Rabu, 20 Juli 2016

TELELOVE 41

PUTRI. 15
FILM






Hujan deras berseling petir, disertai angin rebut,  berhasil memerangkap kami dalam apartmen. Berita TV isinya hanya tentang banjir, longsor, putting beliung, di sana sini Alam memaksa warga kota mencari pengungsian.  Ingatanku melayang ke rumah. Bagaimana di sana? Biasanya bila hujan deras seperti ini, aku sibuk mengalihkan perhatian adik-adik yang takut akan amarah alam atau  Ibu Ratija biasanya mengajak anak-anak berdoa.
“Mungkin film documenter bisa mengundang inspirasi Qon.” Pak Jan mematikan berita TV yang sedang aku tonton. Lalu menggantinya dengan saluran National Geographi. 
Film itu menggambarkan proses tumbuh kembang seorang anak manusia. Pak Jan mengerti dengan kebutuhan pekerjaan anak buahnya. Ini pasti karena  aku sedang mengerjakan proyek iklan bayi, dari susu, android, pampers.
“Ah, kebetulan sekali. Terima kasih, pak.” Kuacungkan jempolku.
Mata kami terpaku dengan proses tumbuh kembang seorang anak. mulut kami terkunci dengan kekaguman betapa Tuhan telah merancang segalanya sejak sperma bertemu dengan sel telur.
Melihat pak Jan duduk serius, tanpa bersandar, serta tengokannya kearahku, dan tentu saja pandangannya itu, membuat aku menjadi salah tingkah. Tuhan! Jangan kau buat scenario hujan deras, dan terkurungnya kami di apartemen ini, menjadi adegan tak senonoh.
Ah! Pikiranku. Otak pasirku, gemuruh.
“Qon, apa kau merasakan sesuatu?” pak Jan tetap menatapku. Membuatku salah tingkah. Aku harus jawab apa? ‘ya, aku merasakan getaran rasa’. hohoho amboy.
 Istigfar Qon!
“Film itu.” Pak Jan menunjuk ke arah TV.
Ah! Kukira apa. Otak dan perasaanku bereaksi berlebihan rupanya. “Kenapa filmnya, pak?”
“Filmnya, kok  seperti apa yang kau alami akhir akhir ini.”
Apa? Pak Jan memperhatikan aku? Pasir di otakku bergerak amburadul. Maksud dia apa sih?
“Kebiasaanmu akhir-akhir ini seperti wanita hamil muda.” Suara pak Jan jelas. Petir pun diam, agar suara itu masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tetap sulit mencernanya.
‘kebiasaanku seperti wanita hamil muda?’
“Serangan mual, dan pusingmu mungkin bukan maag, karena pada saat yang bersamaan kau menyukai buah-buahan masam.” Suaranya pelan, patah-patah. Pak Jan sangat serius. Aku berani menyahutinya dengan gurau. Aku tidak mampu untuk bergurau ketika pasir diotakkku berbaris rapi lalu bertanya padaku: ‘aku hamil?’
“Ba… bagaimana mungkin? Bapak tahu sendiri saya tak punya pacar, dan bagaimana pergaulanku di kantor? Dan jilbab ini sungguh bukan hiasan belaka.”
“tapi kau pernah hilang di culik.”
“Dokter bahkan memastikan saya masih perawan.”
“Tapi itu mungkin saja terjadi, ingat kau beberapa kali mengalami percobaan penculikan.”
“Mustahil, penculikan itu terjadi pasti karena alasan lain.”
Pak Jan bangkit meninggalkan kekacauan pikiranku. Tak berapa lama kemudian dia ke luar dari kamarnya.
            “Entahlah; Tapi ini... Cobalah!” Baru kali ini aku melihat pak Jan gugup, menggigit bibirnya. Dia bahkan menelan ludahnya. Dia memberikan test pack padaku. Kedua tangannya kembali dia sembunyi di saku celananya.
            Kutatap benda kecil di tanganku. Apa ini? Ini test pack, bodoh! Bagaimana dia memiliki benda semacam ini?
            “Ini milik Maya yang tak pernah ia pakai.” Pak Jan seolah bisa membaca pikiranku.
            Oh, tentu saja hubungan mereka telah sangat jauh, sehingga memiliki test pack adalah hal yang wajar.
            “Kapan terakhir kau menstruasi?” Tanya pak Jan, gayanya seperti seorang dokter.
            Lama aku mencerna pertanyaannya. Bingung tak karuan. Otakku begitu lamban mengingat tanggal mestruasi terakhirku. Ya. Rasanya sudah lama sekali.
            “Oh, Qonitaaaa... cepatlah! aku harus segera tahu.” Desak pak Jan.
            “Kenapa aku?” dan kenapa dia yang  gugup? Otakku benar-benar gaduh.
            “Sudah kukatakan tadi, karena kamu-dua-minggu-ini-seperti-orang-hamil-trismester-pertama-. Doktermu bilang tidak ada yang salah dengan kesehatanmu.”
            “Astagfirulloh... bapak...”
            “Maaf.”
            “Bagaimana...?” bagaimana bapak tahu cirri-ciri orang hamil? Hanya karena melihat film ini?
            Aku tak melanjutkan pertanyaanku. Pasir di otakku segera membuka file-file dua minggu. Malas di pagi hari, mual, muntah, kembung, emosi tidak stabil, senang buah-buahan berasa asam. Sepertinya semua yang dikatakannya itu benar!
            Bagaimana semua itu aku tak menyadarinya? Bagaimana  pak Jan memperhatikan semua itu? Kami saling tatap. Aku tak kuat lagi untuk terus menatap matanya.
            “Saya bahkan masih perawan pak.” Kataku tersenyum.
            “Aku tahu, aku percaya. Tapi lakukan saja, agar kita segera bisa bernafas lega.” Perintahnya, aku menangkap nada gemetar dari bibirnya. Dia pasti sulit mengucapkannya.
            “Kenapa…” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Lama kami saling diam. Matanya memerintahku dengan sungguh-sungguh. Aku rasa apa salahnya memelakukan apa yang ia perintahkan? Bukan hal yang memberatkan. Walau sangat tak masuk akal.
Aku bangkit dan masuk kamar. Melakukan semua prosedur yang tertulis di test Pack. Lalu membaca hasilnya.

            Dua garis. Positif. Aku tak percaya. Kupejamkan mataku. Lalu kulihat lagi.  





BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: