Rabu, 29 Juni 2016

TELELOVE 33

PUTRI. 13.
SANG BINTANG JATUH



Ini bukan tentang rasa yang hidup dari mati.


 Dua minggu sudah aku keluar dari rumah sakit, akupun  kembali pada rutinitasku. Pekerjaanku. Setiap pulang dan pergi, Boy akan mengantarku. Tentu saja aku tak berani memamerkan kemewahan bermobil dengan supir android itu. Terkadang kami, aku dan pak Jan bisa bersamaan, tergantung dari jadwal kami.
Selama tinggal di rumah tumpangan, apartemen pak Jan, tak  ada seorangpun yang tahu aku di sana, selain ibu Ratija, dan Wanda. Untungnya pak Jan jarang menerima tamu di Apartemennya. Coba bayangkan bila orang bergantian datang, seperti di apartemen kumuh kami. Orang yang datang mungkin akan menanyakan ‘siapa aku’, atau bila tidak, mungkin akan menyangka aku ‘simpanannya’, karena tak mungkin menyangka aku pembantunya, bukankah sudah ada Boy yang merangkap perannya?
            Sebagai anak baru, tentu saja aku harus menjaga citra di depan teman-teman kantor yang lain. Aku ingin menunjukan bahwa aku mampu. Keuntunganku banyak waktu bersama dengan pak Jan adalah beajar  atau diskusi singkatnya tentang seluk beluk periklanan.
            Atas bimbingan pak Jan pulalah, aku beberapa kali mendapat pujian dari bu Kim. Lambat laun pasir diotakku bekerja normal, dilusi optik tentang lidah api bu Kim, tanpa kusadari hilang dengan sendirinya. Yah otakku memang butuh dilatih bekerja lebih sinergis.
Menurut bu Kim aku harus mencoba membuat lima proposal proyek sekaligus untuk diajukan ke kantor pusat. Besar kemungkinan, ide tentang pencitraan ‘industri berniat baik’ akan diterima baik. Bagian pemasaran, mungkin tidak suka menerima ide –mustahil- ini.
Memang kelihatannya seperti proyek ambisius buat anak bawang sekelasku, proyek ini seperti ‘mustahil’. Mendengar tantangan dari  bu Kim saja, pasir diotakku langsung kalut, antara bangga dan bingung.
Lalu angin ribut menari-nari di seputar meja kerjaku. Pasir diotakku –seperti biasa- tak dapat membedakan antara sindiran dan sanjungan atau jilatan bahkan ancaman. Semacam inilah keributan itu, diributkan dengan suara sengaja keras.
“Hah? Anak bawang ini? 5 proyek? Dan kita yang harus membantunya?”
“Ah anak bawang ini telah bermetamorfosis menjadi anak EMAS!”
“Wow, 5 proyek? Taruhan, di minggu ke dua, kepalamu yang berjilbab itu akan ganti dengan penutup perban, karena otakmu –me-le-dak-!”
“Anjrit! Gila! Mimpi apakah?”
“Sssssttt... kamu pake susuk?”
“Bolehlah nona ciprat dikit rezeki dan berkah yang nona dapat untuk ane?”
“Aku mencium bau busuk.”
“Aku mencium bau uang.”
“Aku ingin menciummu!”
Tapi aku hanya diam saja. Sebagai  anak bawang, aku harus tahu diri,  harus jaga diri, dan jaga lidah dari keparahan kerusakan persepsi yang sedang terjadi.
Dari semua celoteh angin ribut diseputar mejaku, kamu bisa menebak bukan yang mana suara Kamila? Lupakan Kamila! bicara tentang dia hanya buang-buang waktu energi dan perasaan saja. Ingat kata ibu Ratija:
Tinggalkan yang sia-sia, kerjakan yang penting!
Jadi  dua minggu ini aku lakukan riset pasar, melalui internet. Untungnya ditengah kesibukan itu, Ibu Ratija melalui saluran jarak jauh,  mengingatkan aku untuk  selalu  sholat tahajud. Dia bilang, sholat tahajud, adalah kunci segala masuknya energi positif.  Aku percaya itu. Karena selama sholat segala inspirasiku datang menggodaku bertubi-tubi.
Jelas bukan? Aku tidak munafik, bicara sebagai pelaku sholat tahajud yang khusu. Yang jelas, setidaknya dalam 11 rokaat itu, aku menemui Tuhanku, aku merasakan Tuhan menciprati ilham di malam-malam seperti itu.
Aku anggap inilah hasil tanya jawabku dengan Tuhan.
Tapi apakah ‘tinggal/numpang’ termasuk rutinitas? Yah tentu saja. Anggap saja begitu, karena dua minggu  ini aku beralih tugas dari dapur rumah ibu Ratija, ke dapur mewah pak Jan.
Aku memasak untuk pagi dan malam. Semula pak Jan mengusulkan untuk makan di luar. Tapi aku beri pertimbangan bahwa  makan di rumah lebih irit, aman, sehat, pak Jan mau menurutiku.
Aman dari gosip. Dan dari Kelompok Kupu-kupu yang konon masih berkeliaran di perumahanku, entah kenapa.
Tentang Kelompok Kupu-Kupu,  aku curiga, merekalah yang menculikku, kemarin. Tapi aku jadi ragu. Karena bila benar mereka yang menculik aku kemarin, pasti mereka sudah berhenti mencariku. Dan berkeliaran di sekitar rumah ibu Ratija. Memangnya apa lagi yang mereka cari?
Sembilan adik-adikku? Ah tidak! Jadi karena kekhawatiran ini aku sering menghubungi Ibu Ratija. Aku bisa melihat Ke sembilan adikku bergantian nongol di monitor komputerku. Mereka terlihat baik-baik saja.
 Ibu Ratija bilang, ‘Tuhan telah mengaturnya, saat kau pergi, seorang manusia buatan  datang menyusup dan tinggal secara ilegal di rumah kami. Dia datang  beberapa saat setelah aku pergi. Hebatnya manusia buatan  ini mampu belajar dan berlatih dengan cepat
            Walaupun tidak ‘sehebat’ diriku, dia bisa menggantikan aku dalam mengajari anak-anak dan pekerjaan rumah yang lain. Bahkan ibu Ratija bilang, dia bisa diandalkan untuk menjaga keamanan kami. Dia bisa menyamar, dan menghindar dari para tukang palak kupon air dan listrik. Sepertinya kehidupan rumah ibu Ratija semakin baik sepeninggalku.

Ingin sekali Aku mengenal manusia buatan  ini. Ingin aku ucapkan banyak terima kasih untuknya. Tapi kata bu Ratija dia belum siap bertemu denganku. Menurut bu Ratija dia begitu malu dengan penampilannya yang buruk rupa. Sekalipun bu Ratija menerangkan bahwa aku tak pernah mempedulikan diua buruk rupa atau tidak. Kupikir aku ingin sekali-kali berkunjung ke sana. Tapi itu tidak mungkin, menururt bu Ratija gang Kupu-kupu  semakin rajin patroli. Jadi sampai hari ini aku belum melihat kakak Mansis yang menjadi pahlawan rumah kami itu. Mungkin Tuhan menginginkannya begitu.
                                                                    ***





Bersambung. 

Tidak ada komentar:

Translator: