Sabtu, 09 Juli 2016

TELELOVE 37


PUTRI. 13

SANG BINTANG JATUH







Haripun terus berlalu. Si Boy dengan setia mengawalku ke manapun aku pergi. Entah sudah berapa ratus kali kuucapkan terima kasihku pada pak Jan. Kukira bila setiap kali ucapan terima kasihku bisa dijadikan kupon air, maka –mungkin- beberapa bulan kami akan tenang akan pasokan air di rumah ibu Ratija.
Selain itu Pak Jan sangat membantu dalam berbagai hal. Klien kami  telah mengirimkankan androidnya ke rumah ibu Ratija, sebagai uji coba, pemanasan, atau apapun istilahnya.  Ini semua karena pak Jan turun tangan untuk mempercepat proses produksinya. Aku tahu, pak Jan bertujuan agar Android itu untuk menggantikan keberadaanku di rumah bu Ratija. Jadi, keadaan ibu Ratija tidak seberat biasanya, terutama dalam urusan mengurus bayi Rahman dan Rohim.
Untuk membayar semua  kebaikannya, aku berusaha    segala laporan kerjaku  tepat jadwal. Aku juga bekerja keras melakukan pekerjaan untuk mewujudkan impianku. Tepatnya iklan bernada ‘welas kasih’.
Karena merasa terlalu merepotkan,   suatu ketika aku memberanikan diri pergi sendiri, dan ternyata, kejadian serupa hampir saja terjadi.
Tepat saat di depan statsiun monorel, Seseorang menodongkan senjata ke belakang punggungku, menggiringku menjauhi statsiun. Dengan gugup, kunyalakan sistem petaku, mengirimkan lokasinya pada pak Jan. Aku cuma berharap  semoga dia mengerti dengan kiriman pesanku ini.
            Dengan mata tertutup aku di pindahkan mobil  beberapa kali. Sepanjang jalan, aku terus berdoa semoga mereka tidak memergoki pertanda lokasi yang aku nyalakan dari penyerentaku.
Tepat di depan gudang aku melihat Lamborghini pak Jan. Lalu si Boy turun dengan senjata di kanan kiri. Senjata muktahir, yang belum aku kenal. Dia hanya menembakan satu kali ke arah drum. Tepat sasaran, drum itu meledak. Sungguh peluru yang hebat!
            Itu adalah tembakan peringatan, untungnya para penculik itu mengerti. Mereka  melesat lari, tanpa membawaku. Syukurlah.
            Pak Jan memelukku tanpa sungkan. Rupanya dia benar-benar khawatir tentang keselamatanku.  Aku masih ingat bagaimana rasanya. Bukan! Bukan deg-degan yang ‘itu’. aku menangis, karena tiba-tiba saja pelukan itu seperti perpanjangan tangan ibu Ratija.
            Setelah peristiwa itu Pak Jan menjadi  lebih melindungiku. Bahkan dia nampak dilanda paranoid dibanding aku.  Sejak itu aku tak pernah dibiarkan lagi pulang pergi sendiri keluar apartemen.
            Tapi jangan kau kira ini membuat aku tersanjung. Aku cukup tahu diri. Apalagi  Maya pacarnya pak Jan semakin  sering mampir dan menginap di rumah tanpa mempedulikan keberadaanku. Maya juga tidak  mempedulikan apakah pak Jan mau menerimanya atau tidak.
 Kuterima saja bila dia menganggapku sebagai pembantu pak Jan. Karena aku sudah cukup lelah seharian  berdebat, dan menjaga diri di hadapan Kamila yang selalu menyulitkanku.
Jadi bila Maya menganggap aku pembantu, itu sama sekali bukan apa-apa. Dibanding dengan lidah tajam Kamila, dan kekacauan yang sengaja dibuat oleh Kamila.
Anehnya bila ada pak Jan diantara kami, Maya berlaku biasa saja. Haaa.. aku jadi ingat komentar Wanda tentang drama Asia atau Opera sabun atau telenovela latin. Seorang gadis miskin (tapi tidak jelek) dicemburui gadis berstatus sosial tinggi. Digilai atau dicintai para pangeran. Kukira itu cuma ada di TV.
Yah, memang beda bukan. Pak Jan dan aku itu menjalin hubungan ‘dekat’ tapi bukan hubungan kekasih. Juga karena  perasaan sukaku pada pak Jan sepertinya benar-benar menguap seiring dengan waktu, dan karena  seringnya Maya menindas diriku.
***


 Bersambung...

Tidak ada komentar:

Translator: