Jumat, 24 Juni 2016

TELELOVE. Bagian 29

PUTRI. 11

PUTRI TIDUR






“Bagaimana Qonita?”
            Samar aku melihat bayangan gelap. Lalu wajahnya semakin jelas. Pak Jan! Kurasakan tubuhku begitu lemas dan mengantuk. Apa yang terjadi? Apa aku masih berpakaian lengkap? Kuraba kepalaku. Masih berjilbab! Syukurlah.
            “Oh... Syukurlah! Kau sudah bangun!” suara ibu Ratija. Dia tergopoh-gopoh mendekatiku. Lalu menciumiku seperti baru bertemu denganku setelah penantian 3,537 abad.
            “Alhamdulillah... kau masih perawan! Mereka tidak memerkosamu!” bisiknya penuh suka cita.
            Oh, ada apakah ini? Memerkosa? Apaa? Oh ya! Ada kata penting: ‘masih perawan’. Kurasa itu cukuplah. Aku lihat di ujung tempat tidurku pak Jan menandatangani seberkas kertas yang diberikan oleh polisi.
            Kurasakan genggaman kuat tangan bu Ratija. Hangat. Getarannya mengabarkan kecemasan. “Fbhuu..” mulutku tak mampu mengeluarkan kata dengan benar.
            “Oh, malang sekali Qonita.  Apa yang kau rasakan? Bagaimana ini semua terjadi pada dirimu?” Tanya bu Ratija bertubi-tubi.
            “Ffbhuuf…” bibirku terasa kelu, tebal.
            “Sabar bu, dia sebentar lagi pasti bisa menjawab semua pertanyaan ibu. Saat ini saraf mulutnya masih terganggu oleh obat bius.” Pak Jan mencoba menenangkan bu Ratija.
            “Qon, ibu Ratija telah menungguimu sejak kemarin, aku khawatir bila nanti ibu malah sakit.”
            “Ffbhuff…” gemas sekali aku ingin berucap, ‘Ya bu, pulang saja, aku akan baik-baik saja!’ tapi aku hanya mampu mengangguk lemah sambil kupasangkan senyum agar aku nampak baik-baik saja.
            “Yang penting sekarang semuanya semakin baik. Ibu, Sebaiknya ibu pulang bersama pak polisi. Ibu sudah terlalu lama di sini. Ibu tentu lelah.” Pak Jan menarik tangan ibu Ratija. Sikapnya lembut, berbeda sekali dengan sikapnya di kantor.
            “Tidak.” Jawab ibu Ratija tegas, matanya tak lepas menatapku.
            “Bagaimana dengan –adik-adik- Qonita?” Pak Jan menengok ke arahku. Melihat tatapannya, ah... kukira hanya orang gila sepertiku yang ‘bisa’ berpikiran kacau disaat kritis seperti ini. Kacau karena alasan :
Ada 12 area pada otak yang bekerja pada saat seseorang jatuh cinta. Ke 12 area itu menghasilkan bahan kimia seperti : Dopamin, oxytocin, adrenalin, dan vasopression yang berujung pada euphoria. Bahagia.
            “Oh, jantungnya berdebar lebih kuat!” seorang suster menengok dan menunjukan jarinya ke arah monitor jatung.
            Oh! Malunya aku, itu adalah efek kimia dan euphoria orang jatuh cinta BODOH!
Astagfirlloh.
Nah, benar memang cinta membuat orang gila. Aku mulai tak sopan mendampingkan kata ‘bodoh’ dan ‘istigfar’. Setidaknya aku –tak terlalu berdosa- dengan pikiran liarku ini.
            “Alhamdulillah!” bu Ratija tersenyum lebar. Matanya bersinar gembira.
            “Nah, ibu bisa lihat sendiri kan?  Qonita akan segera sembuh bu, dia gadis yang kuat. Ibu bisa tenang sekarang.” Pak Jan menambahkan alasan. 
            “Sekarang ibu sudah lega bukan? Ibu bisa beristirahat di rumah.” Seorang suster menimpali bujukan pak Jan.
            “Qonita?” Tanya bu Ratija memandangku cemas.
            “Biar aku yang mengurusnya. Pasrahkan saja semua pada petugas medis di sini, bu. Ibu percaya padaku bukan?” kata pak Jan, matanya menatap bu Ratija teduh.
            “Saya hanya percaya pada Allah semata.” Kata bu Ratija sengau.
            “Hahahaha... tentu saja.” Pak Jan tertawa.
            “Baiklah, saya pasrahkan segalanya pada tuan. Saya mohon... “ akhirnya bu Ratija membereskan tasnya. Aku bisa melihat barang-barang standard yang selalu dia bawa, Al-quran,  tasbih, dan tentu saja minyak gosoknya.
            “Ah tentu.”
            Lalu semua berlalu dari ruangan ini. Kecuali polisi itu. Dia menatapku lama hingga pak Jan datang, membisikan sesuatu dan memberikan selembar amplop. Aku ingin sekali tahu apa yang dibisikan pada pak Jan.
            Beberapa kali pak Jan menerima telephone, sambil dia melihatku sesekali. Kurasa dia melayani semua bisnisnya dari sini, dari rumah sakit?
            “Kau benar-benar sudah bangun?” tanyanya berdiri di sampingku.
            “Air...”
            Dia mengambilkan segelas air dan mengantarkannya dengan sedotan ke mulutku.
Kulirik monitor jantung. O-oooo... alatnya benar-benar bekerja! Alat itu begitu sensitif membaca degub jantungku.
            “Ffbuuffh…?” maksudku ‘Apa yang terjadi?’. Tentu saja aku masih bingung.
Pak Jan mengambilkan sedelas air isotonic. Dia mengarahkan sedotannya kepadaku. Kuhisap air di dalamnya. Benar aku begitu haus.  Kucoba menarik nafas. Kulantunkan Ar-rahman dalam hatiku untuk menenangkan hati karena jarak kami yang  begitu dekat.
            “Kamu diculik, dirampok, semua ranselmu, dan berkas-berkasmu hilang.”
            “Whamphok..?” suaraku pelo terhambat rasa baal.
            “Ah untungnya kau tak menyimpan file penting perusahaan.” Kata pak Jan menarik nafas.
            Semua File saya penting pak! File tentang ide-ide saya yang hebat... ah ya... tak ada yang patut aku banggakan dari file-file itu.
“Kamu –tertidur-sampai-3 hari-.” Suara pak Jan penuh penekanan.
            “Haa? Uhuk...uhuk...” tersedaklah aku. Pak Jan menepuk punggungku.
 Oh, tuhan bagaimana cara menolak perlakuannya? 3 hari telah hilang dalam hidupku, dan begitu bangun aku menemukan pangeran yang begitu –perhatian- padaku? Kejutan dari Tuhankah ini? Hadiahkah ini? Atau ujian baru dari Tuhan agar aku mampu menaklukan syetan penggoda?

            “Kurasa kau tidak pernah sadar sejak diculik 3 hari yang lalu.” Pak Jan duduk di ujung kakiku. Tanpa Ragu. Ingin sekali aku menolaknya, tapi bagaimana caranya?



Bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: