PUTRI. 9
SANG BINTANG
Ya aku sangat mengerti. Kubuka
dompetku, dan kutambahkan beberapa kupon makan, kupon air, dan kupon listrik ke
dalam satu amplop, juga kupon sosial. Serta sedikit uang yang ada di dompet.
“Wanda,
aku minta tolong, dengan serius, dan kontrak kerja yang jelas, tolong, gantikan
aku di rumah dalam beberapa hari. Kau bisa berikan ini untuk ibu-bapakmu
sebagai bukti kau ‘menghasilkan’.”
“Kau
membuat aku malu, Qon.”
Ah!
Dia pasti basa-basi. Ampun Tuhan, atas sinismeku ini.
“Selama
kau tidak mengingkari Tuhan dan cara kerjanya, kau tidak perlu malu.”
Kusisipkan beberapa lembar uang, yang aku hitung, cukup untuk makan dia selama
satu minggu.
“Wanda,
terima kasih sekali, hanya Tuhanlah yang mampu membayar semua kebaikanmu.”
“Kau
baru saja memberiku upah.”
“Yah,
supaya aku tidak terlalu malu karena membebanimu. Tolonglah, berikan semua ini
untuk ibu Ratija. Katakan aku segera kembali, tapi entah kapan.”
Ya,
aku tidak tahu. Kenapa urusannya menjadi
seserius ini. Aku tidak tahu apakah ini musibah, ujian, atau anugerah, karena
semua ini, menyebabkan aku akan tinggal di rumah ‘mewah’ pak Jan, pria yang
membuat aku jatuh cinta, untuk waktu
yang aku tak tahu.
***
Bip!
Bunyi penanda mengobrolku
diujung monitor, membuyarkan lamunanku tentang rumah, iklan, android, pak Jan.
Pak Jan : Sudah malam, kau tak pulang?
Deg! Jantungku nyaris berhenti,
ini alamat email bos besar. pak Jan!
Hoi... sodara-sodara! Ini pak Jan menghubungiku! Melalui akun pribadiku!
Aku
: maaf pak,
masih banyak yang harus aku kerjakan.
Pak
Jan: Pulanglah! Kulihat kamu Cuma
bengong-bengong-bingung.
Wah!
Pak Jan memperhatikanku! Kulirik
ruangannya yang terletak diatas ruanganku. Tertutup. Aku celingukan dan mataku
terpana melihat kamera pengintai di sudut ruang ini.
Haaaa, tentu saja dia sedang mengamatiku
dari kamera pengintai. Dasar curang! Berarti dia tadi melihat aku bermain ‘saat Berbie berpesta’ permainan termuktahir yang baru aku unduh
itu. Pak Jan melihat permainan itu juga... ? Astaga!
Kutebak dia pasti mentertawakan
aku, melihatku celingukan.
Pak
Jan: Kerjakan saja di rumah. Si Boy sudah
menunggumu.
Hahaha, maksudmu, dirimu yang tak sabar
menungguku? Kurasakan euphoria pasir di kepalaku. Dasar penghayal! Kutepuk
dahiku beberapa kali agar semua pasir itu diam.
Aku: Maaf, silahkan bapak duluan. Saya belakangan. Saya akan pakai Kereta.
Trims
Pak
Jan : Jangan Bodoh! Kau sedang diincar, tidak bisa
pulang, dan kamu ga bisa masuk rumahku tanpa tanganku.
Hooo tentu saja pintu berkunci
sidik jari itu!
Pak
Jan : Dan kamu tak bisa pulang membawa seransel
penuh baju-dan berkas-berkasmu.
Hoooo... kenapa tak ada alasan
aku menolaknya.
Pak
Jan : Hallo...?
Aku : Ya, pak. Saya segera berangkat. Saya tunggu di depan kios depan kantor.
Pak
Jan : Ha?
Aku
: Hmmm, masih banyak orang. Aku tak mau kejadian
pagi, terulang lagi sekarang.
Pak
Jan : Ha?
Aku : Jangan sampai *kebersamaan* kita menimbulkan gossip. Kukirimin dia gambar emoticon takut, bingung,
waspada.
Pak
Jan : Ha! yayayaya... jangan samapai teman-temanmu
mengira kamu pembantuku ya?
Aku : kukirim dia emoticon tinju.
Setelah ketikan terakhir terkirim
aku menyesal, kenapa aku menjawab –bos besar- dengan aneka simbol tak jelas
seperti itu sebagai wakil dari segala sumpah serapahku?
Aku segera membereskan semuanya
yang berserak di mejaku. Gambar-gambar primitifku. Pinsil warna. Kumasukan ke
dalam laci. Kumatikan komputerku, laptopku. Memberekannya semua. Tapi aku tak
melihat pak Jan ke luar dari ruangannya. Kurasa pak Jan pasti ke luar setelah
melihatku berangkat, dia akan tahu melalui kamera pengintainya.
Bip! Penyerentaku berbunyi. Ibu
Ratija. Aku menerimanya sambil berjalan.
“Assalamualaikum.
Kamu sudah di mana, Qon?”
“Waalaikum
salam, bu. Aku masih di kantor.” Aku sangat berharap dia menjawab ini: ‘Pulanglah! Semua sudah aman.’ Tapi
kemudian aku hanya mendengar suaranya yang parau, lemah, dan khawatir.
“Jangan
pulang!” seperti biasa, pendengaran ibu Ratija terganggu.
“Kata Wanda, kamu ada dalam
bahaya serius. Komplotan yang mencarimu adalah komplotan Kupu-kupu! Itulah
kenapa aku mengirimkan baju-bajumu lewat Wanda.”
Suara
bu Ratija berbisik cemas. Jadi benar gang yang mencariku adalah gang Kupu-kupu?
Gangster yang dikenal karena ‘rekanan-nya’ hanya dari golongan elit tertentu
saja. Satu-satunya gangster yang menjalin hubungan dengan lembaga intelejen
Negara. Tapi juga ganster yang paling rapi dalam menjalankan manajemen kapital
ilegalnya.
Menurutku,
lembaga yang paling lengkap sumberdayanya adalah mafia semacam ini. Kau bisa
menemukan seorang ilmuwan sain, sosiolog, politisi, sampai paranormal didalam
daftar rahasia keanggotaanya.
Jadi sesuatu yang serius sedang
terjadi. Hooooooo... jadi aku harus lari ke mana?
“Hallo…
hallo.. Qon?” suara ibu dengan volume mengeras membangunkan alam jedaku.
“Tidak
ada pilihan lain, mungkin kau harus menginap lagi di rumah bosmu. Bisakah ibu
meminta nomor penyerentanya?”
Kuketikan
nomor smartphone pak Jan.
“Ya,
sudah.” Bip, aku dengar panggilan lain. Pak Jan.
“Oh,
Bu, maaf ada panggilan dari bos, nanti kita sambung lagi. Assalamualaikum”
Sambungan
pada ibu Ratija aku matikan. Aku tahu percuma bercakap dengan dia seperti ini.
Sering terjadi salah sambung karena pendengarannya yang kurang.
“Qon... Dimana? Aku sudah di
depan kios!” suara pak Jan terdengar.
“Oh
ya... Saya baru lewat halte.” Aku bisa melihat mobil van mewahnya.
“Oh...
ya. Hai Qon... Qon...! Awas...!”
“Apa...?
“ Hhhmmpphh’ tiba-tiba saja seseorang
menarikku dari belakang. Lengan besarnya membekapku dengan saputangan
secara paksa, sementara tangan kekar
kanannya yang lain memeluk perutku dengan keras.
Bau
formalin merasuk masuk hidungku. Aku bisa
melihat lengannya yang melingkar diperutku bertatto kupu-kupu. Perlahan
aku lihat tattoo Kupu-kupunya lepas. Lalu kupu-kupunya terbang menari indah. Tapi benarkah kupu-kupunya bisa terbang? Ini
pasti permainan pasir di otakku, atau bau formalin yang menyita
kesadaranku? Seluruh pandangannya
bergoyang. Lalu gela p.
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar