Selasa, 28 Juni 2016

TELELOVE 32

PANGERAN. 12

REVOLUSI KEMAMPUAN



Dokter Rut, Kata ibu Ratija, seminggu ini aku mengalami kemajuan  yang  -sangat banyak-. Dia pasti melewati informasi ini: bahwa kegiatan belajar terus menerus membuat aku semakin pandai setiap harinya.
            Dan lompatan hebat terjadi lagi hari ini. Dinda menangis karena ia kehilangan bonekanya. Dia memelukku. Air matanya, membuat aku bicara!
            “Sssshhhh...” oh... aku mendesis seperti ular. Aku meniru bunyi yang selalu dikeluarkan kakak-kakanya dan ibu ratija bila ada diantara kami yang menangis. Aku hapus air mata dipipinya.
            Dinda menatapku kaget. “Kakak bunyi?”
            “Aaa..kuuu... buuu...nyiiii.” tenggerokanku berderit derit.
            Anak-anak lain yang tadinya sibuk sendiri, menengok, dan mengelilingiku.
“Kakak?” mereka mengguncang tubuhku.
“Kakak!” mereka mulai mendesakku.
“Haii iiiaaa...”kataku dengan kekuatan batin yang penuh. Aku bisa! Lalu mereka bersorak. Ibu Ratija memegang pipiku. Anak-anak lain memelukku.
            “Hebat!”
            “Alhamdulillah... “
            “Katakan yang lainnya!”
            “Aaaa... kuuuuuuu...baa.. haa.. giaaa...”
            “Horeeeeeeeeeeeeee...!”
            Maka sejak itu aku dan Dinda semakin akrab. Dialah yang mengajariku bicara, Kami tak mengenal waktu saling mengeluarkan bunyi-bunyian. Bu Ratija bahkan tanpa sungkan, menarik-narik lidahku dengan perlahan. Dia piker lidah yang panjang akan membantuku membedakan bunyi-bunyi yang bergetar di sekitar lidah.
Tapi kini sebaliknya, jika malam, aku mendapat tugas baru: membacakan cerita untuk Ilalang, Dinda, dan muti.
            Katanya ini tugas kakak Qonita yang sekarang pergi itu. Aku tanya: “kenapa kakak Qonita harus pergi? Padahal begitu banyak tugasnya di sini?”
Ibu Ratija hanya bilang: “ seperti kamu, dia pergi agar dia aman.”
Bagian ini aku benar-benar tak mengerti. Tapi aku tak akan bertanya. Nanti aku pasti akan tahu jawabannya.
Dokter Rut, aku rasa yang namanya Qonita ini kakak tua yang hebat. Dia membantu ibu Ratija di rumah, dan bekerja di luar rumah. Di luar rumah! Hebat sekali!
            Kata ibu Ratija aku bisa belajar banyak kata-kata baru, dan cara menulis yang benar, bila rajin membaca. Maka aku lakukan keduanya.
Kepada ibu Ratija, aku tunjukan buku ‘ceritaku ini’.  Maksudku untuk menunjukan kemajuwan menulisku. Ibu Ratija membaca. Dia nampak kagum dan bangga. Dia mengelus pipiku. Dia cuma bilang: “Bagus, teruslah menulis.”
Suatu malam aku dibangunkan olehnya, hanya karena dia terburu dengan semangatnya, ingin menunjukan padaku: “Lihat bedanya! Kini kau bisa menulis dengan benar! Kau bisa menaruh semua tanda baca dan alenia dengan benar!” Ibu Ratija menunjukan tulisan lamaku yang tak terstruktur, dengan gaya menulisku yang baru. Rapih.
            Lima hari kemudian, ibu Ratija menantangku untuk mengajari Mufti berhitung, penjumlahan dan pengurangan. Dan aku berhasil melakukannya!
            Aku tak menyangka akan secepat ini lompatan-lompatan ini terjadi padaku.
            Dalam sebulan, kedudukanku di rumah ini sama dengan ibu Ratija. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi setidaknya inilah yang aku rasakan. Karena kedudukan kami –nyaris sama- maka kini sehabis anak-anak sholat Isa, Aku dan ibu Ratija tidur tengkurap, dan para kurcaci itu memijati kami dengan berbagai cara.
            Nikmat. Hangat. Sangat-sangat bahagia. Aku tahu pasti inilah rasa yang belum pernah aku rasakan. Saat di mana ibuu Ratija dipijat para kurcaci bergantian, beramai-ramai, sambil memberi nasihat atau cerama/atau kisah nabi. Dan aku mulai mengobrol soal Tuhan.
Hal ajaib lain, tapi begitu mudah masuk ke hati dan pikiranku.






BERAMBUNG

****

Tidak ada komentar:

Translator: