Minggu, 10 Juli 2016

TELELOVE38

PANGERAN. 14
HANYA SEBUAH NAMA



Nama adalah doa dan harapan,
Bukan ironi
Apalagi kutukan


Kata Ibu Ratija, aku memerlukan sebuah nama. Dia dan 9 kurcaci di rumah ini akhirnya memanggilku dengan panggilan kakak  Yusuf.
            Namaku kini adalah  Yusuf.
            Andai dokter Rut tahu perasaanku! Rasaku membucah hingga aku mengelupas seketika dan membuat bingung ibu Ratija dan 9 kurcaci kurang gizi itu. Kubisikan pada mereka di sela sakitku:
            “Akuuu.. sangat gembiraaa...”
            “Tentu saja! nama itu adalah nama nabi orang soleh idola semua orang di rumah ini.”
***

Tapi kemudian  kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Saat mereka tidur, diam diam aku telusur  di internet apa saja yang sekali. Aku begitu semangat hingga sampai di kisah nabi Yusuf.
            Kisah tentang seorang nabi yang tampan. TAMPAN.
            Akupun bercermin. Berminggu-minggu hidup bersama orang ‘yang sesungguhnya’ telah melatih dan mengasah indera perasaku sebagai mahluk sosial.
            Aku merasa ada hal yang menyakitkan tentang ketampanan nabi Yusuf itu. Aku merasa orang-orang di rumah ini sedang memperolokku, melalui namaku.
            Siapapun yang melihatku akan sependapat bahwa aku adalah monster bersisik. Mansis, si manusia cacat. Buruk rupa.
            Coba bandingkan dengan Rahman dan Rahim, si bayi kembar yang umurnya belum genap setahun itu. Rahman dan Rahim adalah sifat Allah yang utama. Karena istimewanya, ‘Rahman’ dan ‘Rahim’ bahkan dicantumkan Allah pada kata ‘Bismillahirahman nirahim’. Bayangkan! nama Rahman dan Rahim ada di setiap surat Al-Quran. Dan semua muslim, muslimah di dunia menyebutnya, minimal 17x sehari! Dan pasti lebih banyak lagi Rahman dan Rahim disebutkan. Di 24 jam bumi berputar! Ah irinya aku, mereka yang lahir belakangan, tapi memiliki nama yang istimewa.
            Tuhan, apa salahku, aku tidak pernah meminta wajah dan sisik seperti ini.
            Malam itu aku mengelupas kedua kalinya dengan alasan yang berbeda.
Aku begitu nelangsa.
***

“Aku tahu kau semalam mengelupas lagi.” Ibu Ratija menggeserku di depan cermin, mulutnya berbusa pasta gigi. Kami sering melakukan sikat gigi bersama di pagi dan malam hari.
            Aku diam.  “Aku tahu alasannya.” Katanya menghentikan gosokan giginya lagi.
            Aku diam saja. Aku mulai cemas, apakah namaku akan diganti dengan yang lebih sesuai? Dengan nama apa? Rahwana? Cakil? Siluman X?
            “Nama itu dipilih oleh anak-anak bukan karena kau tampan, tapi karena kisah hidup pilumu seperti nabi Yusuf.”
            Ah, mereka mengada-ngada. Bagian mana dari hidupku yang sama dengan nabi Yusuf? Sepotong saudara pun aku tak punya. Sedang nabi Yusuf itu adalah kakak bungsu dari sembilan saudara.
            “Karena dibalik sisikmu, kau telah membuat anak-anak terpesona. Kau cepat belajar, mudah menolong, dan pandai merespon kasih sayang ‘adik-adikmu’.”
            “Dalam hidupnya, Nabi Yusuf adalah pembelajar yang hebat, dari seorang budak menjadi seorang pemimpin intelek, bijak, cerdas dan dicintai rakyatnya.” Bu Ratija, menghentikan gerakan gosokan giginya, bicara dengan mulut yang penuh busa sambil menatapku dalam.
            Barulah aku melonjak. Rasa lega menggelora. Karena yang kurasakan itu semua benar. Dan ibu Ratija menyebut para kurcaci itu apa? Adik-adikKU!
            Dokter Rut, aku punya Saudara, sampai 9 adik, seperti nabi Yusuf, hanya bedanya nabi Yusuf itu memiliki 8 orang kakak.
            “Tenangkan dirimu, aku tak mau kau mengelupas lagi!”
            “Akuuu... gembiraaa...”
            “Sssssttt... tenanglah!  jangan mengelupas lagi!”
            Aku terkekeh-kekeh karena berhasil menggoda ibu Ratija.


****


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: