Rabu, 22 Juni 2016

TELELOVE Bagian 28

Putri.  11.
PUTRI TIDUR



Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan,
Dia harus bangun dari tidurnya .


Berat  sekali aku membuka mataku. Kenapa kelopak ini begitu rekat menutup. Sudah kucoba berulang kali menjaga kesadaranku. Tapi adegan-adegan tak karuan berulang kali datang dan pergi bergantian tema. Sebentar tentang rumah  yang damai dan hangat tempatku bersesak-sesak bersama delapan  anak lain, di rumah ibu Ratija.
            Lalu berganti tentang hiruk pikuk pekerjaan kantor. Wajah Kamila dengan senyumnya yang menyeringai, menampakan taringnya yang belum pernah aku lihat.  Dia duduk di pangkuan pak Jan di ujung meja. Dengan kostum kantor super seksi, super ketat.
            Ini pasti tidak benar. Ini tidak nyata! Aku menggelengkan kepala berulang kali. Menghalau gambaran iblis diujung meja (Kamila). Lalu kupejamkan mata.
 Saat aku bangun aku bingung, karena tiba-tiba saja aku ada di tengah  lalu lintas malam dengan kelebat lampu mobil  yang menyilaukan. Rahman menempel di punggungku, pampersnya yang penuh sepertinya mulai meresap di punggung kemejaku. Di dadaku menggelayut Rahim. Kedua bayi itu meraung galau, bingung dengan jalan raya.
Sementara aku tak punya apapun untuk menghentikan tangisnya. Seandainya saja Tuhan menganugrahiku ASI di payudaraku, depan dan belakang sekalian!
Mataku menangkap lambaian tangan Ilalang di seberang jalan. Anak itu, seperti biasa, terduduk lemah, sementara kaki palsu dan tongkatnya hancur berserak di sampingnya, entah kenapa.
Aku  Ingin sekali menyeberang, mengambil dan mengajak  Ilalang. Terburu lampu merah menyala, sebuah bis tua yang kumuh besar sesak penumpang berhenti, mogok, knalpotnya terkentut-kentut mengeluarkan asap jelaga hitam tepat di depan  hidung Ilalang, hingga Ilalang ‘terpaksa’ menghirup asap hitam itu. Dan Ilalang mengalami sesak nafas yang akut. Asma alerginya akut.
Oh, Ilalang ! Aku ingin sekali berlari menghampirinya. Menggendongnya. Membawanya pulang. Tapi kakiku begitu berat. Tanganku begitu lemas. Tubuhku... lalu gelap. Kelebat terang memerah, lampu sorot mencoba menembus kelopak mataku.
Tuhan, kenapakah aku ini?
Kudengar gemuruh orang bersuara. Terdengar juga denting alat-alat logam. Restorantkan ini? Semoga benar aku di restorant, aku sangat lapar. Tapi yang kucium bukanlah aroma masakan, melainkan aroma obat-obatan.
Mataku, membukalah! Tuhan, kenapa aku tak berdaya?
“Anak ini?”
“ Semua dalam pengamatan?”
“ Bagaimana?”
“Yah, sesuai dugaan kita.”
“Jadi benar dia sedang ovulasi”
“Ah! Hebat!”
Suara-suara itu. Apa kata mereka? Ovulasi? Apa? aku? Akan? Haaaaaaaaa...!
Inikah hari itu? Hari dimana aku tak dapat menolaknya? Aku... aku... akan hamil demi menyelamatkan rumah ibu Ratija termasuk 15  penghuni di dalamnya.
Aku akan hamil, begitu saja, tanpa suami, aku akan menjadi ibu biologis dari sepasang telur dan sperma entah milik siapa, yang mereka tak memiliki rahim untuk menjaganya.
Cuma itu? Tidak! Aku baca kontrak itu bunyinya....
*atas nama ilmu pengetahuan*
Aku ingat, betapa ibu Ratija berusaha merobeknya. Tapi kertas bermaterai itu memang dirancang untuk tidak bisa robek, bagaimanapun keadaannya. Ibu Ratija yang tua renta begitu lemah dalam paksaan seorang mansis kekar. Sembilan adikku yang menjerit-jerit, sungguh memilukan, mereka duduk dibawah ancaman senjata.
Setelah hari itu, aku secara paksa mengalami pemeriksaan yang panjang. Sementara air bersih mengalir lancar di rumah kami. Listrik mengalir tanpa putus, kiriman makanan memenuhi lemari persediaan kami. Tak tanggung-tanggung, mereka membangunkan bunker bagi kami untuk melindungi kami dari perubahan cuaca yang ekstrim. Di dalam bunker itu, dipenuhi dengan aneka makanan, minuman.
Apartemen  kami yang sengsara, melarat, namun penuh kasih dan kedamaian, kini berubah menjadi istana mewah kecil yang nyaman namun penuh dengan kegelisahan.
Siang malam kami lantunkan doa, semakin kami berdoa, semakin kami merasa Tuhan mendekat, tapi aku rasa, Tuhan hanya melihat, mencoba kami agar kami lebih kuat-lebih kuat. Hingga hari ini datang.
Semuanya patah.
Ibu Ratija mendadak stroke saat lima dua orang manusia buatan  menjemputku dengan paksa. Kerudungku tak karuan lagi bentuknya. Mansis itu menarik ke belakang, hingga kepala berambut merahku menyembul, dan aku nampak seperti seseorang mengenakan jubah berlubang saja.
Para tetangga tanpa daya menatapku kasihan,. Mereka hanya bisa mematung. Karena mereka tahu, mereka tak mungkin melawan para mansis ini. Kami adalah rakyat jelata, yang kurang gizi, hingga bentuk tubuhnya tumbuh tak seindah kaum ‘bergizi’, dan tak memungkinkan melakukan tindakan bela diri.
Kami mengalami devisit energi. Output lebih besar dari input. Memeras keringat, banting tulang, putar kepala, hanya untuk sejumput karbohidrat, selembar kupon air bersih, selembar kupon listrik untuk sekedar menandakan ‘kami masih ada’.
Ironisnya,  dari septik tank, dan atap-atap gedung penadah sel surya  kamilah, mereka membuat listrik, dari listrik itulah  mereka mengelola air.

Air... Air...



BERSAMBUNG.....

Tidak ada komentar:

Translator: