Putri.
5
RUMAH SUSUN
Bagi penghuni rumah susun kumuh,
seperti kami, menjelang Magrib lebih
disibukkan oleh rutinitas seperti:
menyalakan lampu, menyalakan penghisap udara, agar udara bau yang tak
sehat ini enyah dari apartemen. Khusus di tempat kami, kamu bisa dengar suara
komando lain seperti ini:
Peringatan
1: “Cepat
belajar! Sebelum mereka mematikan listriknya!”
Peringatan 2: “Qonita, isi semua bak
air, drum, ember-ember! Sebelum mereka mematikan aliran airnya!”
Peringatan 3: “cepat pasang
penghisapnya agar semua udara kotor, segala bau
dan nyamuknya keluar dari sini!”
Itu
adalah suara ibu Ratija. Suaranya seperti mesin bersuara otomatis. Berbunyi setelah kami menjalankan solat Magrib
berjamaah. Di dapur yang sempit, aku hanya bisa tersenyum melihat bibir Muti
yang mungil bicara tanpa suara, seolah dia sedang akting, sementara ibu Ratija
mengisi suaranya.
Kami
telah hapal dengan komando yang
dikumandangkan selepas magrib ini. Mengingat di hunian apartemen ‘kumuh’
ini, listrik hanya menyala antara jam 18.00 sampai jam 22.00.
Sesuai
dengan anjuran pengurus wilayah, agar
kami lebih hemat, dan bertindak efesien. Agar para kunang-kunang yang berhasil
ditemukan ‘kembali’ dapat berbiak sesuai kehendak alam tanpa terganggu cahaya
terang, yang membuat sinyal bercinta mereka terganggu. Dan mungkin melindungi para nokturnal liar
yang lain.
Kenapa peraturan lain bisa
berbunyi, hunian kelas 1 bisa mendapat akses listrik 24 jam/hari, dengan
alasan, sektor itu ditempati para petinggi negara, kelas eksekutif, para CEO,
para pesohor penting. Mereka
menggolongkan orang-orang itu sebagai manusia produktif yang harus difasilitasi
guna kelancaran segala urusan.
Sedang
hunian kelas 2, dapat jatah listrik 16 jam/hari, hunian kelas 3 , 10 jam/hari.
Dan sisanya hunian kami hanya
4jam/hari.
Itu
hanya omong kosong, karena jika dihitung secara matematis, jelas, sektor
rumah susun kumuh yang luas, dengan
panel-panel suryanya penyumbang listrik
yang cukup besar bagi pemerintah daerah.
Mareka
tahu meski kami dalam keadaan gelap gulita, tapi kami tetap terhubung satu sama
lain lewat dunia maya. Sehingga mereka harus tetap mewaspadai gerakan kami.
Mengintai kami lewat satelit-satelit mereka, berjaga-jaga saat suatu topic
memanas satelit mereka langsung menyampaikan grafik analisa psikosocial yang sudah diseting dengan
metode statistik yang otakku tak kan
mampu mencernanya, sekalipun cuma permukaannya saja.
Mereka
harus waspada, karena kebanyakan
keributan kriminal, pemberontakan sosial, berasal dari kantung-kantung kumuh
seperti tempat kami.
Air,
adalah hal terpenting lain. Mereka membuat air menjadi senjata yang paling aman. Keributan apapun di kota-kota
super padat negeri ini, dapat dipadamkan
oleh tindakan ‘padamkan aliran airnya’.
“Kak
Qoni, airnya mati!” terdengar
teriakan Mufti. Dia dengan wajah
nelongso memandangi cucian perkakas yang menumpuk.
Dengan
gemas, kusambar kotak peralatanku. Hal seperti ini biasa terjadi, satu gedung
kehabisan atau dibajak aliran airnya. Biasanya terjadi kenakalan di lintasan
pipanya. Biasanya kami akan saling menyalahkan sampai terjadi rusuh antar
gedung.
Aku menengok ke arah ibu Ratija.
Dari sebelas orang yang tinggal di rumah ini tak ada seorangpun yang layak
berlari menuruni tangga mengejar waktu
sebelum aliran air dimatikan, selain aku.
Ibu Ratija yang usianya 60 tahun terlalu lemah
melakukannya. Di usia hidup rata-rata penduduk yang 45 tahun, dia sudah
termasuk ‘panjang umur’.
Jadi kau dapat bayangkan
kondisinya yang sangat wajar. Tabung
oksigen yang selalu ada di sekitarnya, karena bu Ratija menderita asma permanen akibat polusi permanen. Mata yang rabun,
telinga yang tuli akibat bekerja bertahun-tahun di samping gemuruh mesin. Kaki tiga penopang tubuhnya karena bu Ratija
juga menderita osteoporosis, lebih karena akibat gangguan estrogen dampak dari
obat-obatan hormonal.
Jadi mustahil bila ibu Ratija pergi memeriksa
saluran. Bagaimana dia melihat letak kebocoran pada pipa, atau sistem
kontrol dengan mata rabunnya? Bagaimana
dia mendengar bunyi aliran air di pipa
dengan telinganya? Bagaimana dia berlari?
Maka akulah yang memeriksa air .
Karena aku gadis sehat, kuat, berani, nekad, perkasa, penolong, pokoknya semua
yang terdengar seperti ‘seorang gadis
super’. Tentu saja, AKU! Karena sembilan penghuni yang lain masih berumur
dibawah 12 tahun, selain itu diantara mereka juga ada yang cacat sejak lahir.
“Aku berangkat, bu.” Pamitku dengan keras, mengingat alat pendengaran ibu Ratija
telah rusak. Alat itu, kabel itu, hanya menjadi asesoris belaka. Jangan tanya aku, ibu Ratija
mengikuti gaya
preman mana, memakai asesoris seperti
itu.
Tanpa menunggu jawaban ibu
Ratija, aku pakai sepatu catsku.
“Hati-hati selalu, Qon. Perasaan
ibu tak enak,” terseok ibu Ratija menghampiriku.
“Ya, bu.”
“Qon?!” di luar pintu teralis
kami, ibu-ibu telah siap dengan aneka alat. Termasuk pentungan. Karena bila
aliran air mati, bisa saja ada hal
serius. Ada
penjahat yang harus diwaspadai, ditakuti.
“Ya
siap.”
Berderap
kami menuruni anak tangga. Kami benar-benar harus disiplin mengikuti protokol
keamanan. Bergerak cepat, bergerombol selalu di malam hari. Agar jika sesuatu
terjadi, kami bisa menghadapinya bersama.
“Semestinya,
setiap wakil keluarga di gedung kita mendapat pelatihan militer atau keamanan
ya?”
“Ya.”
“Buat
apa? “
“Menghadapi
para kriminal malam.”
“Paling
cuma geng motor, atau para android cacat atau para mutan atau para manusia buatan, yang memboikot aliran air, jadi besok kita
kekeringan, dan orang-orang yang ronda malam ini dilempari kutukan segedung.
Hehehe.”
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar