Senin, 04 Juli 2016

TELELOVE. 34

PUTRI. 13
SANG BINTANG JATUH






Hari ini kami bermobil bersama menuju  kantor. Kata pak Jan ada pertemuan yang tak dapat aku hindari. Sepanjang perjalanan dia bersiul gembira. Sepertinya suasana hatinya sedang baik.  Dua minggu tinggal di rumahnya, setidaknya aku menjadi hapal kebiasaannya. Bahkan aku bisa membaca mimik mukanya jika dia menahan kentut.
            Dua blok sebelum tiba di gedung kantorku aku sudah bersiap turun di ti tikungan berikutnya. Aku tak ingin seorangpun yang mengenal kami melihat kebersamaan ini. Sekalipun Kamila pernah melihatnya.
            “Aku turun di sini. Trims pak atas tumpangannya.”
            “Terserah, nona saja...” pak Jan  tersenyum.
Kau dengar? Dia memanggilku nona! 2 minggu ini memang banyak hal ajaib yang terjadi diantara kami.
            Kau akan salah jika menyangka kualitas hubungan kami mengalami grafik peningkatan. Tidak. Karena ternyata, pak Jan menjalin hubungan rahasia dengan seorang model cantik.
            Tentu saja aku kecewa. Waktu aku tahu itu. Tapi aku tahu diri. Sejak pertama mengenalnya, aku sudah ‘tahu diri’. Aku sangat paham posisiku, dan kelas sosialku. 
Hanya yang Aku bingung, aku harus bagaimana, bila pacarnya pak Jan, Maya, model cantik  yang hebat itu menginap? Aku harus mengingatkan tentang ‘bukan muhrimnya’? Lha aku sendiri bagaimana? Aku juga bukan muhrimnya dan aku sudah ‘tinggal’ di apartemen itu nyaris tanpa keluar apartemen.
            Tapi mereka menginap sekamar!
Waktu  malam itu aku benar-benar tersiksa, memikirkan maksiat yang sedang terjadi diantara mereka. Kulantunkan Qur’an agar Allah melindungi rumah ini dari syetan  maksiat. Dari syetan berwujud Maya. Wanita cantik, tinggi semampai,  sangat menarik.
            Berulang kali aku ingin menyerang  menggrebek pasangan zinah itu. Tapi oh, tentu saja aku pasti akan malu sendiri. Di dunia ini, hubungan semacam ini, sangat biasa. Yang tidak biasa adalah aku. Ibu Ratija,  aku harus bagaimana?
Ku lantunkan lagi Qur’an, kucoba menghalau pikiran kotorku. Ya Allah terangi aku, dalam kehidupan yang kacau ini. Ya Allah bantu aku mematikan rasa cintaku.
            Selama dua minggu itu, baru dua kali  Maya menginap. Empat kali Maya datang dalam keadaan mabuk.
Mungkin pak Jan tahu, aku tidak suka atas sikap ‘liarnya’. Kurasa, setelah sikap ‘tak enakku’,  mereka lebih banyak berkencan di luar. Ah, apa peduliku.
            Maka jalan teraman bagiku adalah mematikan rasa  sukaku pada pak Jan. Cinta ini memang seharusnya buat Tuhan semata. Bukan buat manusia. Berharap cinta dari manusia hanya akan membuatmu kecewa, tapi bila kau berharap balasan Tuhan atas cintamu, maka kau akan selalu bahagia. Dan mendapat cinta yang berkah. Aku harus yakin itu.
Jelas sekali pak Jan bukan jodoh untukku. Sekalipun dia baik, tampan, dan aku suka, tapi aku tahu –dia tidak baik bagiku-.
            “Hmmm, pak, bagaimana jika saya pindah saja?”
            “Kenapa...”
            “Apa Kak Maya...”
            “Oh... tenang saja! Ini rumahku, dan aku yang menentukan siapa yang boleh dan tidak tinggal di rumahku.”
            “Apa kak Maya....”
            “Jangan khawatirkan dia. Aku lebih mengkhawatirkan keamananmu.”
            “Saya...?” oh saya dikhawatirkannya... bolehkah saya merasa... Tidak! Pasir di otakku riuh rendah. Berdebat tentang bolehkah aku menyukai pak Jan lagi.
            “Hahahaha... tenang saja, dia tidak cemburu kok.”
            “Yah, tentu saja, aku bukan ancaman yang serius.”
            “Dia salah kalau berpikir begitu.”
            Pak Jan bergumam. Tapi aku jelas mendengarnya. Kucoba  pasir di otakku mengendalikan syetan di hatiku.
 Ingat ya Qon: lelaki baik untuk wanita baik. Bukan lelaki tampan untuk wanita baik. ibu Ratija.
            Tet! Klakson mobil dibelakangku membuat aku terbangung dari lamunanku.
            “Hati-hati nona, ada penculik lain yang menantimu...” Pak Jan tersenyum, menggoda sambil mengedipkan matanya padaku.
            “Ya, pak.” Oh Tuhan, bagaimana jika pak Jan di Kantor memperlakukan aku seperti di rumah? Santai dan suka menggodaku?
 Aku pun turun dimana  pak Jan menunggu sebelum kejadian  penculikan itu.
            Saat mobil pak Jan bergerak, aku baru bisa  melihat Kamila sedang memandangku dari seberang. Dia tampak seperti patung bodoh. Mulutnya menganga, dia pasti tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya.
            Ya Tuhan. Kenapa skenarionya tak sesuai dengan pengaturanku? Dia pasti melihat aku keluar dari mobil pak Jan.
            Oh Tuhan selamatkan aku dari fitnah tak bermutu!
***




Bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: