Putri. 9
SANG BINTANG
Oh wangsit! Turunlah! taburkan pasir dikepalaku ini dengan semesta inspirasi. “Qon?”
“Hmmm, pertama-tama kita akan
membayar seorang dokter spesialis
perkembangan anak. Dia akan mengamati perkembangan anak dari sisi fisik dan
jiwa. Jadi kita akan melihat perbedaan sebelum dan sesudah ‘pengasuhan’ seorang
Android yang dilengkapi ASI refill.”
“Akan lama Qon, kita butuh
sesuatu yang cepat dan cepat jadi uang. Dan kita bisa cepat berburu iklan baru
lagi.” Suara Kamila sengau
“Biasanya kontrak iklan
berlangsung berapa lama?” tanyaku entah pada siapa.
“enam bulan? Setahun?” jawab
Maria.
“Jangan sampai kita buang-buang
energi untuk satu iklan saja.” Suara Kamila dengan intonasi meninggi.
“Kalo jadi iklan berkontrak lama,
Kita bisa bikin iklan series.” Usulku.
“Bisa untuk tumpangan iklan
layanan masyarakat tentang kesehatan. Rekanan pasti suka.” Aku mendengar
suaraku bersemangat.
“Akan banyak biaya, sementara
kita tak bisa melayani rekanan lain yang mengantri yang jelas-jelas cukup kita
buatkan dengan metode atau teknik yang sederhana.” Suara Kamila bias.
“Atau layanan tips pengasuhan...”
pak Rudi menyahuti.
“Yang dibawakan oleh seorang
android!” ditimpahi Maria.
“GILA!” jelas Kamila tidak tahan
dengan kegairahan satu arus di meja ini.
Semuaa menengok ke arahnya.
“Oke, siapa yang merasa waras
silahkan ke luar ruangan.” Bos Willy seperti biasa, menjadi bom di puncak
acara.
Semua diam.
Tanpa ragu Kamila berdiri,
mengangguk sedikit hormat kepada bu Kim dan pak Jan, lalu berjalan ke luar
ruanngan. Aku salut atas sikap terus terangnya.
“Oke, kalau begitu, teruskan
keributan kalian, kami ada urusan yang lebih penting. Mari pak Jan, Rudi!”
Rudi segera bangkit membukakan
pintu untuk pak Jan dan bu Kim dengan sikap penuh hormat. Ketiganya
meninggalkan kegaduhan ruang rapat. Aku menatap pintu tertutup itu dengan
perasaan tak menentu. Nanti sore atau malam aku akan pulang ke rumah orang itu
(pak Jan)lagi?!
***
Aku semakin bergairah mengerjakan
iklan ASI refill. Apalagi bila mengingat
ini semua untuk kesejahteraan Rahman dan Rahim. Jadi bila rekanan akan setuju
dengan konsepku, maka beban ibu Ratija akan ringan dalam mengurus Rahman Rahim,
karena hibah android itu, dapat mangasuh si kembar sekaligus menyusuinya.
Ya,
produsen ASI refill itu harus mau
menyediakan seorang androiid untuk
meringankan kerepotan ibu Ratija. Jadi Ibu Ratija tak akan sakit dan kelelahan
lagi.
Oke
jadi seperti apa proposal provokasi itu? Proposal yang akan membuat rekanan
tidak akan menolak keinginan kami. Seharusnya Kamila telah mengirimkan contoh
proposal rayuan itu kemarin. Tapi
kita sekarang tahu kan ,
seperti apa Kamila itu?
Aku
harus bisa mandiri! Tunjukan bahwa kamu bisa! Jangan buat malu pak Jan. kalo
bisa buat pak Jan jatuh hati karena proposal provokasi itu.
Kamu
pikir mustahil? Aku kira ‘keyakinan doa kita, doa ibu Ratija, dan usaha, cukup
menjadi kombinasi keberuntungan’. Aku bersemangat di tengah badai pasir otakku
yang tak jua mencetuskan inspirasi apapun.
Proposal
provokasi itu apa? Proposal yang membuat pak Jan takluk padaku. Ya Tuhan,
ijinkan hati ini diisi oleh selain dariMu.
“Qon,
ada orang cari kamu.” Kamila muncul diatas dinding pemisah meja kami. Melihat Kamila tiba-tiba muncul
dibelakangku, aku segera mematikan dan keluar dari komputerku. Aku tak ingin
lagi kecuriaan ide hanya gara-gara lupa log
out dari komputerku. Apalagi aku baru saja mendapat ‘proyek hebat’. Aku tak
boleh terkena sabotase. Kita harus
selalu waspada bukan?
“Siapa?”
“Entahlah,
orangnya semacam kamulah. Kampungan.”
Suara Kamila kini terdengar lebih natural. Sinis, mengejek.
“Oh,
itu mungkin...” aku cepat menutup mulut. Itu pasti Wanda, gadis suruhan ibu Ratija. Kalau dibilang kampungan,
Wanda lebih nampak norak dan kumuh dibandingkan aku. Maklum, sejak kecil dia
lebih merana dan tak terurus dibanding aku dan adik-adikku. Ibu pasti mengirimi
aku baju, agar aku tak pulang sementara ke rumah.
***
Saat pintu lift terbuka, mataku
langsung menangkap sosok Wanda yang berdiri lusuh di tengah interior modern dan
mewah, Lobi kantor.
“Qon!”
wajahnya terlihat cerah melihatku berlari ke arahnya.
“Bagaimana
ibu Ratija dan anak-anak?” aku langsung menggandengnya untuk duduk di tempat
yang tersembunyi. Bukan karena aku malu orang selusuh Wanda menemuiku, tapi
karena aku merasa tak enak dia datang di jam sibukku. Begitu kami duduk,
kukeluarkan 2 kotak jus buah. Tanpa ditawarkan, dengan cepat Wanda langsung
menyambarnya, satu.
“Mereka
mengkhawatirkanmu. Orang-orang membicarakanmu. Sebenarnya ada apa Qon?”
tanyanya sambil menyeruput minumannya. Wanda mulai berkecap-kecap kenikmatan.
“Menurutku kau belum aman untuk
pulang. Orang-orang pun bilang begitu. Jika kau pulang beberapa rumah susun di sana terancam kacau lagi.”
Katanya diselang seruputan lagi.
“Wah
Seserius itu? Bagaimana mungkin?”
“Aku
tak tahu, sepenting apa dirimu, hingga kau dicari para preman dari
kelompok bertatto Kupu-kupu. Beberapa rumah dimasuki preman bertatto Kupu-kupu.
Keadaan menjadi mencekam.”
“Oh?
Preman bertatto Kupu-kupu? Apa hubungannya denganku?”
“Itu
yang ingin aku tanyakan, bodoh!” katanya dengan mata melotot padaku seolah aku
telah berbuat salah padanya.
“Aku
tak tahu apa salahku, Wanda.”
“Carilah
jawabnya! Agar kami tahu! Oke? aku tak bisa lama. Hmm kata ibu Ratija, aku bisa
minta ongkos ‘kurir’nya padamu. “ Wanda tersenyum kaku. Haha, mana mungkin
mengharapkan sahutannya seperti ini: ‘Cari
jawabnya, agar kami tahu cara menolongmu!’
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar