Putri. 5
RUMAH SUSUN
“Kebakaraaaaaannnnnnn...!”
Aku
menengok berlari sambil menengok ke arah belakang. Astaga, aku melihat mereka.
Mengejarku dengan motor. Kucari jalan-jalan berkelok. Aku berlari sambil menjatuhkan
apa saja di depanku, untuk menghalangi mereka.
Hingga
sampailah aku di sini, di persimpangan jalan raya. Sorot lampu kendaraan yang
melintas menghujan pandanganku. Membuat pengelihatanku hanya menangkap bayangan
gelap yang bergerak cepat.
“Brengsek!”
hujan teguran keras, kasar padaku mulai aku sadari karena aku berdiri
mengganggu jalan ini.
“Qonita?
Masuklah!” sebuah mobil sport, berdecit
tepat di sampingku. Mobil dibelakangnya menabraknya. Lalu mencari jalan sendiri, ke samping. Tak lupa dengan kiriman sumpah serapah dan
kutukan pengemudinya.
Aku
lihat pria yang duduk dalam limousine
itu. Pak Jan!
Tanpa
ragu aku masuk, pak Jan dengan cepat tanggap
langsung memberinya komando pada si supir.
“Cepatlah!
Aku dikejar penculik!” kataku menepuk-nepuk punggung kursi supir tak sabar.
“Haaa?”
pak Jan nampak melihat bagian belakangnya melalui spion.
Si supir dengan trampil melirik navigator otomatisnya, mencari jalan
terpendek, dan memutar jalur memasuki jalan sempit.
Pak
Jan mengacungkan botol air mineralnya padaku. Aku cepat meraihnya. Baru
kusadari betapa hausnya aku setelah berlari-lari tadi. Oh, terima kasih Tuhan,
kau telah menurunkan malaikat penolong yang tampan padaku.
Bip-bip.
Penyerentaku berbunyi.
“Qon...?”
suara cemas ibu Ratija.
“Ya,
baik-baik saja ibu. Ibu jangan khawatir. Sebentar lagi saya pulang.”
“Oh,
tidak, jangan! jangan pulang! Kau tahu akibatnya jika menyalakan alarm bahaya
tanpa sebab? Kita akan kena sanksi penjara! atau seluruh orang di sini akan mengeroyokmu gara-gara kau
bunyikan alarm gila itu.”
“Haaaaaaaaaa?!”
Deg!
Semua orang dari beberapa gedung mengincarku? Tuhan kenapa kau coba aku dengan
kehebohan seperti ini? Dari pagi aku telah Kau uji untuk berlari cepat
menghindari penjahat.
Lalu lift yang nakal itu, hingga aku terpaksa
menaiki tangga hingga lantai delapan. Malam ini, dimana segala ototku telah
lunglai, Kau masih memaksaku untuk berlari
lagi.
Atau
Tuhan sedang mengirimi aku pertanda, agar aku banting setir dari pekerja magang
di perusahaan iklan: Citra Indah.co menjadi seorang sprinter?
“Ke
mana arah rumahmu?” tanya pak Jan tenang.
“Oh,
rumahku di sektor yang kita lewati tadi.”
Pak
Jan mengkerutkan kening. Oh Tuhan aku
harus bilang apa?
“Aku
tak bisa pulang.” Kataku lemah.
Keningnya
tambah berkerut.
“O-orang-orang
menungguku untuk mengeroyokku.” Suaraku semakin kecil.
Alis
mata pak Jan naik.
“A-aku
menyalakan alarm kebakaran di semua gedung rumah susun wilayahku.” Aku mulai
menggigit kuku jempolku.
Mata
pak Jan membesar. Kepalanya pasti berbunyi: ‘ASTAGA!’
“Baiklah,
menginap saja di rumahku.” Katanya datar.
Oh,
menginap di rumahnya? Apa aku tak salah dengar?
“Tidak
apa-apa kan ?”
tanya pak Jan hati-hati, pasti dia ragu dengan ajakanya karena aku gadis
berjilbab.
Cepat-cepat
aku menggeleng. Maksudku, tentu saja tidak apa-apa. Memangnya di mana lagi ada
rumah yang mau menampungku, di jam malam seperti ini?
“Jadi
kau akan menginap di mana?” tanya heran. Dia pasti bingung dengan gelengan
kepalaku.
“Di
rumah bapak,” aku menengok kesamping, tersenyum, memohon maklum.
Dia
menarik nafas. Aku tak tahu dia ‘lega’ dengan jawabanku, atau sekedar memenuhi
kebutuhan oksigen tubuhnya.
“Kita
pulang Boy.” Dia menepuk tangan supir di depannya.
Ah!
Boy! Itu sebutan baku
bagi para majikan pada android mereka.
Manusia robot yang dirancang sebagai pembantu atau teman kita.
“Dia
adalah separuh jiwaku, Qon.”
Aku
bingung. Separuh jiwa? Hahaha... memangnya selain jadi kacung, dia, si Boy
itu, itu seperti istrimu ya?
“Boy,
Ini Qonita, kawan baru kita.”
“Hallo
Qonita, senang berkenalan denganmu.” Suara robotnya yang sangat standard
terdengar.
“Hallo...
juga...” aku harus bagaimana ngakak? Dia
itu bukan manusia, tapi lagaknya sok jadi mahluk sosial.
“Hahahaha...
dia tampan bukan?” tanya pak Jan. Huh, ternyata dia mentertawakan
kecanggunganku berinteraksi dengan seorang
Android.
“Yah,
dia nampak lebih tampan, lebih muda, dan seksi dibanding bapak.” Kataku jujur.
Tapi aku menyesal setelah mengucapkan kata-kataku itu. Apalagi melihat tawa pak
Jan berubah menjadi senyum, lalu bibirnya menjadi datar, berikutnya melengkung
keki.
Pak
Jan mengerutkan wajahnya.
“Yipiiiiiiiiii...”
si Boy sok-tersanjung-. Tapi tetap saja gayanya canggung.
***
BERSAMBUNG..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar