Putri.
9
SANG BINTANG
Cahaya bintang di angkasa dan
cahaya kunang-kunang
di depan mata apalah bedanya?
“Kita hampir sampai. Pak.”
terdengar suara kaku Boy si android dari
balik kemudi membangunkanku. Tanpa kusadari aku tertidur dan bersandar pada pak
Jan. setelah malam yang melelahkan dan sarapan yang mengahangatkan peru t.
Terayun-ayun di mobil, suhu yang nyaman, aroma parfum pak Jan, suara music
terapi, bagian mana yang patut disalahkan bila aku jadi tertidur?
“Ma… maaf pak..” tentu saja aku
salah tingkah tak karuan. Pasir diotakku rupanya segera gaduh setelah ikut
tertidur. Hebatnya mereka begitu kompak koor ‘malu… maluuu… maluu… maluuu...”
kurasakan hangat wajahku. Bisa dipastikan aku merona malu. Aku beriingsut duduk
membuat jarak. Kulihat pak Jan tersenyum maklum.
“Jangan! jangan parkir dulu, jangan sampai ada
orang di kantor ini melihat kita datang bersamaan.” Suaraku terdengar menguik
panik.
Pak Jan menengok ke arahku,
alisnya mengangkat tanda ‘kenapa’, aku tahu bahasa tubuh dan mimiknya, karena
aku biasa bergaul dengan ABK[1] di
rumah.
“Kita harus menjaga imej, agar
mereka tetap berpikiran positif, bukan?” kataku mencari kalimat yang tepat.
Pak Jan mengangguk mengerti.
“Jangan sampai citra bapak rusak
gara-gara saya...” kataku canggung.
“Oh, siapa yang pedulikan ini?
Zaman gila ini, Orang pulang pergi, entah teman atau pasutri, atau pasangan
selingkuhan, bahkan pasangan homo, siapa peduli?”
“Saya! Saya takut akan fitnah.”
Oh... Fitnah yang manis, kita disini seperti pasangan kekasih. Pasir diotakku
mulai berdesir, menerjemahkan bahasa syetan. Karena jatuh cinta padanya,
mungkin jenis cinta buta, dalam waktu semalam aku menjadi seorang munafik.
“Oh? Kamu takut orang
memfitnahmu, kita sebagai ‘pasangan’...
hahahaha.”
Tawa pak Jan membuatku merasa –agak- terhina. Yeah walau tawanya ‘nyata, waras, wajar, masuk akal’.
“Bukan pak, saya takut, mereka
memfitnah, sekarang saya sudah menjadi
pembantu baru di apartemen bapak.”
“Oooooh... kau ini! Berarti bukan
citraku sebenarnya yang kamu khawatirkan. Tapi citra kamu.”
Aku mau bilang apa, dalam
semalam, dia nyaris pandai membaca pikiranku.
Aku lirik wajah manyunku. Ho-oh,
mana mungkin wajah yang mancung di bibir dan jidatnya ini bersanding dengan
mahluk berkelas seperti pak Jan.
“Baiklah, terserah kamu. Boy turunkan
Qonita di luar area kantor ini.” Pak Jan
mengangkat dagunya. Android yang menyupir itu mengangguk mengerti.
“Oke bos.”
“Yayayaya itu lebih baik.”
Tapi terlambat, Saat mobil ini
bergerak memutar, nyaris menabrak seorang gadis dengan bawaan barang-barang
terjatuh gara-gara haknya patah.
Gadis itu Kamila. Kamila melihat aku duduk di samping pak Jan.
Lalu entah syetan nomor berapa
yang memberikan komando padaku: ‘tersenyumlah
yang anggun, perlihatkan kau sebagai wanita yang ‘bahagia’.
Sepintas, aku bisa melihat
seriangai iblisku lewat spion.
“Ups, Kita sudah terlambat.” Pak
Jan tersenyum manis padaku. Aku rasa syetannya sedang berkonspirasi dengan
syetanku menyuruh kami tersenyum ‘seperti’
pasangan bahagia. “Biarkan kami turun bersama di plaza, Boy.”
“Oke bos.” Suara si Boy bernada
robot. Oh Boy, andai kau tahu kacaunya diriku, apa kau tadi melihat seringai iblisku, bukan tawa
bahagia.
“Tak usah khawatir, temanmu itu
tak bisa melihat kita. Kaca mobil ini tak tembus pandang.” Pak Jan pasti sedang
melihatku seperti seorang gadis bodoh.
***
Maka saat aku memasuki ruang
kerja, aku telah bersiap melihat atau mendengar olok-olok dari teman-temanku.
Tapi
yang kuhadapi –ternyata- semua sibuk seperti biasa. Tak ada sahutan suitan,
atau siulan godaan sebagaimana perkiraanku.
Yah tentu saja, aku kan
di lingkungan orang dewasa. Bukan di lingkungan remaja tidak stabil.
Aku lihat Kamila pun nampak
tenang. Syukurlah, ternyata Tuhan masih menyelamatkan aku dari bahaya fitnah,
walaupun menurutku fitnahnya terdengar manis.
‘waaaa, anak bawang kita datang dengan bos
besar! ‘
‘ Pasti telah terjadi sesuatu yang
–manis-’
‘Taruhan, kau bermalam di
tempatnya?’
‘Kok tahu?’
‘Bajunya, itu kan kostum –rumah-’
‘emang dia tiap hari penampilannya
begitu.’
‘wah kalo gitu semalam -sesuatu yang
gila- telah terjadi’
‘Alamak bagaimana mungkin si
Nongnong itu menggoda lelaki berkelas?’
‘Justru pusat -kesaktian peletnya-
ada di nongnongnya.’
‘Wah dukun mana yang bisa implant
susuk plus silikon di jidat?’
TAP!
Riuh rendah suara kacau yang berseliweran di kepalaku berhenti. Seperti biasa,
aku mengalami serangan dilusi. Suara ribut itu hilang begitu aku membaca email
pertamaku dari Kamila. CC pak Jan dan bu Kim pula.
Ini baru NYATA:
‘Tolong konsep iklannya dikirim ke bos
besar. SEKARANG!’
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar