Jumat, 08 Juli 2016

TELELOVE 36

PUTRI. 13

SANG BINTANG JATUH






“Qon…? Qon…?”
            Samar-samar aku mendengar Anita memanggilku. Wewangian di udara membuatku mual. Aku juga merasakan tepukan halus di pipiku. Tapi kemudian tepukan itu berganti dengan tepukan keras. Nyaris seperti tamparan. Bahkan suara yang terdengar seperti suara kucing terinjak ekornya. “Qon! Qon!” panggilan yang sangat aku kenal. Berenergi, penuh tekanan, dominan, sedikit berkekuatan iblis. Suara Kamila.
            “Yayayaya… aku baik, aku baik-baik saja…”
            “Nah! Kan?” Kamila mengalihkan pandangan pada teman-teman yang mengerubungiku.
            Smartphoneku berbunyi deras. Semakin lama temponya semakin cepat. Itu adalah setelan bunyi khusus untuk orang-orang yang menurutku penting. Sepenting bu Ratija, dan  pak Jan.
            “Maaf… maaf…” aku segera berdiri, dan menghindari semuanya. Ya! Aku harus mengabarkan berita gembira ini pada bu Ratija. Tapi yang kudapati tanda SMS yang menyala di sana.
            Sms Pak Jan : Kamu tidak apa-apa?
Aku jawab: aku baik2 saja.
Dari sofaku, aku bisa melihat Pak Jan mengetikan SMS ini, dia  menarik nafas lega dan ‘mengerling’  serta tersenyum ke arahku. Sekalipun dia dikelilingi para tetua perusahaan ini aku tahu senyumnya untukku.
            Aku selalu berusaha untuk  kuat dengan godaan ini. Aku tak boleh mudah jatuh cinta lagi, terutama dengan pelaku zinah.
            Menurut teman-teman kantorku, ini adalah pesta sederhana. Biasanya untuk momen seperti ini mereka akan merayakannya di hotel berbintang, klub malam atau discotik. Cuma karena aku yang diberi penghargaan, adalah anak berjilbab, bukan tukang klubing, anak bawang pula, lebih baik mereka pesta disesuaikan dengan kepribadianku yang ‘hemat’ ini.
            “Hah... aku heran bagaimana mungkin orang sekecil kamu, kurus, kurang gizi, dan jelek bisa menghasilkan proposal gila sampai lima buah. Dan gol semua...”
            Terdengar  suara Kamila menggema di telingaku, mengganggu kestabilan pasir di otakku. Membuatku bingung, dia ini sedang memujiku atau menghinaku?  Hati-hati!
“Hidup Qonita si pesek.” Seseorang mulai mabuk dan mengacung gelas tingginya ke arahku.
            “Aku curiga, sebenarnya kau bisa menggolkan 5 proposal ini karena kedekatanmu dengan pak Jan.” Kamila mendesis tepat didepan wajahku. Mulutnya mulai menguar bau alkohol. Aku benar-benar ingin muntah.
            Oh, inilah yang aku takutkan. Aku juga curiga, jangan-jangan memang pak Jan yang melakukannya. Mana mungkin aku melakukannya. Karena yang namanya proposal ‘provokasi’ saja aku belum pernah berhasil membuatnya.
            Yah, bisa jadi benar pak Jan yang membuatnya. Bukankah kami sering mendiskusikan tentang mimpi-mimpi perubahan di dunia periklanan? Tapi bukan lima proyek impian ini.
            “Qonita...?”
            Aku cukup tersenyum saja . Perutku rasanya kembung.
            Para tetua keluar ruangan. Para senior bersorak. Aku baru tahu kenapa. Karena setelah para tetua itu keluar, musik hingar bingar memecah riuh rendah suara orang.
            “Qonita...?” Seseorang menawarkan roti gulung salmon saos nanas.
            “Terima kasih.” Tapi belum sampai roti itu di mulutku, aku sudah ingin muntah. Apa karena musiknya yang membuat pasir di otakku  bingung?
            Beberapa orang mulai menari mengikuti degup music dengan volume yang perlahan mengeras. Pak Jan dan para tetua nampak melangkah ke luar ruang, ini pasti kode bagi mereka, bahwa ruangan ini hanya untuk anak muda, Kelas kroco. Balon-balon sabun melayang keluar dari sebuah lubang yang tersembunyi dibalik balon warna warni. Sorak sorai membahana menyambut jatuhnya balon-balon sabun. Orang-orang meloncat-loncat menggapai balon. Mereka berebut memecah balon. Tus! Balon-balon pecah, bukan cuma pecah, balon-balon itu melepas asap warna-warni.
Harum aroma asing yang dibawa asap-asap itu merasuki jiwaku. Aku pening seketika. Sementara arena pesta semakin diliputi kabut warna warni dan balon. Tawa tanpa alasan bersahutan, beradu dengan irama music yang menghentak jiwa. Aroma asap warna-warni mulai mendominasi harum parfum orang-orang berkelas, bersaing dengan asap rokok. Kupejamkan mata. Tuhan aku pening! Aku mual! Wangi syurga pasti tak seperti ini!
            Penyerentaku berbunyi lagi.
Pak Jan: Pulang sekarang!
Syukurlah! Dia pasti tahu, pesta semacam ini bukan gayaku.
Aku : Baik Bos
Pak Jan. Pulanglah segera, aku masih ada acara lain. 15 langkah di jalan belakang kantor timur. Boy sudah menunggu di sana pakai Silica orange.
Ya, Pak Jan tentu masih dengan para tetua itu, membicarakan hal yang serius, mereka pasti sudah kenyang dengan pesta semacam ini. Mereka pasti diskusi hal penting lain, hal yang dapat membesarkan perusahaan ini. Atau rencana mengubah dunia.
Aku : trims pak...
Lama aku diam, sebenarnya ada berapakah mobil yang dimiliki pak Jan? Silica orange? Silica itu jenis sport atau semacam SUV mewah? Ah tapi ada keterangan ‘Orange’, jadi pasti aku tak kan salah.
Sebenarnya malas aku berjalan, menjauh sedikit dari kantor, bahkan tadi disepakati kami harus selalu berganti-ganti tempat untuk menaik-turunkan aku, ini semua demi keamanan.  Kemanan dari penculik dan kemanan dari gosip kantor.
            “Qonita slamat ya...” beberapa orang menghampiriku. Di tengah pusing, kupaksakan aku berdiri, untuk menghormati para seniorku yang mengucapkan selamat padaku. Aku terhuyung, dan muntah tepat di depan Kamila.
            “Yaik...”
            Tuhan, terima kasih kau beri aku mual, dan membuat muntah tepat di baju Kamila yang konon keluaran Prada. Prada Asli! Bukan palsu!

                                                                             ****





Bersambung


Tidak ada komentar:

Translator: