Putri. 11.
PUTRI TIDUR
Orang yang menginginkan impiannya
menjadi kenyataan,
Dia harus bangun dari tidurnya .
Berat sekali aku membuka mataku. Kenapa kelopak ini
begitu rekat menutup. Sudah kucoba berulang kali menjaga kesadaranku. Tapi
adegan-adegan tak karuan berulang kali datang dan pergi bergantian tema.
Sebentar tentang rumah yang damai dan
hangat tempatku bersesak-sesak bersama delapan
anak lain, di rumah ibu Ratija.
Lalu berganti tentang hiruk pikuk
pekerjaan kantor. Wajah Kamila dengan senyumnya yang menyeringai, menampakan
taringnya yang belum pernah aku lihat.
Dia duduk di pangkuan pak Jan di ujung meja. Dengan kostum kantor super
seksi, super ketat.
Ini pasti tidak benar. Ini tidak
nyata! Aku menggelengkan kepala berulang kali. Menghalau gambaran iblis diujung
meja (Kamila). Lalu kupejamkan mata.
Saat aku bangun aku bingung, karena tiba-tiba
saja aku ada di tengah lalu lintas malam
dengan kelebat lampu mobil yang
menyilaukan. Rahman menempel di punggungku, pampersnya yang penuh sepertinya
mulai meresap di punggung kemejaku. Di dadaku menggelayut Rahim. Kedua bayi itu
meraung galau, bingung dengan jalan raya.
Sementara
aku tak punya apapun untuk menghentikan tangisnya. Seandainya saja Tuhan
menganugrahiku ASI di payudaraku, depan dan belakang sekalian!
Mataku
menangkap lambaian tangan Ilalang di seberang jalan. Anak itu, seperti biasa,
terduduk lemah, sementara kaki palsu dan tongkatnya hancur berserak di
sampingnya, entah kenapa.
Aku Ingin sekali menyeberang, mengambil dan
mengajak Ilalang. Terburu lampu merah
menyala, sebuah bis tua yang kumuh besar sesak penumpang berhenti, mogok,
knalpotnya terkentut-kentut mengeluarkan asap jelaga hitam tepat di depan hidung Ilalang, hingga Ilalang ‘terpaksa’
menghirup asap hitam itu. Dan Ilalang mengalami sesak nafas yang akut. Asma
alerginya akut.
Oh,
Ilalang ! Aku ingin sekali berlari menghampirinya. Menggendongnya. Membawanya
pulang. Tapi kakiku begitu berat. Tanganku begitu lemas. Tubuhku... lalu gelap.
Kelebat terang memerah, lampu sorot mencoba menembus kelopak mataku.
Tuhan,
kenapakah aku ini?
Kudengar
gemuruh orang bersuara. Terdengar juga denting alat-alat logam. Restorantkan
ini? Semoga benar aku di restorant, aku sangat lapar. Tapi yang kucium bukanlah
aroma masakan, melainkan aroma obat-obatan.
Mataku,
membukalah! Tuhan, kenapa aku tak berdaya?
“Anak
ini?”
“
Semua dalam pengamatan?”
“
Bagaimana?”
“Yah,
sesuai dugaan kita.”
“Jadi
benar dia sedang ovulasi”
“Ah!
Hebat!”
Suara-suara
itu. Apa kata mereka? Ovulasi? Apa? aku? Akan? Haaaaaaaaa...!
Inikah
hari itu? Hari dimana aku tak dapat menolaknya? Aku... aku... akan hamil demi
menyelamatkan rumah ibu Ratija termasuk 15
penghuni di dalamnya.
Aku
akan hamil, begitu saja, tanpa suami, aku akan menjadi ibu biologis dari
sepasang telur dan sperma entah milik siapa, yang mereka tak memiliki rahim
untuk menjaganya.
Cuma
itu? Tidak! Aku baca kontrak itu bunyinya....
*atas nama ilmu pengetahuan*
Aku
ingat, betapa ibu Ratija berusaha merobeknya. Tapi kertas bermaterai itu memang
dirancang untuk tidak bisa robek, bagaimanapun keadaannya. Ibu Ratija yang tua
renta begitu lemah dalam paksaan seorang mansis kekar. Sembilan adikku yang
menjerit-jerit, sungguh memilukan, mereka duduk dibawah ancaman senjata.
Setelah
hari itu, aku secara paksa mengalami pemeriksaan yang panjang. Sementara air
bersih mengalir lancar di rumah kami. Listrik mengalir tanpa putus, kiriman
makanan memenuhi lemari persediaan kami. Tak tanggung-tanggung, mereka
membangunkan bunker bagi kami untuk melindungi kami dari perubahan cuaca yang
ekstrim. Di dalam bunker itu, dipenuhi dengan aneka makanan, minuman.
Apartemen kami yang sengsara, melarat, namun penuh
kasih dan kedamaian, kini berubah menjadi istana mewah kecil yang nyaman namun
penuh dengan kegelisahan.
Siang
malam kami lantunkan doa, semakin kami berdoa, semakin kami merasa Tuhan
mendekat, tapi aku rasa, Tuhan hanya melihat, mencoba kami agar kami lebih
kuat-lebih kuat. Hingga hari ini datang.
Semuanya
patah.
Ibu
Ratija mendadak stroke saat lima
dua orang manusia buatan menjemputku
dengan paksa. Kerudungku tak karuan lagi bentuknya. Mansis itu menarik ke
belakang, hingga kepala berambut merahku menyembul, dan aku nampak seperti
seseorang mengenakan jubah berlubang saja.
Para
tetangga tanpa daya menatapku kasihan,. Mereka hanya bisa mematung. Karena
mereka tahu, mereka tak mungkin melawan para mansis ini. Kami adalah rakyat jelata,
yang kurang gizi, hingga bentuk tubuhnya tumbuh tak seindah kaum ‘bergizi’, dan
tak memungkinkan melakukan tindakan bela diri.
Kami
mengalami devisit energi. Output lebih besar dari input. Memeras keringat,
banting tulang, putar kepala, hanya untuk sejumput karbohidrat, selembar kupon
air bersih, selembar kupon listrik untuk sekedar menandakan ‘kami masih ada’.
Ironisnya, dari septik tank, dan atap-atap gedung
penadah sel surya kamilah, mereka
membuat listrik, dari listrik itulah
mereka mengelola air.
Air...
Air...
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar