Kamis, 21 Juli 2016

TELELOVE 42

PUTRI. 15



FILM




Dua garis. Positif. Kali ini aku menatap hasilnya lama. Berharap satu garisnya hilang. Hanya dengan kekuatan pandangan mata. Hilanglah! Hilanglah!
            Tapi tidak. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Tetap 2 garis.
            Lemaslah segala ototku. Riuhlah badai pasir di otakku. Pasir di otakku membadai seketika. Apa yang aku alami ini? Benarkah? Aku tak dapat percaya. Ini Cuma selembar alat kecil pula! Kubisikan dari hatiku Innalillahi wainnalillahi rojiun. Badai pasir otakku mereda.
“Qon...?” suara pak Jan dari luar terdengar. Di tambah ketukan pintu kamar.
“Qon..? Qon..? Qon!” bonus panggilan cemas.
Kubuka pintu kamarku. Kutatap dia.
“Bagaimana?” aku melihat kecemasannya.
Kuberikan hasil test packku. Kukira dia akan kaget atau terkejut, walau dia sudah bisa menduga hasilnya. Ternyata aku salah. Aku melihatnya biasa saja. Alisnya sedikit naik. Seperti jika dia memeriksa analisa pasarku yang salah atau benar. Ya Tuhan! Dia biasa saja! Padahal tadi dia yang nampak penasaran. Tentu saja, dia biasa saja. Dia tak ambil bagian apapun dalam penciptaan dua garis di test pack itu.
Yang seharusnya mengalami kiamat itu aku!
Aku jatuh terduduk lemas. Menangislah aku sejadi-jadinya. Pasir di otakku teraduk-aduk karena guncangan tubuhku. Tak kuat dengan segala kebingungan ini. Siapa yang menyangka? Aku belum melakukan apa-apa. Apapun. Tak seorang lelakipun yang dekat denganku. Pak Jan itu bukan apa-apaku. Dia sahabatku, bukan pacarku, apalagi pernah mengintimi ku. Bersentuhan saja nyaris tak pernah.
            “Menangislah sepuasmu, Qon.” Dia jongkok di depanku sambil membawa sekotak tisue. Bila aku seorang Maya, tentu dia telah menarikku dalam pelukannya, untuk menumpahkan semua air mataku di dadanya. Tapi aku seorang Qonita, gadis yang selalu menjaga hijab. Hanya kepada Tuhankulah aku mencari tempat tumpahan air mataku.
            “Qon, Kau ingin aku mencarikan bapaknya? Atau orang tuanya?”     tanya pak Jan berhati-hati. Setelah suara tangisku mereda. Dia pasti telah memikirkan segala ucapannya.
            Badai pasir kepalaku bangun dalam bingung, lagi.
            “Bapaknya? Orang tuanya?” aku berusaha menhentikan tangisku.
            “Untukmu ini memang  diluar kebiasaan. Sangat aneh. Memang biasanya para orang tua menyewa rahim wanita untuk menjaga janin mereka. Lalu selama sembilan bulan ke depan, para orang tua  penyewa rahim ini        menjamin kehidupan wanita pemilik rahim sampai bayi itu lahir.”
            Aku hanya diam. Orang tua sialan itu! Di manakah mereka?
            “Qon, terjawab sudah, kenapa sehabis penculikan itu, kau belum bisa pulang ke rumahmu. Serta  beberapa kali kau masih mengalami penguntitan, hingga kau terpaksa harus tetap sembunyi di sini. Rupanya kau membawa janin mereka.”
            “Tapi kenapa orang tuanya tidak menemuiku secara langsung. Bicara baik-baik. Minimal mohon maaf, dan menerangkan melalui media massa sebagai usaha rehabilitasi namaku? “
            Pak Jan diam.
            “Atau orang tuanya sudah tahu jika aku hidup aman dan terjamin di sini?”
            Pak Jan diam.
            “Apa  orang tuanya tidak khawatir aku menggugurkan anak ini? Karena secara hukum, aku bisa melakukannya secara legal setelah melalui test pembuktian bahwa ini bukan anakku!? Dan aku tak pernah melakukan kontrak apapun secara resmi dengan mereka.”
            Pak Jan diam menatapku prihatin.
            “Aku bisa menggugurkan anak ini! Kenapa mereka seenaknya saja melakukannya padaku?”
            “Kau tak kan mungkin melakukkannya Qon, dan itu telah mereka perhitungkan.”
            “Kenapa? Aku bisa saja melakukannya!”
            “Aku tidak percaya.”
            Menangislah aku. Tuhan, bagaimana mungkin aku menggugurkannya sementara aku begitu takut atas dosanya.
            Bila kubiarkan janin ini tumbuh pun hanya menimbulkan kebingungan tanpa akhir. Dia tak memiliki silsilah yang jelas, salah satunya, karena darah kami tercampur, sekalipun itu di luar kehendak kami.
            “Memang aneh. Kenapa mereka melakukan ‘dengan paksa’? sementara proses seperti ini sudah bisa dilakukan secara legal?” pak Jan bicara pelan. Dia bersila di depanku.
            “Ya Allah... kenapa aku harus hamil anak ‘orang’... bukan anakku...” Aku tahu, sebagai muslim, harus menerima cobaan dengan ikhlas, bukan dengan kata tanya : ‘Kenapa saya Tuhan?’
            Kini Kusadari, aku ini seorang muslimah yang masih jauh dari rel agamaku. Aku masih susah payah menerapkan semua sunah dalam kehidupan dan menerima takdir ini.
            Kenapa Tuhan memilihku cobaan ‘gila’ padaku, muslimah yang keimannanya masih jauh – jauh... dari surga...
            “Kenapa saya pak Jan?”
            “Karena kau kuat, Qon.”

***

Tidak ada komentar:

Translator: