Novel Fiksi Sains. Kesit Susilowati
Telelove. Bagian 4.
PANGERAN. 1, SI SEBELAS
‘Sebelas’, begitu saja panggilanKU. AKU adalah
–orang- tak bernama. Hanya 2 anka yang aku punya
sebagay identitasku. Tapi kmu boleh menjadi –takjub- saat kmu buka pusat data
rumah tabug yayasan BEGO.[1]
Tepatnya, seperti yang dokter Rut[2]
bilang, jika Kmu punya otak untuk membobol sistem penyimpanan dokumen di sana,
lalu kmu punya nyali untuk melakukannya, melihat siyapa itu si nomor ‘11’. Kmu
akan membaca sebuah data yang sukar dijelaskan:
Kode : RAHASIA
Spesimen : 110011
Spesifikasi:1/xi/L.
Status : GAGAL
Nah! Kmu tidak mengkerti bukan?
Jagan tanya padaku apa artinya itu. Aku sendiri tidak tahu, dan aku tak mau
tahu.
Sekalipun disetiyap angka itu kmu
lakukan penelusuran, kmu tetap tak akan mengerti, itu karma kmu bukan bagiyan
dari Dewan Penting BEGO. Baiklah aku akan terjemahkan dengan bahasa yang sangat
sederhana, seperti yang dokter Rut bilang:
Aku adalah ‘Sebelas’, dari bukan manusia biyasa.
Munkin berbahaya. Munkin tidak.
Yang jelas sangat rahasiya.
Bila
saja aku berhasil dibuwat menjadi seorang –manusia buatan-, mungkin saja aku
bisa hidup lebih berguna. Mungkin bisa menjadi tentara yang tangkas, mampu
berpikir cepat, bertindak spontan, tanpa cacat. Bisa juga aku dijadikan sebagai
orang pintar yang ditempatkan di tempat-tempat penelitian berbahaya. Dimana
manusia biyasa tak mampu melakukannya. Yah, kami ini manusia buwatan, yang
dibuwat agar dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya dan beresiko tinggi,
dimana manusia biasa tak mampu melakukannya.
Karenanya, kebanyakan manusia
buwatan berbangga dan merasa beruntung.
Tapi kata dokter Rut itu semua mengenaskan, tragis, ironis, miris, dan membuat
dokter Rut menangis.
Tetap saja aku tak mengerti.
Kata dokter Rut, aku beruntung,
karena aku menjadi manusia buwatan yang gagal.
Tetap saja aku tak mengerti.
Yang aku tahu Karna aku tidak
memenuhi mutu sebagai manusia buatan,
aku berada dalam rumah kaca ini, sebuah hutan
buwatan. Sebuah tempat kecli menyerupai
hutan hujan torpis. Aku hidup
bersama dengan beberapa mahluk snasib, yag menanti dalam ketidakpastiyan.
Kmi
di sini berusaha bertahan hidup. Kmi dalam persaingan kacaw, karena kmi serba
buwatan, maka hukum keseimbangan alam di sinipun buwatan, begitu yag dokter Rut
bilang.
Jangan
tanya padaku, rasanya seperti apa. Pagi, siyang, malam, kami dalam pengawasan.
Sementara kami mencoba berlaku seperti orang ‘wajar’, tubuh kami yang kumpulan
berbagai implan, kombinasi genetik, cangkokan organ sana-sini, membuwat kmi
sulit untuk berlaku wajar.
Aku
si Sebelas, adalah jenis
manusia bersisik, bisa saja kulitku
mengkelupas kapan saja. Sekalipun dokter Rut rutin menyuntikan suntikan
pengatur hormon mengkelupas, tapi bila dalam keadaan emosi marah, mengkelupas
bisa terjadi begitu saja.
Aku bisa mengkelupas saat malu
karena sekawanan kangguru mengintipku berjemur. Aku bisa mengkelupas saat marah
karena hal sepele. misal saat berbagi jatah obat-obatan pengkendali hormon. Aku
bisa mengkelupas saat tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan aku bisa mengkelupas
saat gemas karena serangga incaranku tak juga bisa aku tangkap. Sungguh
memalukan, merepotkan, memilukan.
Karena
kekacawan inilah, aku dicap dokter Rut sebagai mahluk yang gagal. Dan aku
dikurung di sini sebagai hukuman.
Sering
aku berpikir, hukuman itu apa?
Yah memang kelihatannya hutan ini di buwat
untuk menghukum mahluk-mahluk gagal sepertiku. Walaw aku tetap bingun, setahuku
hukuman itu untuk kesalahan. Jadi kesalahan apa yang telah aku buwat? hamya
karena aku gagal menjadi manusia buwatan yang sempurna lalu aku dihukun?
Begitu?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar