Putri. 5
RUMAH SUSUN
Android adalah robot yang menyerupai
manusia. Android kriminal biasanya racikan para tukang rekayasa untuk menjalankan otak kriminal mereka. Karena para insinyur jahat ini tak punya otot dan
nyali untuk melakukan kejahatannya sendiri.
Sedang manusia
buatan adalah mahluk jadi-jadian.
Mereka kebanyakan adalah pelaku kriminal karena keadaan. Kebanyakan dari mereka
melakukannya hanya untuk sekedar
bertahan hidup.
Kamilah
yang salah memberi status manusia buatan itu sebagai ‘bukan warga’, tapi kami menggolongkan
mereka sebagai mahluk liar, seperti kucing, tikus, kecoa yang jumlah
populasinya semakin tak masuk akal.
Mereka,
para manusia buatan itu, memang berkemampuan, tapi tidak berdaya
untuk membebaskan diri dari majikannya, karena di dalam otak mereka ditanamkan
chip penyengat, yang dapat bertindak spontan begitu si manusia buatan melampaui
hak edarnya, atau memberontak terhadap majikan. Memang banyak yang diujung
frustasinya, para manusia buatan melarikan diri. Untuk bunuh diri. Mereka
meledak otomotis begitu keluar dari jarak edar. Mengenaskan.
Sedang
manusia buatan yang bebas, kebanyakan merupakan produk gagal Tidak sesuai dengan baku mutu. Terutama masalah kegagalan implant
chip ‘penyengat’, dikepalanya. Jadi
mereka mampu kabur, dan menjadi liar. Sementara penampilan mereka yang
abnormal, menjadi penghalang bagi mereka untuk berbaur dengan masyarakat biasa.
Mereka,
para manusia buatan dan mutan ini dipanksa tumbuh dan kembang di
dunia kami yang tidak bersahabat. Dunia kami yang pengap dan dipenuhi aroma
kecurigaan di mana-mana. Kami ada di planet yang sama.
Kelebihan para manusia buatan
telah membuat mereka menjadi pekerja-pekerja berkualitas diatas manusia pada
umumnya, dan mereka mau diupah rendah. Kecemburuan social menjangkiti setiap
sudut kehidupan kami. Bagi manusia buatan yang tak beruntung atau pengangguran,
dengan bakat buatannya, mereka menjadi pelaku criminal yang trampil. Secara
otak maupun otot.
Jelas sekali keberadaan mereka
menyempitkan kesempatan kami. Maka tidak heran bila paranoia benar-benar menyelubungi kehidupan
kami. Apalgi bila kami menyadari ada mansis atau mutan diantara
kami. Sadar atau tidak, kami telah membuat jiwa sosial kami menjadi cacat.
***
Kami menyusuri wilayah lain yang
terdiri jalan sempit diatas gorong-gorong kota . Jangan tanya baunya, karena gorong-gorong itu
adalah aliran buangan segala limbah cair.
Jika
dulu dunia menandai hari dengan kokok
ayam di pagi hari, nyanyian burung hantu di waktu malam, gemerisik Tonggeret di
sore hari, Tekukur di waktu Magrib dan Subuh, kini kau pun akan tahu waktu, melalui limbah ini.
Pagi hari kau bisa mencium bau amis dan busuk, karena aliran darah dan kotoran dari pasar
dan pabrik pengalengan daging yang sibuk dari subuh.
Agak sore, kau bisa mencium bau amis dan
busuk, karena limbah pengalengan ikan baru bekerja sore.
Siang kau akan mencium buangan
pabrik A. Jam 11.00 biasanya buangan
pabrik B akan tercium, agak harum.
Kalau hari hujan, kau bisa
mencium bau busuk 100% tanpa campuran apa-apa sebagai akibat dari gas H2S yang
pabriknya entah yang mana, dan gasnya mengendap perlahan di perumahan
susun kumuh ini.
Semua bau busuk. Terkadang
dari gorong-gorong ini, lewat lubang-lubangnya mengeluarkan asap. Asap
yang jika mengenai mata, mata kami akan perih dan berair. Seorang aktivis lingkungan
menempelkan alat sensor di tepi selokan ini, hingga sensornya akan menyala
begitu menangkap hembusan uap berbahaya dari lubang dalam selokan. Nyala
sensornya akan menyalakan sirine. Berikutnya,
ketua gedung akan bicara lewat toa
agar kami menutup semua lubang dengan penyaring udara.
Huuft, aku setengah berlari mengejar gaya jalan para
wanita yang berkaki panjang . Diatas
gorong-gorong yang mengalir cairan bau di dalamnya. Tanganku aku sembunyikan
dibalik saku jaket ini.
Akhirnya kami sampai di gardu,
tempat semua instalasi dikendalikan. Seperti yang kami duga, benar saja,
petugas keamanannya sedang ‘merana’. Dia digantung di atas. Mulutnya ditutup
lakban. Dengan posisi terbalik dia bergerak sia-sia, seperti cacing kepanasan
di tengah gurun.
Dengan cekatan, ibu-ibu langsung
menurunkannya, sementara seorang yang lain berusah menyalakan mesin
instalasinya.
“Apa yang terjadi?”
“Kalian... cepat lari, ini
jebakan!”
Si penjaga terkulai lemas.
“Ha? Hahahaha... siapa yang mau
menculik kami, para emak-emak ini?”
“Pemburu organ.”
“Haaaaaaaaaa...?”
“Bagaimana dengan airnya?”
“Persetan dengan airnya.”
“Cepat lari!”
Tapi aku tak sepanik dan sebodoh
ibu-ibu itu. Bagaimana mungkin mereka akan menculik gerombolan ibu-ibu? Memang
gerombolan penculik berapa banyak?
“Qon!”
“Ya... aku akan membuat airnya
menyala dulu.”
“Cepat.”
Aku berbalik, dan membuat petugas
keamanan itu berdiri. Dia berjalan dengan lemah.
“Kau yang namanya Qonita?”
tanyanya menatapku cemas.
“Ya, cepat airnya pak, sebentar
lagi akan dimatikan dari pusat.”
“Mereka menyebut-nyebut namamu.”
Petugas keamanan menatapku tegang.
“Apa?”
Petugas itu mendorongku untuk
pergi. “Cepat! Mereka cuma sembunyi...” mulutnya berbisik menekan.
Perlu panikkah aku? Seperti
biasa, pasir otakku berguruh lamban.
Begitu menyadari apa
tujuanku, aku bunyikan alarm bahaya yang
ada di depan tombol-tombol kontrol aneka instalasi. Tak kuingat lagi tombol
mana yang aku pijit kode alarmnya. Bunyi ‘peringatan air akan mati’, bunyi ‘ada
asap berbahaya’, bunyi ‘peringatan listrik akan mati’. Bunyi peringatan banjir
. Bunyi jam malam.
Bunyi
apakah ini? Bunyi alarm kebakaran setiap gedung. Bunyinya meraung-raung.
Memaksa penghuni gedung berhamburan lari ke luar gedung.
Asyik!
Semoga pijitanku membuat para penjahat itu bingung mengejarku. Jalanan sempit
yang membelah gedung-gedung rumah susun mulai dipenuhi orang-orang. Bahkan riuh
rendah suara terdengar .
“Kebakaraaaaaannnnnnn...!”
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar