PUTRI.
7
MENARA PERSEMBUNYIAN
Seperti dugaanku, apartemen pak
Jan terletak di pinggiran kota .
Daerah ekslusif. Wilayah seperti ini pasti memiliki system keamanan tingkat tinggi. Tampilan
apartemennya pun dibuat unik. Apartemen pak Jan adalah gedung bertingkat yang
menyerupai telur yang lonjong.
Aku diam saja mengikuti langkah pak Jan dari belakang. Isi kepalaku masih
bergerak panik tak karuan. Kukira jika benar isi kepalaku ‘hanya’ pasir,
berarti, kini sedang terjadi badai pasir di dalamnya.
Buk!
“Ma-maaf...” tanpa sengaja aku menabrak
punggung pak Jan. Ini pasti karena aku melamun. Pak Jan berbalik. Wajahnya tersenyum maklum. Dia mungkin tahu
kepalaku sedang dilanda badai pasir.
Pak Jan menapakan telapak
tangannya pada logam yang terletak disamping pintu. Pintu bergeser secara otomatis.
“Ini apartemen saya. Kau bisa pakai kamar tamu ini untuk sementara.” Katanya berjalan sambil menunjukan kamar
untukku.
Belum selesai aku tercengang
dengan tempatnya yang ‘hebat’, kini aku memasuki kamar tamu. Tempat aku akan
menginap. Sebuah kamar berukuran 4m x 4m.
Pak Jan memijit dinding untuk
membentangkan tempat tidur secara otomatis. Wah, sungguh berbeda dengan tempat
tidur di kamarku, yang harus ditarik dari dinding dengan sekuat tenaga.
“Jika kau ingin membersihkan
dirimu, kau bisa menggunakan ini, ini. Silahkan.” Pak Jan menunjukan kamar
mandi dan lemari penyimpanan.
Wah! Kamar mandi di dalam kamar!
Dengan lemari handuk! Dengan bau harum! Berbeda sekali dengan di apartemen
kami. Kamar mandi sempit untuk memandikan 2-3 anak sekaligus, dibawah pancuran
air yang selalu membuat berdebar-debar, takut alirannya mati tiba-tiba.
Aku begitu takjub melihat
kemewahan yang sangat modern. Sempat aku intip selintas wajah bodohku di cermin
kamar mandi. Oh, kuatur lagi wajahku. Aku harus ingat, aku ada di dekat pak
Jan.
Jangan kampungan, jangan
memalukan.
Aku buka airnya. Dingin. Hangat.
Harum. Oh-oh! Air di jam sepuluh malam! Aku langsung menyipratkan air di
wajahku.
“Terima kasih Tuhan.”
***
Bip. Penyerentaku berbunyi. Ku lihat penghubungku. Pasti Ibu Ratija. Ya
memang siapa lagi yang akan menghubungiku malam-malam. Siapa lagi yang akan
mengkhawatirkan aku, selain dia?
“Qonita?”
Suaranya berbisik. Dia pasti menjaga
peristiwa ini dari anak-anak agar mereka tak khawatir.
“Ibu,
aku baik-baik saja. Bosku kebetulan lewat, dan dia membawaku lari. Sekarang aku
di rumahnya. Aman. Ibu jangan khawatir.”
“Apa?”
Oh kenapa aku sampai lupa bila
ibu Ratija kadang-kadang pendengarannya
kurang? Belum lagi akibat gangguan sinyal.
“Di rumah bosku.” Teriakku di depan
penyerenta.
“Haaa?
Bosmu? Apa dia sudah berkeluarga?” Tanya bu Ratija diseberang sana ,
“Tidak
tahu.” Semoga saja dia masih lajang! Tuhan oh Tuhan! Spontan saja batinku
menggemakan doa.
“Apa?”
Tanya bu Ratija tak percaya.
“Dia
tinggal dengan ‘Boy’nya!”
“Apa!
Dia di sana
sendiri?”
Aku
mulai mendengar kekhawatiran lain. Ada
nada cemas dari pita suara berumur bu Ratija.
“Qonitaaaa...
kau tahu artinya? Di tempat asing? hanya berdua dengan lawan jenis?”
“Ya!
ibu tak usah khawatir! Ada
Boynya! Justru dia yang harusnya khawatir! karena mengundangku menginap!...
hehehehe.”
“Qonita...!”
Disaat
yang sama aku lihat pantulan pak Jan di cermin.
Hah? Apakah dia mendengar pembicaraan kami? Yah tentu saja dia pasti
mendengar. Dengan jelas, karena aku melakukan dialog dengan berteriak, serta
pintu kamar yang belum aku tutup.
Pak
Jan tersenyum geli padaku. Amboy manisnya. Tapi, apa dia kini dia baru sadar dan mulai melihat
aku sebagai ancaman? Dengan perlahan pintu kamar kututup.
“Qonita...?
baiklah kalau begitu, ibu percaya padamu, tapi kau janji harus menjaga kepercayaan itu. Jangan pulang,
sebelum semuanya tenang.”
“Lho, ibu gimana sih? Katanya
tadi cemas aku menginap di sini? Tapi sekarang melarangku pulang?”
“Besok
biar aku minta tolong tetangga untuk mengantarkan baju gantinya ke kantormu.
Ingat, jangan pulang! Keadaan semalam
sungguh kacau. Hingga aku tak berani menghubungimu. ” suara bu Ratija
meralih melirih.
“Ya
ibu! ibu harus hati-hati juga!” Ah tahukah dia, bahwa aku sedang menjadi incaran
penculik?
“Tidak,
kau yang harus hati-hati. Waspadalah selalu. Terutama dengan bosmu itu.”
“Ya.”
“Apa?”
seperti biasanya, dia mengulang dengan pertanyaan, agar aku tidak salah paham
atau mengerti.
“Aku
akan berhati-hati dengan bosku!” astaga, aku teriak lagi.
Penyerentaku
hening.
****
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar