PUTRI. 2.
SI BOLA BEKEL
SI BOLA BEKEL
“Iklan apaan ini?!” bu Kim
langsung memotong. Wuuuuzzz... aku nyaris kena lidah apinya. Maaf, ini hanya
bayanganku saja.
“Sabaar bu... dia kan pemula, baru bekerja magang. Kita harus memberinya
kesempatan.” Kamila tersenyum, aneh, bagaimanapun aku harus berterima kasih
padanya, dia membuat aku –sedikit-
tenang. Yah tapi jika berkaitan dengan Kamila, aku harus selalu waspada,
apalagi dengan senyumnya yang seperti itu. Mencurigakan.
Maka kutunjukan gambar primitifku
yang lain:
Gambar
4 : Seorang
android wanita (robot multifungsi)
menyusui seorang anak manusia.
“Apa maksudnya?” tanya bu Kim.
“Coba jelaskan!” suara pak Rudi yang keras
memantapkan pertanyaan mulut bu Kim.
“Hoooo, anak bawang, beraninya
kau..” kegelisahan mulai merayapi ruangan.
Aku melihat orang-orang bergerak
resah, berbisik bisik gelisah. Jika tak ada pak Jan, pimpinan yang tampan itu,
pasti meja ini sudah seperti arena pasar diserbu angin ribut. Jika tak ada pak
Jan dan bu Kim pasti peserta rapat ini sudah melempariku segala camilan
kepadaku. Maksudku mereka protes dengan gaya
bebas, bukan menganggapku seperti binatang di kurungan kebun binatang. Tapi itu
bayanganku yang berlebihan.
Kulirik di sisiku, Kamila, hanya
dia yang tenang di meja ini.
“Tolong jelaskan Qonita!” suara
keras pak Rudi membuatku kaget, lagi.
Dia pasti terlahir dari keluarga yang tuli. Hidupnya dikelilingi
oleh tetangga yang tuli, Anjing tuli,
Kucing tuli, Burung tuli, Kecoak tuli, Tikus tuli, nyamuk tuli, sehingga sepanjang pertumbuhannya dia harus
bicara teriak agar suaranya di dengar.
“Jelaskan!” volume suara pak
Rudi loncat naik, dua skala.
Jelaskan? Kupikir mereka
adalah pekerja cerdas dan mengerti
maksudku, si otak pasir ini.
“Hmmm... kukira gambarnya sudah
jelas?” kutunjukan gambar sederhanaku, yang berupa batang-batang untuk kaki dan
tangan, bulat-bulat untuk kepala dan perut, sedikit pohon kelapa, pohon pinus,
yang hanya berupa garis-garis putus. Aku bukan seorang pelukis naturalis.
Menurutku konyol, di era kecanggihan fotoshop, seorang naturalis masih di
dewa-dewakan? tapi aku juga bukan
pelukis surealis, aku cuma tukang
gambar. Di masa lalu kau mungkin mengenal master aliran gambarku. Tinoisme. Aku cuma penggemar almarhum pak Tino Sidin.
Aku mengetuk-ngetukan pinsil
elektronik di layar kosongku. Ini pertanda kemacetan di otakku sedang
berlangsung.
Oh ayolah....! ke 9 adikku tak
pernah protes jika aku bercerita sambil menggambar kartun primitif ini.
“Sodara-sodara, kita cuma membutuhkan model,
wanita kuno bergaya ibu Kartini, sapi, balita, dan tentu saja androidnya.” Aku
memberi jeda, mengulur waktu, memberi kesempatan bagi pasir diotakku membentuk
‘sesuatu’. Tuhan, ijinkan aku
memiliki otak yang mampu berpikir spontan.
“Lalu...?” Tanya seseorang,
bersuara lembut, menikung tajam. Suara merdu Kamila.
Lalu
apa ya? Buntu.
Isi otakku benar-benar cuma pasir, bukan jutaan neuron yang siap berpikir
spontan, apalagi berpikir mustahil. Ini mungkin akibat ibu kandungku malnutrisi
saat mangandung aku. Hingga pertumbuhan otakku hanya terdiri atas pasir. Bukan
saraf-saraf ajaib.
Lalu? aku melihatnya. Pak Jan menatapku, alis tebalnyanya mengangkat seolah
dia ingin mengajariku, memancingku bicara.
“Sodara-sodara, mereka akan
tampil saat bersamaan hingga pemirsa bisa melakukan perbandingannya.”
Seputar meja diam. Pak Jan
mengangkat alis, lagi. Lalu mengkerut.
“Hanya itu?” Kamila melemparkan
anak panah, tepat di kepalaku hingga
kepalaku bocor, dan pasir didalamnya mengalir bergulir jatuh. Panahnya
berhasil mengosongkan otakku! Ya ampun…
sekalipun cuma pasir, tapi aku harus mempertahankannya bukan?
Tuhan! Jika aku sampai kehilangan
pekerjaan ini, bagaimana dengan sembilan adikku di rumah? Si kembar Rahman dan
Rahim ? Bagaimana aku membeli susu untuk mereka?
Susu untuk Rahman-Rahim.
Tring!
“Gambar pertama, seorang bayi menyusu pada seorang ibu yang
gelisah memikirkan kesulitan hidup. Dia, ibu biologis, tapi hati dan pikirannya
disandera oleh dunia. Kita gambarkan otaknya dengan isi gaya hidup, uang, fesyen, pesta gila atau
pekerjaan gilanya yang lain yang bersifat matrealistis.”
Semua diam, menatapku, aneh,
seolah mereka menemukan diriku yang lain:
Qonita si otak ‘berdenyut’.
“Kamu sadar? Bukan citra kasih sayang yang kau tampilkan, tapi
kita akan dihujani kritik sebagai iklan ‘batu
bata’.” Bu Kim menggigit bibirnya, dia pasti mulai mempertimbangkan ideku.
“Qonita masih seorang gadis bos,
dia tak tahu rasanya jadi seorang ibu.” Suara tenang Kamila, seperti membantu,
tapi aku tahu maksudnya. Menurutnya, aku sama sekali tidak kompeten!
“Hah!” suara keras pak Rudi,
terdengar lagi.
Seputar meja gelisah. Sistem
pertahananku bergerak, waspada. Siapa tahu di ujung meja ini ada semburan api
dari mulut besar bu Kim.
“Teman-teman, biarkan dia
menyelesaikan penjelasan konsepnya!” Kamila tersenyum. Kini aku sadar, dia
sengaja melakukannya, seolah-olah memberiku kesempatan, seolah-olah dia
mendukungku, dengan menarikku ke dalam timnya. Nyatanya dia akan ‘membantingku’
kini.
Kalau itu tujuannya, akan
kupastikan, dia akan gagal. Karena aku ingat pesan ibu Ratija yang rajin
diulang-ulang sejak aku kanak-kanak. Pesan yang selalu ia berikan pada
tujuh adikku, kala mereka pulang,
menangis karena di dera hinaan sebagai anak-anak cacat dari rumah yatim piatu,
tepatnya rumah buangan.
‘Sabarlah,
anggap saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan jatuhnya yang
penting tapi pantulannya yang penting. Semakin dibanting, kau akan semakin
melambung, karena Tuhan meninggikan derajatmu, tapi itu terjadi jika kau ikhlas.’
Aku harus membuktikannya! Bahwa
aku si bola bekel!
“Gambar ke dua, anak sapi yang bahagia dalam dekapan
ibunya, karena keduanya saling ikhlas.
“Gambar ke tiga, Sapi yang
menyusui bayi manusia. Keduanya setengah ikhlas. Merasa, adegan itu bukan takdir
mereka.
BERSAMBUNG......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar