Minggu, 12 Juni 2016

TELELOVE. Bagian 17

PANGERAN. 6
OPERASI




Oh, ayolah bicara, aku sangat penasaran! Aku tahu kau bisa bicara. Dan kau mengerti semua yang aku bicarakan. Katanya terlihat gemas. Seperti biasa, bila para ilmuwan –pemula- melihatku.
            Beraninya dia memegang rahangku, lalu membuka-menutupkan rahangku dengan paksa, seolah aku ikan mati yang sedang ia mainkan.
            Oh, mimpiku tadi indah sekali dok. katanya lalu terkikik sendiri. Dia bicara, aku tahu maksudnya dia pura-pura menjadi diriku.
            Tak ada hal lucu yang bisa membuatku ikut terkikik.  Yang aku rasakan adalah rasa malu, karena aku terbaring telanjang. Malu dan marah. Jahatnya mereka memperlakukanku seperti –ikan mati-.
            Lalu aku mulai gatal. Tuhan kenapa kau beri aku perasaan untuk sakit hati, marah, dan malu, yang hanya membuatku ingin mengelupas.
            O-oooo.. Orang itu mengambil kepingan sisikku. Dia terlihat cemas.  Sebentar lagi dia mungkin panik.
            Aku akan mengkelupas bodoh! Dasar ‘pemula’. Ingin kuteriakan suaraku. Tapi aku tidak bisa. Aku belum mampu untuk bicara, aku masih dalam tahap pengajaran bicara. Terapi bicara. Olah lidah. Atau apalah namanya.
            Bagaimana dia? Sudah sadar? tanya yang lain mendekati kami.
            Tanganku yang terikat oleh juluran tali ranjang, mulai dapat mengepal menahan gatal dan sakit.
            Ya. Dia juga akan mengelupas. Kata si sok tahu itu.
Orang-orang masih saja ribut.
            Gigiku gemelutuk, gemas  tanpa daya.
            Kenapa? Tanya temannya.
Yang lain bingung. Seandaynya di sini ada dokter Rut.
            Bola mataku bergerak, kuliarkan pandangan mataku.  Penuh amarah.
            Pengaruh obatkah? kata Si Sok Tahu.
            Aku tak tahan lagi. Mereka bicara riuh rendah mendiskusikan topik yang aku tak ingin memikirkannya.
            Cepat pindahkan dia ! sebelum kekuatannya pulih dan mengamuk! Ku dengar perintah seseorang dari pengeras suara.
            Mereka pasti sudah hapal dengan semua gejala mengelupasku  ini.
            Tenang, kau lupa, obat biusnya cukup membuat dia mati rasa sampai sore nanti. Si Sok Tahu menepuk-nepuk dadaku.
            Ha, efek obat sampai sore?
Bagus! Eh, efek itu sama dengan -pengaruh- kan?
            Suntikan saja obat penenang! Perintah yang lain.
            Obat penenang? Mereka takut aku marah?
            Oke! Jawab si Sok Tahu.
Dia membuka besi yang menyelubungi lenganku.
            Mohon perhatian, doktor Roro, doktor Aziz, doktor Rataya ditunggu di ruang intensif, segera! Perhatian-perhatian...- kata suara seseorang yang menggema di mana-mana.
             Ketiga orang yang bersiyap mengerjaiku, saling berpandangan, lalu bergegas meninggalkanku. Begitu saja. Seolah aku tak penting lagi.
Aku melihat mereka memijitkan beberapa nomor sandi di pintunya. Dengan mataku, aku coba  menyimpannya di kepalaku.
Tapi gagal. Kata dokter Rut, penyakit lupa  ini karena otaku belum berkembang maksimal.
            Dan syukurlah mereka lupa  mengunci lagi besi pengikat  lenganku. Jadi seperti yang kmu duga, aku dapat dengan leluasa  membuka kunci pengikat lenganku kiriku yang terhubung dengan tempat tidur. Lalu selanjutnya kaki kiri, kaki kanan. 
            Lalu aku lari menuju pintu. Aku harus mengetikan kode yang mereka ketik. Ah, bagaimana ini? Mungkin cara mencium bekas jari mereka bisa membantuku. Bagus, dokter Rut telah membuat penciumanku bekerja melebihi para manusia pada umumnya. Penciuman ini dapat memncium jejak pijitan jari mereka di atas tombol-tombol kunci pintu pengaman ini.
            Ya, bau ini kata dokter Root, kimia yang mengandung alkohol. Kmu jangan tanya apa itu kimia dan alkohol ya.
Kini terbukalah pintunya.
            Inilah kesempatan itu!
            Kulalui lorong berlari mengendap, menghindari kamera pengintai yang telah aku hapal setiap aku lalui selama belasan tahun.
            Sialnya, aku hanya hapal jalan menuju Hutan Buwatan. Aku harus melangkah ke mana? Terdengar suara orang bercakap-cakap di ujung gang. Kucari seswatu yang dapat menyembunyikan tubuh telanjangku.
Itu dia, tumpukan kain yang baru keluar dari tempat cucian.
            Aku menyelinap kedalam tumpukan kainnya.
            Lama aku menunggu. Menahan segala rasa, karena dorongan untuk mengelupas yang semakin memuncak, dan pasti karena obat bius itu. Aku harus mengelupas sekarang, jika tidak, semuanya akan kacow. Kuremas kain dengan kuat. Ototku terasa –mengeras-. Lalu Segala persendiannku ngilu.
            Lalu aku mengelupas. Menggugurkan semua kesakitan dan kegelisahan mendadak. Nyeriku yang tak seorangpun dapat merasakannya.
            Lalu aku begitu lemas. Lalu  kurasakan kehangatan darah mengaliri tubuhku. Mungkin kini giliran obat bius itu yang bekerja. Sebenarnya tanpa obat bius pun, setiap selesai mengkelupas, aku pasti merasa lemas, maka yang kulalukan adalah tidur.
            Kurasakan gerobak tempatku bersembunyi bergerak. Tapi aku sudah lelah untuk waspada. Apalagi samar aku temukan gadis itu lagi. Si pesek, nonong, hitam manis, dan mata yang indah. Mahluk istimewaku.
            Jangan tidur... jangan tidur... ini nyata...
            Tapi aku tak kuat lagi.
                                                                    ***



Bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: