Rabu, 01 Juni 2016

Cerbung #Dystopia TELELOVE. Bagian 7. Kesit Susilowati.

PUTRI. 2.

SI BOLA BEKEL


“Iklan apaan ini?!” bu Kim langsung memotong. Wuuuuzzz... aku nyaris kena lidah apinya. Maaf, ini hanya bayanganku saja.
“Sabaar bu... dia kan pemula,  baru bekerja magang. Kita harus memberinya kesempatan.” Kamila tersenyum, aneh, bagaimanapun aku harus berterima kasih padanya, dia  membuat aku –sedikit- tenang. Yah tapi jika berkaitan dengan Kamila, aku harus selalu waspada, apalagi dengan senyumnya yang seperti itu. Mencurigakan.
Maka kutunjukan gambar primitifku yang lain:

Gambar 4 : Seorang android wanita (robot multifungsi) menyusui seorang anak manusia.

“Apa maksudnya?” tanya bu Kim.
 “Coba jelaskan!” suara pak Rudi yang keras memantapkan  pertanyaan mulut bu Kim.
“Hoooo, anak bawang, beraninya kau..” kegelisahan mulai merayapi ruangan.
Aku melihat orang-orang bergerak resah, berbisik bisik gelisah. Jika tak ada pak Jan, pimpinan yang tampan itu, pasti meja ini sudah seperti arena pasar diserbu angin ribut. Jika tak ada pak Jan dan bu Kim pasti peserta rapat ini sudah melempariku segala camilan kepadaku. Maksudku mereka protes dengan gaya bebas, bukan menganggapku seperti binatang di kurungan kebun binatang. Tapi itu bayanganku yang berlebihan.
Kulirik di sisiku, Kamila, hanya dia yang tenang di meja ini.
“Tolong jelaskan Qonita!” suara keras pak Rudi membuatku kaget, lagi.  Dia pasti terlahir dari keluarga yang tuli. Hidupnya dikelilingi oleh  tetangga yang tuli, Anjing tuli, Kucing tuli, Burung tuli, Kecoak tuli, Tikus tuli, nyamuk tuli,  sehingga sepanjang pertumbuhannya dia harus bicara teriak agar suaranya di dengar.
“Jelaskan!” volume suara pak Rudi  loncat naik,  dua skala.
Jelaskan? Kupikir mereka adalah  pekerja cerdas dan mengerti maksudku, si otak pasir ini.
“Hmmm... kukira gambarnya sudah jelas?” kutunjukan gambar sederhanaku, yang berupa batang-batang untuk kaki dan tangan, bulat-bulat untuk kepala dan perut, sedikit pohon kelapa, pohon pinus, yang hanya berupa garis-garis putus. Aku bukan seorang pelukis naturalis. Menurutku konyol, di era kecanggihan fotoshop, seorang naturalis masih di dewa-dewakan?  tapi aku juga bukan pelukis  surealis, aku cuma tukang gambar. Di masa lalu kau mungkin mengenal master  aliran gambarku. Tinoisme. Aku cuma penggemar almarhum pak Tino Sidin.
Aku mengetuk-ngetukan pinsil elektronik di layar kosongku. Ini pertanda kemacetan di otakku sedang berlangsung.
Oh ayolah....! ke 9 adikku tak pernah protes jika aku bercerita sambil menggambar kartun primitif ini.
 “Sodara-sodara, kita cuma membutuhkan model, wanita kuno bergaya ibu Kartini, sapi, balita, dan tentu saja androidnya.” Aku memberi jeda, mengulur waktu, memberi kesempatan bagi pasir diotakku membentuk ‘sesuatu’. Tuhan, ijinkan aku memiliki otak yang mampu berpikir spontan.
“Lalu...?” Tanya seseorang, bersuara lembut, menikung tajam. Suara merdu Kamila.
Lalu apa ya? Buntu. Isi otakku benar-benar cuma pasir, bukan jutaan neuron yang siap berpikir spontan, apalagi berpikir mustahil. Ini mungkin akibat ibu kandungku malnutrisi saat mangandung aku. Hingga pertumbuhan otakku hanya terdiri atas pasir. Bukan saraf-saraf ajaib.
Lalu? aku melihatnya. Pak Jan  menatapku, alis tebalnyanya mengangkat seolah dia ingin mengajariku, memancingku bicara.
“Sodara-sodara, mereka akan tampil saat bersamaan hingga pemirsa bisa melakukan perbandingannya.”
Seputar meja diam. Pak Jan mengangkat alis, lagi. Lalu mengkerut.
“Hanya itu?” Kamila melemparkan anak panah, tepat  di kepalaku hingga kepalaku bocor, dan pasir didalamnya mengalir bergulir jatuh. Panahnya berhasil  mengosongkan otakku! Ya ampun… sekalipun cuma pasir, tapi aku harus mempertahankannya bukan?
Tuhan! Jika aku sampai kehilangan pekerjaan ini, bagaimana dengan sembilan adikku di rumah? Si kembar Rahman dan Rahim ? Bagaimana aku membeli susu untuk mereka?
Susu untuk Rahman-Rahim.
Tring!
“Gambar pertama,  seorang bayi menyusu pada seorang ibu yang gelisah memikirkan kesulitan hidup. Dia, ibu biologis, tapi hati dan pikirannya disandera oleh dunia. Kita gambarkan otaknya dengan isi gaya hidup, uang, fesyen, pesta gila atau pekerjaan gilanya yang lain yang bersifat matrealistis.”
Semua diam, menatapku, aneh, seolah mereka menemukan diriku yang lain:
 Qonita si otak ‘berdenyut’.
“Kamu sadar? Bukan citra kasih sayang yang kau tampilkan, tapi kita akan dihujani kritik sebagai iklan ‘batu bata’.” Bu Kim menggigit bibirnya, dia pasti mulai mempertimbangkan ideku.
“Qonita masih seorang gadis bos, dia tak tahu rasanya jadi seorang ibu.” Suara tenang Kamila, seperti membantu, tapi aku tahu maksudnya. Menurutnya, aku sama sekali tidak kompeten!
“Hah!” suara keras pak Rudi, terdengar lagi.
Seputar meja gelisah. Sistem pertahananku bergerak, waspada. Siapa tahu di ujung meja ini ada semburan api dari mulut besar bu Kim.
“Teman-teman, biarkan dia menyelesaikan penjelasan konsepnya!” Kamila tersenyum. Kini aku sadar, dia sengaja melakukannya, seolah-olah memberiku kesempatan, seolah-olah dia mendukungku, dengan menarikku ke dalam timnya. Nyatanya dia akan ‘membantingku’ kini.
Kalau itu tujuannya, akan kupastikan, dia akan gagal. Karena aku ingat pesan ibu Ratija yang rajin diulang-ulang sejak aku kanak-kanak. Pesan yang selalu ia berikan pada tujuh  adikku, kala mereka pulang, menangis karena di dera hinaan sebagai anak-anak cacat dari rumah yatim piatu, tepatnya rumah buangan.
‘Sabarlah, anggap saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan jatuhnya yang penting tapi pantulannya yang penting. Semakin dibanting, kau akan semakin melambung, karena Tuhan meninggikan derajatmu, tapi itu terjadi jika kau ikhlas.’
Aku harus membuktikannya! Bahwa aku si bola bekel!
“Gambar  ke dua, anak sapi yang bahagia dalam dekapan ibunya, karena keduanya saling ikhlas.

“Gambar ke tiga, Sapi yang menyusui bayi manusia. Keduanya setengah ikhlas. Merasa, adegan itu bukan takdir mereka.



BERSAMBUNG......

Tidak ada komentar:

Translator: