PANGERAN. 12
REVOLUSI KEMAMPUAN
Dokter Rut, Kata ibu Ratija,
seminggu ini aku mengalami kemajuan yang -sangat banyak-. Dia pasti melewati informasi
ini: bahwa kegiatan belajar terus menerus membuat aku semakin pandai setiap
harinya.
Dan
lompatan hebat terjadi lagi hari ini. Dinda menangis karena ia kehilangan
bonekanya. Dia memelukku. Air matanya, membuat aku bicara!
“Sssshhhh...”
oh... aku mendesis seperti ular. Aku meniru bunyi yang selalu dikeluarkan
kakak-kakanya dan ibu ratija bila ada diantara kami yang menangis. Aku hapus
air mata dipipinya.
Dinda
menatapku kaget. “Kakak bunyi?”
“Aaa..kuuu...
buuu...nyiiii.” tenggerokanku berderit derit.
Anak-anak
lain yang tadinya sibuk sendiri, menengok, dan mengelilingiku.
“Kakak?” mereka mengguncang
tubuhku.
“Kakak!” mereka mulai mendesakku.
“Haii iiiaaa...”kataku dengan
kekuatan batin yang penuh. Aku bisa! Lalu mereka bersorak. Ibu Ratija memegang
pipiku. Anak-anak lain memelukku.
“Hebat!”
“Alhamdulillah...
“
“Katakan
yang lainnya!”
“Aaaa...
kuuuuuuu...baa.. haa.. giaaa...”
“Horeeeeeeeeeeeeee...!”
Maka
sejak itu aku dan Dinda semakin akrab. Dialah yang mengajariku bicara, Kami tak
mengenal waktu saling mengeluarkan bunyi-bunyian. Bu Ratija bahkan tanpa
sungkan, menarik-narik lidahku dengan perlahan. Dia piker lidah yang panjang
akan membantuku membedakan bunyi-bunyi yang bergetar di sekitar lidah.
Tapi kini sebaliknya, jika malam,
aku mendapat tugas baru: membacakan cerita untuk Ilalang, Dinda, dan muti.
Katanya
ini tugas kakak Qonita yang sekarang pergi itu. Aku tanya: “kenapa kakak Qonita
harus pergi? Padahal begitu banyak tugasnya di sini?”
Ibu Ratija hanya bilang: “
seperti kamu, dia pergi agar dia aman.”
Bagian ini aku benar-benar tak
mengerti. Tapi aku tak akan bertanya. Nanti aku pasti akan tahu jawabannya.
Dokter Rut, aku rasa yang namanya
Qonita ini kakak tua yang hebat. Dia membantu ibu Ratija di rumah, dan bekerja
di luar rumah. Di luar rumah! Hebat sekali!
Kata
ibu Ratija aku bisa belajar banyak kata-kata baru, dan cara menulis yang benar,
bila rajin membaca. Maka aku lakukan keduanya.
Kepada ibu Ratija, aku tunjukan
buku ‘ceritaku ini’. Maksudku untuk
menunjukan kemajuwan menulisku. Ibu Ratija membaca. Dia nampak kagum dan
bangga. Dia mengelus pipiku. Dia cuma bilang: “Bagus, teruslah menulis.”
Suatu malam aku dibangunkan olehnya,
hanya karena dia terburu dengan semangatnya, ingin menunjukan padaku: “Lihat
bedanya! Kini kau bisa menulis dengan benar! Kau bisa menaruh semua tanda baca
dan alenia dengan benar!” Ibu Ratija menunjukan tulisan lamaku yang tak
terstruktur, dengan gaya
menulisku yang baru. Rapih.
Aku
tak menyangka akan secepat ini lompatan-lompatan ini terjadi padaku.
Dalam
sebulan, kedudukanku di rumah ini sama dengan ibu Ratija. Mungkin aku terlalu
berlebihan. Tapi setidaknya inilah yang aku rasakan. Karena kedudukan kami
–nyaris sama- maka kini sehabis anak-anak sholat Isa, Aku dan ibu Ratija tidur
tengkurap, dan para kurcaci itu memijati kami dengan berbagai cara.
Nikmat.
Hangat. Sangat-sangat bahagia. Aku tahu pasti inilah rasa yang belum pernah aku
rasakan. Saat di mana ibuu Ratija dipijat para kurcaci bergantian,
beramai-ramai, sambil memberi nasihat atau cerama/atau kisah nabi. Dan aku
mulai mengobrol soal Tuhan.
Hal ajaib lain, tapi begitu mudah
masuk ke hati dan pikiranku.
BERAMBUNG
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar