PUTRI. 11
PUTRI TIDUR
“Bagaimana Qonita?”
“Oh...
Syukurlah! Kau sudah bangun!” suara ibu Ratija. Dia tergopoh-gopoh mendekatiku.
Lalu menciumiku seperti baru bertemu denganku setelah penantian 3,537 abad.
“Alhamdulillah...
kau masih perawan! Mereka tidak memerkosamu!” bisiknya penuh suka cita.
Oh,
ada apakah ini? Memerkosa? Apaa? Oh ya! Ada
kata penting: ‘masih perawan’. Kurasa
itu cukuplah. Aku lihat di ujung tempat tidurku pak Jan menandatangani seberkas
kertas yang diberikan oleh polisi.
Kurasakan
genggaman kuat tangan bu Ratija. Hangat. Getarannya mengabarkan kecemasan.
“Fbhuu..” mulutku tak mampu mengeluarkan kata dengan benar.
“Oh,
malang sekali Qonita. Apa yang kau
rasakan? Bagaimana ini semua terjadi pada dirimu?” Tanya bu Ratija
bertubi-tubi.
“Ffbhuuf…”
bibirku terasa kelu, tebal.
“Sabar
bu, dia sebentar lagi pasti bisa menjawab semua pertanyaan ibu. Saat ini saraf
mulutnya masih terganggu oleh obat bius.” Pak Jan mencoba menenangkan bu
Ratija.
“Qon,
ibu Ratija telah menungguimu sejak kemarin, aku khawatir bila nanti ibu malah
sakit.”
“Ffbhuff…”
gemas sekali aku ingin berucap, ‘Ya bu,
pulang saja, aku akan baik-baik saja!’ tapi aku hanya mampu mengangguk
lemah sambil kupasangkan senyum agar aku nampak baik-baik saja.
“Yang
penting sekarang semuanya semakin baik. Ibu, Sebaiknya ibu pulang bersama pak
polisi. Ibu sudah terlalu lama di sini. Ibu tentu lelah.” Pak Jan menarik
tangan ibu Ratija. Sikapnya lembut, berbeda sekali dengan sikapnya di kantor.
“Tidak.”
Jawab ibu Ratija tegas, matanya tak lepas menatapku.
“Bagaimana
dengan –adik-adik- Qonita?” Pak Jan menengok ke arahku. Melihat tatapannya,
ah... kukira hanya orang gila sepertiku yang ‘bisa’ berpikiran kacau disaat
kritis seperti ini. Kacau karena alasan :
“Oh,
jantungnya berdebar lebih kuat!” seorang suster menengok dan menunjukan jarinya
ke arah monitor jatung.
Oh!
Malunya aku, itu adalah efek kimia dan euphoria orang jatuh cinta BODOH!
Astagfirlloh.
Nah, benar memang cinta membuat
orang gila. Aku mulai tak sopan mendampingkan kata ‘bodoh’ dan ‘istigfar’.
Setidaknya aku –tak terlalu berdosa- dengan pikiran liarku ini.
“Alhamdulillah!”
bu Ratija tersenyum lebar. Matanya bersinar gembira.
“Nah,
ibu bisa lihat sendiri kan ? Qonita akan segera sembuh bu, dia gadis yang
kuat. Ibu bisa tenang sekarang.” Pak Jan menambahkan alasan.
“Sekarang
ibu sudah lega bukan? Ibu bisa beristirahat di rumah.” Seorang suster menimpali
bujukan pak Jan.
“Qonita?”
Tanya bu Ratija memandangku cemas.
“Biar
aku yang mengurusnya. Pasrahkan saja semua pada petugas medis di sini, bu. Ibu
percaya padaku bukan?” kata pak Jan, matanya menatap bu Ratija teduh.
“Saya
hanya percaya pada Allah semata.” Kata bu Ratija sengau.
“Hahahaha...
tentu saja.” Pak Jan tertawa.
“Baiklah,
saya pasrahkan segalanya pada tuan. Saya mohon... “ akhirnya bu Ratija
membereskan tasnya. Aku bisa melihat barang-barang standard yang selalu dia
bawa, Al-quran, tasbih, dan tentu saja
minyak gosoknya.
“Ah
tentu.”
Lalu
semua berlalu dari ruangan ini. Kecuali polisi itu. Dia menatapku lama hingga
pak Jan datang, membisikan sesuatu dan memberikan selembar amplop. Aku ingin
sekali tahu apa yang dibisikan pada pak Jan.
Beberapa
kali pak Jan menerima telephone, sambil dia melihatku sesekali. Kurasa dia
melayani semua bisnisnya dari sini, dari rumah sakit?
“Kau
benar-benar sudah bangun?” tanyanya berdiri di sampingku.
“Air...”
Dia
mengambilkan segelas air dan mengantarkannya dengan sedotan ke mulutku.
Kulirik monitor jantung.
O-oooo... alatnya benar-benar bekerja! Alat itu begitu sensitif membaca degub
jantungku.
“Ffbuuffh…?”
maksudku ‘Apa yang terjadi?’. Tentu
saja aku masih bingung.
Pak Jan mengambilkan sedelas air
isotonic. Dia mengarahkan sedotannya kepadaku. Kuhisap air di dalamnya. Benar
aku begitu haus. Kucoba menarik nafas.
Kulantunkan Ar-rahman dalam hatiku untuk menenangkan hati karena jarak kami
yang begitu dekat.
“Kamu
diculik, dirampok, semua ranselmu, dan berkas-berkasmu hilang.”
“Whamphok..?”
suaraku pelo terhambat rasa baal.
“Ah
untungnya kau tak menyimpan file penting perusahaan.” Kata pak Jan menarik
nafas.
Semua
File saya penting pak! File tentang ide-ide saya yang hebat... ah ya... tak ada
yang patut aku banggakan dari file-file itu.
“Kamu –tertidur-sampai-3 hari-.”
Suara pak Jan penuh penekanan.
“Haa?
Uhuk...uhuk...” tersedaklah aku. Pak Jan menepuk punggungku.
Oh, tuhan bagaimana cara menolak perlakuannya?
3 hari telah hilang dalam hidupku, dan begitu bangun aku menemukan pangeran
yang begitu –perhatian- padaku? Kejutan dari Tuhankah ini? Hadiahkah ini? Atau
ujian baru dari Tuhan agar aku mampu menaklukan syetan penggoda?
“Kurasa
kau tidak pernah sadar sejak diculik 3 hari yang lalu.” Pak Jan duduk di ujung
kakiku. Tanpa Ragu. Ingin sekali aku menolaknya, tapi bagaimana caranya?
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar