PUTRI. 3
SI BOLA BEKEL
Alamak!... bu Ratija!...
Tuhan...! Rahman! Rahim! Mufti! Ilalang! Dinda! Karin! Ica ! Muti! Nisa! Ada
yang terlewat? Kupanggil semua yang kukasihi di rumah untuk menyaksikan
keindahan di ujung meja sana .
Tangan
pak Jan bergerak memberi isyarat padaku. Dia meraba lehernya. Lalu
menarik-narik dasinya. Apa maksudnya? Dia menyombongkan bekas cukuran janggutnya?
Atau menyombongkan dasinya? Oh, Tuhan haramkah bila kubayangkan aku merabanya? Glek! Tuhan aku malu, telah tamak
menelan segala keseksiannya lewat dagu hijaunya.
Gunungan
pasir diotakku tiba-tiba meletus. Yayaya, aku mengerti, pikiranku kotor.
Tapi
dia tetap dengan gerakan itu. Lalu tangannya meraba-raba dadanya. Ya Tuhan, apa
maksudnya?
Atau ada yang salah denganku?
Kulirik bagian bawah daguku.
Oh, rupanya pak Jan melihat aku
memakai Jilbab terbalik. Aku lupa! Aku belum membalikan lagi jilbabnya, sejak
adegan pengejaran tadi. Begitu jelas. Karena benang ungu dari mesin jahit ibu
Ratija begitu nekad terjahit di jilbab
salemku. Tanganku meraba bagian kepala, dimana ibu Ratija yang matanya
rabun memaksakan fantasi daun, dan berarti yang nampak adalah jahitan
balikannya.
As-ta-ga.
Penampilan yang memalukan, untungnya tak ada seorangpun yang menyadarinya.
Mungkin mereka pikir aku memakai jilbab gaya
baru.
Akupun ke luar ruangan dengan mengendap menuju ruang
kosong, dan langsung membetulkan posisi jilbabku. Waktu aku masuk ruangan,
orang-orang masih meributkan usulanku. Kulihat pak Jan mengangguk dan tersenyum
ke arahku. Oh, tampan sekali dia.
Dia terlihat menarik nafas lega.
“Oke,
mulai sekarang, kita akan berpartner dengan industri-industri yang bermoral,
dengan begitu, otomatis citra kita pun akan linier dengan semua misi-visi yang
menjadi tanggung jawab kita, sebagai perusahaan jasa pencitraannya.” Pak Jan
memecah keributan seputar meja, mendahului bu Kim.
“Yee...!”
aku menghitung pendukungku, 4 lawan 3. Nyaris. Jika pak Jan tidak dipihakku.
“Kerja
bagus Qon! Lho kayaknya tadi warna jilbabmu bukan hijau?” Bu Kim tersenyum puas
padaku. Ternyata dia perhatian juga dengan warna jilbabku.
Kuanggukan
kepalaku penuh hormat. “Terima kasih, bu.”
“Oke,
Kita kerjakan detilnya, Qon!” suara
keras pak Rudi dibarengi sodoran donat dari tengah meja rapat.
Aku
melirik Kamila. Aku yakin, dialah orang
pertama yang menyadari jilbabku terbalik parah.
Pasti dia sengaja membiarkannya.
Terima kasih Tuhan, kau naikkan
aku hari ini lewat bantingan dua kali dari
Kamila.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar