PUTRI. 7
MENARA PERSEMBUNYIAN
Kutatap wajah lusuhku di cermin
berbingkai ‘pasti mahal’. Perlahan aku menyisir rambutku. Jika keadaan
susah dan menghimpit seperti ini, biasanya ibu Ratija akan mendekatiku,
menyisiri rambutku, aku bisa melihat wajah tuanya. Lewat suara tuanya yang
lembut, berpadu dengan mata teduhnya, dia akan mampu mengorek semua isi pikiran
dan jiwaku yang sesak.
Ibu
Ratija. Aku ingin sekali kau menyisir rambut kusutku, dan meringankan semuanya
kesesakan kepala dan jiwa ini. Aku lelah sekali.
“Qon?”
pak Jan mengetuk pintu. Dengan cepat aku ambil jilbabku. Ku lirik jam di
penyerentaku. Ha? Jam 11.00 mau apa, dia?
Tapi
sebelum pikiranku bersilmulasi maca-macam, kudengar lagi suara pak Jan.
“Makanlah, Qon...!”
Makan!
Ah ya aku belum makan malam karena peristiwa tadi. Cepat aku buka pintu
kamarku.
“Oh,
terima kasih, saya memang belum makan.”
Tanpa basa-basi, aku menyantap
apa yang si Boy sajikan dengan lahap.
“Kau
bisa menceritakan tentang kejadian tadi?” Tanya pak Jan ditengah suapan.
“Oh,
panjang ceritanya.” Jawabku sedikit bergaya. Panjang? Memangnya ada rangkaian
ceritanya sebelum menyalakan alarm kebaran itu? Kuusap wajahku, mencoba
merangkai semua ingatan.
“Kita
bisa cerita sambil makan, bukan?” pak Jan melihatku, aku bisa lihat tatapan
kagetnya, terhadap daya kunyahku.
“Saya
akan cerita dari mana ya?”
Dia
menatapku datar. Sejenak aku terpesona dengan kedatarannya. Siapa sangka besok
pagi aku akan melihatnya pertama kali sebelum orang lain melihatnya! Maksudku,
si Boy itu tak masuk hitungan bukan?
“Qon?”
suara pak Jan langsung masuk ke hati.
Padahal cuma setengah namaku yang diucapkannya. Ini pasti cuma perasaanku saja.
“Saya
kira ini dimulai saat peristiwa penguntitan kemarin pagi, pak. Sejak saya turun
di statsiun monorel itu, diteruskan dengan
usaha penculikan diriku yang barusan terjadi. “
Pak Jan masih nampak datar. Dia
‘menatapku’, membuatku rikuh dengan tatapannya. Dia tidak mengerti, tentang: ‘tidak baik, menatap selain muhrimnya’.
Bu Ratija, jangan salahkan aku, kalau dia mungkin terpesona padaku.
Kuceritakan kenapa jilbabku
hingga dipakai terbalik, dan peristiwa sabotase air, petugas instalasi yang
diikat.
“Jelas sekali mereka mengincar
aku.” Kututup kisahku dengan nada penuh gaya .
“Bagaimana kau bisa memastikan
mereka mengincarmu?” pak Jan menyuapkan buahnya. Glek! Indahnya! Hanya gerakan makan buah, tapi terlihat bagai
tarian elok. Inilah yang dinamakan kaca
mata cinta. Cinta? O-oo, sepertinya aku terburu-buru menyimpulkan.
“Petugas instalasi itu bilang bahwa
‘mereka’ mencari ‘Qonita’.” Kataku kulengkapi dengan tangan yang
memberi isyarat ‘mereka’ dan
‘Qonita’. Beginilah jadinya bila biasa berkomunikasi dengan adik-adik di rumah,
yang masih balita, dan berkebutuhan khusus, kita harus memberi gaya pada setiap katanya
agar daya tangkap mereka lebih cepat menyerap apa yang kita komunikasikan, ini
menurutku. Tapi kebiasaan ini menjadi sulit aku hilangkan.
“Mencarimu? Kenapa?” Pak Jan
mencoba menumbangkan analisaku.
“Iya, pak,
saya juga heran. Biasanya jika
jelas korbannya siapa, mereka berharap tebusan besar dari penculikan. Apa
mereka tidak tahu jika saya anak yatim piatu, yah walau sudah dewasa-, dan tinggal di komplek rumah susun kumuh? Lagi
pula saya cuma pegawai magang, bukan
seorang CEO, selebritis, orang kaya, atau pejabat penting yang punya nilai
tukar. “ aku bicara dengan gaya
pantomimku. Ingin sekali aku bicara dengan gaya anggun, seperti seorang wanita berkelas.
Tapi pasir diotakku rupanya menahan keanggunanku. Pasir diotakku menayangkan
bayangan keluargaku di rumah.
“Jadi menurutmu, aku lebih pantas
jadi korban penculikan?” dia pasti tersinggung.
“Oh, maaf saya belum tahu bapak
orang yang ‘cukup penting’, untuk diculik.” aku melihat wajahnya memandangku
tak enak.
“Pak, saya cuma orang biasa yang hidup susah karena
berusaha membantu menghidupi keluarga kami di rumah ibu Ratija.
“Jika mereka mengincar saya untuk perdagangan wanita, bagaimana mungkin? Nonongku ini sepertinya menandakan saya
seorang cerdas, yeah, tentu saja ini anggapan keliru. “ kutunjukan jidatku,
bagian dari wajahku yang paling menonjol.
Pak Jan tersenyum. Indah.
“Hahahaha... saya setuju.” Oh, tapi senyum tak pernah berbunyi bukan?
Rupanya dia tertawa.
Pasir di otakku berbisik: pak Jan
menggodaku dengan mengejek. Maksudnya pasti tentang ‘anggapan yang
keliru’.
Sial!
“Pak, saya juga berjilbab , tanda
sebagai gadis berkarakter, yah walaupun beberapa oknum merusak citra jilbab
ini.” Ingin sekali aku menghentikan tawa yang menyinggungku.
Pak Jan mengangguk-angguk.
Senyumnya terkulum indah. Tapi saat kesadaranku melintas, aku tahu, pak Jan
tersenyum melihat gaya
komunikasiku yang berbeda dengan di kantor tepatnya saat aku bicara dalam
pengaturan 100%. Ini pasti gara-gara otak reptilku yang spontan saja
berkelakuan seperti aku di rumah.
Oh, seperti di rumah! Maksudnya
saya –seperti sudah biasa- dengan
rumah dan penghuninya di sini? Hah, yang benar saja!
“ Pak, semestinya mereka harus
berpikir berulang kali, karena setahuku korban perdagangan wanita itu
kebanyakan gadis-gadis belia ber-IQ- dibawah rata-rata, dan tidak
berkepribadian.” Tanganku menunjuk ‘mereka’
ke arah angin, menunjuk kepala untuk kata ‘pikir berulang’, tanganku
masih sibuk memberikan gerakan.
Benar-benar memalukan. Aku
bukannya lupa untuk bicara anggun. Tapi aku tak mampu menahan gerakan tanganku.
Pak Jan menarik nafas
prihatin. “ Atau mereka mengincar
otakmu?” pak Jan menunjukan kepalaku.
Haha, apa dia tertular dengan gaya
gerak dalam bicaraku? alamak, aku tahu dia
menahan tawa, ternyata diskusi
ini hanya lawakan saja buatnya. Huh!
“Maaf-maaf. Kurasa kau cukup
cerdas, untuk diambil otaknya.”
Ha! Aku tak kan tertipu lagi dengan bicara basa-basinya.
“Atau mungkin organ yang lain?”
Aku baru menatapnya lebih serius.
“Ya, pak. Mungkin saya masuk kriteria korban ideal. Muda, sehat, kuat, tidak
ada keluarga. Bukankah keluarga yatim piatu memang sasaran empuk- penjahat spesialis ini.”
“Tapi kenapa kamu sampai
mengalami percobaan penculikan sampai dua kali? Berarti kamu memang –dicari- tapi untuk apa? Maksudku,
bisanya bila mereka gagal, mereka akan mencari korban lain."
Aku diam. Kepalaku dipenuhi badai
pasir lagi. Sepertinya otakku berusaha keras membuat pasir-pasir itu bekerja.
“Mungkin untuk sementara waktu,
kau tinggal di tempatku?”
“Oh, apa kata orang nanti? ibu
Ratija pasti tak akan setuju.”
“Kenapa?”
“Karena bapak seorang laki-laki (lajang dan tampan). Dan aku seorang
perempuan.”
“Hahahahaha... memangnya kenapa?”
Aku tahu pak Jan –tahu jawabnya-
dia pasti hanya menggodaku saja.
“Jika dua orang bukan muhrim
berdua-duaan, maka yang ketiganya adalah syetan, pak.” Jawabku.
“Maksudmu si Boy itu? syetan?
hahaha...”
“Ya.” Huh, aku mulai jengkel
dengan percakapan seperti ini.
“Dia itu android, bukan syetan.”
“Saya tahu. Bapak tentu tahu yang saya maksud. Tapi
saya kira, di rumah ini lebih baik dari pada bahaya yang bisa terjadi secara
random diluar sana .”
Oh Tuhan... aku harus bilang apa? ‘Tolong
pak, aku mau menginap di rumahmu. Lebih baik aku berhadapan dengan ‘syetan’
tampan seperti bapak daripada berhadapan dengan penjahat misterius di luar sana .’ Tapi apa aku harus jujur mengatakan itu?
“Oh, kenapa kau pedulikan
pendapat orang tentangmu? Yang penting kau peduli bahwa Tuhan selalu mengawasimu.”
Glek! Ibu Ratija, aku menemukan orang
selain dirimu yang dapat menasihatiku dengan ‘pas’. Tentu saja dia juga lebih
tampan serta memesona dibanding dirimu.
Maaf.
“Memang benar. Tapi bagaimana
dengan ibu Ratija dan adik-adik?” kataku lirih.
“Kenapa?”
“Saya selain harus mengatur
pemasukan rumah kami, saya juga mengasuh bayi Rahman dan Rahim, Bayi kembar
yang baru sebulan kami temukan. Tepatnya dikirim orang tak dikenal ke rumah
kami. “ tiba-tiba saja aku tak dapat menahan genangan air mata. “Kenapa ada orang tua atau siapapun setega itu
menelantarkan dua bayi merah yang tampan-tampan di depan pintu rumah kami.” Oh!
Kini kami memasuki tema keluarga, pembicaraan lebih… intim..? oh! Oh!
“Di sana tidak ada pengurus rumah tangga?” Pak
Jan menahan suapnya.
“Sesekali ada tetangga yang
membantu. Tapi kami tak dapat mengaturnya. Karena kami tak dapat membayarnya.
Orang-orang menolong kami tanpa bayaran, karenanya kerja sosial begitu tak bisa
kami ikat dengan jadwal. Kami harus bersyukur atas bantuan mereka.”
“Bagus, berarti, seharusnya kau
tak perlu terlalu kuatir?”
“Masalahnya, bayi itu, hanya aku
dan ibu Ratija saja yang bisa menghentikan tangisnya.”
“Apakah kakak-kakaknya yang lain
tidak bisa mengasuhnya?”
“Bisa, tapi apa yang kita
harapkan dari kakak yang buta, kakak yang pincang, kakak berkebutuhan khusus.
Apalagi kakak yang belum cukup umur?” kataku dengan isyarat tangan
bergerak-gerak.
“Oh?” wajah pak Jan berubah
tercengang.
Dia pasti tak dapat membayangkan keadaan
rumahku yang sebenarnya.
“Bayinya sering menangis,
karena tak cukup susu untuk mereka.” Aku
menunduk. Bayangan Rahman dan Rahim menangis, membuatku gelisah. Tuhan lindungi
keluargaku. Kirimi mereka kebahagian hari ini!
Tanpa malu, ingus dan air mataku
mengalir. Pak Jan mengambilkan tisue untukku. Tapi dia terlambat, aku telah
melap ingusku dengan lap makan. Aku baru sadar itu tidak ‘benar’ saat aku lihat
pak Jan kaget dan menggerutkan matanya. Dia pasti jijik. Tentu saja aku
menyesal, malu, salah tingkah, salah gaya .
****
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar