tanya pak Rudi mengaggetkanku. Dia adalah seniorku. Pria botak bertubuh atletis.
“Maaf sodara-sodara... hehe..” aku  bisa dengar tawaku mulai salah nada.
“Yah sudah lengkap. Pak Jan ini anak bawang itu. Qonita, pak Jan adalah pemilik usaha ini. Pak Jan  baru balik dari bawah laut.” Bu Kim mengenalkan seorang yang nampak akrab di benakku. Si muka pucat nan tampan yang misterius itu!
“Haaa...?” jantungku berdenyut lebih cepat, tak teratur, dan mungkin mau loncat dari selubungnya. Tuhan!

“ya ampun  Qon, hapus muka bodohmu!” Kamila berbisik gemas ditepi telingaku.

Tidak ada komentar:

Translator: