PANGERAN.
8
LARI!
Kmu takan pernah bisa lari dari bayanganmu,
kecuali bila kamu dalam
kegelapan.
Februari
27
Waaaaaaaaaaaaa! Jeritan orang
membuatku bagun. Lalu aku meloncat. Di
manakah ini? Kutatap semua orang di sekitarku.
Awas,
ada Manbu[1]
pelarian! Teriak seseorang
Bunyikan
alarm tanda bahaya! Teriakan orang.
Orang-orang
mulay ribud.
Aku
berlari ta menentu arah. Mengkejar orang-orang yang tampak takut terhadapku.
Alarm tanda bahaya mulai terdengar.
Kepong
dia...! teriak seorang pekerja berseragam merah
Aku lihat, orang-orang memegang
pentungan listrik, mengelilingiku. Mereka sungguh takut, dan mewaspadaiku.
Sepertinya memang benar aku nampak membahayakan.
Tutup
pintunya! Perintah seseorang.
Tapi
perintah itu terlambat, karena aku telah melakukan loncatan, sebagaymana yang
sering aku lakukan di Hutan Buwatan. Sekejap saja aku telah berada di balkon.
Ku
tengok ke arah bawah. Haaa, cukup tinggi juga. Tanpa berpikir lagi, aku mulay
merayap turun, melalui pipa buangan, dan segala seswatu yang bisa aku pegang.
Hingga
kutemui sebuah jendela yang terbuka.
Waaaaaaaaa!
Jerit seorang wanita di balik jendela.
Olala,
seorang wanita yang sedang duduk di kamar sempit teriak.
Haa, manusia memang aneh, mereka
membuat kamar sempit dengan satu kursi saja. Untuk apakah?[2]
Dokter Root bilang itu disebut niche semacam kapel, mereka percaya bila berdoa
di tempat itu Tuhan akan mendengar.
Jangan tanya aku: Apa itu
Doa dan siapa Tuhan itu.
Mungkin Tuhan adalah teman dokter Root.
Mendengar wanita itu berteriak,
tentu saja aku gugup. Lalu dengan ‘kepandayan’ yang aneh, aku bisa membuka
pintunya dan melesat lari keluar. Menebus pintu yang lain. Menyusuri –jalan di
dalam- gedung. Turun tangga. Lalu aku
menangkap getaran aneh. Kurasa ada beberapa orang menaiki tangga ini. Bisa jadi
itu para pengejarku.
Aku
membuka pintu darurat, dan kembali berlari di sepanjang koridor. Tak menentu.
Aneh. Membingungkan. Dokter Rut, di manakah ujung pelarianku ini?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar