Senin, 13 Juni 2016

TELELOVE. Bagian 19

PUTRI. 7
MENARA PERSEMBUNYIAN





Kutatap wajah lusuhku di cermin berbingkai ‘pasti mahal’.  Perlahan aku menyisir rambutku. Jika keadaan susah dan menghimpit seperti ini, biasanya ibu Ratija akan mendekatiku, menyisiri rambutku, aku bisa melihat wajah tuanya. Lewat suara tuanya yang lembut, berpadu dengan mata teduhnya, dia akan mampu mengorek semua isi pikiran dan jiwaku yang sesak.
            Ibu Ratija. Aku ingin sekali kau menyisir rambut kusutku, dan meringankan semuanya kesesakan kepala dan jiwa ini. Aku lelah sekali.
            “Qon?” pak Jan mengetuk pintu. Dengan cepat aku ambil jilbabku. Ku lirik jam di penyerentaku. Ha? Jam 11.00 mau apa, dia?
            Tapi sebelum pikiranku bersilmulasi maca-macam, kudengar lagi suara pak Jan. “Makanlah, Qon...!”
            Makan! Ah ya aku belum makan malam karena peristiwa tadi. Cepat aku buka pintu kamarku.
            “Oh, terima kasih, saya  memang belum makan.”
Tanpa basa-basi, aku menyantap apa yang si Boy  sajikan  dengan lahap.
            “Kau bisa menceritakan tentang kejadian tadi?” Tanya pak Jan ditengah suapan.
            “Oh, panjang ceritanya.” Jawabku sedikit bergaya. Panjang? Memangnya ada rangkaian ceritanya sebelum menyalakan alarm kebaran itu? Kuusap wajahku, mencoba merangkai semua ingatan.
            “Kita bisa cerita sambil makan, bukan?” pak Jan melihatku, aku bisa lihat tatapan kagetnya, terhadap daya kunyahku.
            “Saya akan cerita dari mana ya?”
            Dia menatapku datar. Sejenak aku terpesona dengan kedatarannya. Siapa sangka besok pagi aku akan melihatnya pertama kali sebelum orang lain melihatnya! Maksudku, si Boy itu tak masuk hitungan bukan?
            “Qon?” suara pak Jan  langsung masuk ke hati. Padahal cuma setengah namaku yang diucapkannya. Ini pasti cuma perasaanku saja.
            “Saya kira ini dimulai saat peristiwa penguntitan kemarin pagi, pak. Sejak saya turun di statsiun monorel itu, diteruskan dengan  usaha penculikan diriku yang barusan terjadi. “
Pak Jan masih nampak datar. Dia ‘menatapku’, membuatku rikuh dengan tatapannya. Dia tidak mengerti, tentang: ‘tidak baik, menatap selain muhrimnya’. Bu Ratija, jangan salahkan aku, kalau dia mungkin  terpesona padaku.
Kuceritakan kenapa jilbabku hingga dipakai terbalik, dan peristiwa sabotase air, petugas instalasi yang diikat.
“Jelas sekali mereka mengincar aku.” Kututup kisahku dengan nada penuh gaya.
“Bagaimana kau bisa memastikan mereka mengincarmu?” pak Jan menyuapkan buahnya. Glek! Indahnya! Hanya gerakan makan buah, tapi terlihat bagai tarian elok. Inilah yang dinamakan kaca mata cinta. Cinta? O-oo, sepertinya aku terburu-buru menyimpulkan.
 “Petugas instalasi itu bilang bahwa ‘mereka’  mencari  ‘Qonita’.” Kataku kulengkapi dengan  tangan yang  memberi isyarat  ‘mereka’ dan ‘Qonita’. Beginilah jadinya bila biasa berkomunikasi dengan adik-adik di rumah, yang masih balita, dan berkebutuhan khusus, kita harus memberi gaya pada setiap katanya agar daya tangkap mereka lebih cepat menyerap apa yang kita komunikasikan, ini menurutku. Tapi kebiasaan ini menjadi sulit aku hilangkan.
“Mencarimu? Kenapa?” Pak Jan mencoba menumbangkan analisaku.
 “Iya, pak,  saya  juga heran. Biasanya jika jelas korbannya siapa, mereka berharap tebusan besar dari penculikan. Apa mereka tidak tahu jika saya anak yatim piatu, yah walau sudah dewasa-, dan  tinggal di komplek rumah susun kumuh? Lagi pula saya  cuma pegawai magang, bukan seorang CEO, selebritis, orang kaya, atau pejabat penting yang punya nilai tukar. “ aku bicara dengan gaya pantomimku. Ingin sekali aku bicara dengan gaya anggun, seperti seorang wanita berkelas. Tapi pasir diotakku rupanya menahan keanggunanku. Pasir diotakku menayangkan bayangan keluargaku di rumah.
“Jadi menurutmu, aku lebih pantas jadi korban penculikan?” dia pasti tersinggung.
“Oh, maaf saya belum tahu bapak orang yang ‘cukup penting’, untuk diculik.” aku melihat wajahnya memandangku tak enak.
“Pak, saya  cuma orang biasa yang hidup susah karena berusaha membantu menghidupi keluarga kami di rumah ibu Ratija.
“Jika mereka mengincar saya  untuk perdagangan wanita, bagaimana mungkin? Nonongku ini sepertinya menandakan saya seorang cerdas, yeah, tentu saja ini anggapan keliru. “ kutunjukan jidatku, bagian dari wajahku yang paling menonjol.
Pak Jan tersenyum. Indah. “Hahahaha... saya setuju.” Oh, tapi senyum tak pernah berbunyi bukan? Rupanya  dia tertawa.
Pasir di otakku berbisik:  pak Jan  menggodaku dengan mengejek. Maksudnya pasti tentang ‘anggapan yang keliru’.
Sial!
“Pak, saya juga berjilbab , tanda sebagai gadis berkarakter, yah walaupun beberapa oknum merusak citra jilbab ini.” Ingin sekali aku menghentikan tawa yang menyinggungku.
Pak Jan mengangguk-angguk. Senyumnya terkulum indah. Tapi saat kesadaranku melintas, aku tahu, pak Jan tersenyum melihat gaya komunikasiku yang berbeda dengan di kantor tepatnya saat aku bicara dalam pengaturan 100%. Ini pasti gara-gara otak reptilku yang spontan saja berkelakuan seperti aku di rumah.
Oh, seperti di rumah! Maksudnya saya –seperti sudah biasa- dengan rumah dan penghuninya di sini? Hah, yang benar saja!
“ Pak, semestinya mereka harus berpikir berulang kali, karena setahuku korban perdagangan wanita itu kebanyakan gadis-gadis belia ber-IQ- dibawah rata-rata, dan tidak berkepribadian.” Tanganku menunjuk ‘mereka’  ke arah angin, menunjuk kepala untuk kata ‘pikir berulang’, tanganku masih sibuk memberikan gerakan.
Benar-benar memalukan. Aku bukannya lupa untuk bicara anggun. Tapi aku tak mampu menahan gerakan tanganku.
Pak Jan menarik nafas prihatin.  “ Atau mereka mengincar otakmu?”  pak Jan menunjukan kepalaku. Haha, apa dia tertular dengan gaya gerak dalam bicaraku? alamak, aku tahu dia  menahan tawa,  ternyata diskusi ini hanya lawakan saja buatnya. Huh!
“Maaf-maaf. Kurasa kau cukup cerdas, untuk diambil otaknya.”
Ha! Aku tak kan tertipu lagi dengan bicara basa-basinya.
“Atau mungkin organ yang lain?”
Aku baru menatapnya lebih serius. “Ya, pak. Mungkin saya masuk kriteria korban ideal. Muda, sehat, kuat, tidak ada keluarga. Bukankah keluarga yatim piatu memang sasaran empuk- penjahat  spesialis ini.”
“Tapi kenapa kamu sampai mengalami percobaan penculikan sampai dua kali? Berarti kamu memang –dicari- tapi untuk apa? Maksudku, bisanya bila mereka gagal, mereka akan mencari korban lain."
Aku diam. Kepalaku dipenuhi badai pasir lagi. Sepertinya otakku berusaha keras membuat pasir-pasir itu bekerja.
“Mungkin untuk sementara waktu, kau tinggal di tempatku?”
“Oh, apa kata orang nanti? ibu Ratija pasti tak akan setuju.”
“Kenapa?”
“Karena bapak seorang laki-laki (lajang dan tampan). Dan aku seorang perempuan.”
“Hahahahaha... memangnya kenapa?”
Aku tahu pak Jan –tahu jawabnya- dia pasti hanya menggodaku saja.
“Jika dua orang bukan muhrim berdua-duaan, maka yang ketiganya adalah syetan, pak.” Jawabku.
“Maksudmu si Boy itu? syetan? hahaha...”
“Ya.” Huh, aku mulai jengkel dengan percakapan seperti ini.
“Dia itu android, bukan syetan.”
“Saya  tahu. Bapak tentu tahu yang saya maksud. Tapi saya kira, di rumah ini lebih baik dari pada bahaya yang bisa terjadi secara random diluar sana.” Oh Tuhan... aku harus bilang apa? ‘Tolong pak, aku mau menginap di rumahmu. Lebih baik aku berhadapan dengan ‘syetan’ tampan seperti bapak daripada berhadapan dengan penjahat misterius di luar sana.’  Tapi apa aku harus jujur  mengatakan itu?
“Oh, kenapa kau pedulikan pendapat orang tentangmu? Yang penting kau peduli bahwa  Tuhan selalu mengawasimu.”
Glek! Ibu Ratija, aku menemukan orang selain dirimu yang dapat menasihatiku dengan ‘pas’. Tentu saja dia juga lebih tampan serta  memesona dibanding dirimu. Maaf.
“Memang benar. Tapi bagaimana dengan ibu Ratija dan adik-adik?” kataku lirih.
“Kenapa?”
“Saya selain harus mengatur pemasukan rumah kami, saya juga mengasuh bayi Rahman dan Rahim, Bayi kembar yang baru sebulan kami temukan. Tepatnya dikirim orang tak dikenal ke rumah kami. “ tiba-tiba saja aku tak dapat menahan genangan air mata. “Kenapa ada  orang tua atau siapapun setega itu menelantarkan dua bayi merah yang tampan-tampan di depan pintu rumah kami.” Oh! Kini kami memasuki tema keluarga, pembicaraan lebih… intim..? oh! Oh!
“Di sana tidak ada pengurus rumah tangga?” Pak Jan menahan suapnya.
“Sesekali ada tetangga yang membantu. Tapi kami tak dapat mengaturnya. Karena kami tak dapat membayarnya. Orang-orang menolong kami tanpa bayaran, karenanya kerja sosial begitu tak bisa kami ikat dengan jadwal. Kami harus bersyukur atas bantuan mereka.”
“Bagus, berarti, seharusnya kau tak perlu terlalu kuatir?”
“Masalahnya, bayi itu, hanya aku dan ibu Ratija saja yang bisa menghentikan tangisnya.”
“Apakah kakak-kakaknya yang lain tidak bisa mengasuhnya?”
“Bisa, tapi apa yang kita harapkan dari kakak yang buta, kakak yang pincang, kakak berkebutuhan khusus. Apalagi kakak yang belum cukup umur?” kataku dengan isyarat tangan bergerak-gerak.
“Oh?” wajah pak Jan berubah tercengang.
 Dia pasti tak dapat membayangkan keadaan rumahku yang sebenarnya.
“Bayinya sering menangis, karena  tak cukup susu untuk mereka.” Aku menunduk. Bayangan Rahman dan Rahim menangis, membuatku gelisah. Tuhan lindungi keluargaku. Kirimi mereka kebahagian hari ini!
Tanpa malu, ingus dan air mataku mengalir. Pak Jan mengambilkan tisue untukku. Tapi dia terlambat, aku telah melap ingusku dengan lap makan. Aku baru sadar itu tidak ‘benar’ saat aku lihat pak Jan kaget dan menggerutkan matanya. Dia pasti jijik. Tentu saja aku menyesal, malu, salah tingkah, salah gaya.
                                                              ****



BERSAMBUNG...


Tidak ada komentar:

Translator: