PUTRI.
13.
SANG BINTANG JATUH
Ini bukan tentang rasa yang hidup
dari mati.
Dua minggu sudah aku keluar dari rumah sakit,
akupun kembali pada rutinitasku.
Pekerjaanku. Setiap pulang dan pergi, Boy akan mengantarku. Tentu saja aku tak
berani memamerkan kemewahan bermobil dengan supir android itu. Terkadang kami,
aku dan pak Jan bisa bersamaan, tergantung dari jadwal kami.
Selama tinggal di rumah tumpangan, apartemen pak Jan, tak ada seorangpun yang tahu aku di sana , selain ibu Ratija,
dan Wanda. Untungnya pak Jan jarang menerima tamu di Apartemennya. Coba
bayangkan bila orang bergantian datang, seperti di apartemen kumuh kami. Orang
yang datang mungkin akan menanyakan ‘siapa
aku’, atau bila tidak, mungkin akan menyangka aku ‘simpanannya’, karena tak mungkin menyangka aku pembantunya,
bukankah sudah ada Boy yang merangkap perannya?
Sebagai
anak baru, tentu saja aku harus menjaga citra di depan teman-teman kantor yang
lain. Aku ingin menunjukan bahwa aku mampu. Keuntunganku banyak waktu bersama
dengan pak Jan adalah beajar atau
diskusi singkatnya tentang seluk beluk periklanan.
Atas
bimbingan pak Jan pulalah, aku beberapa kali mendapat pujian dari bu Kim.
Lambat laun pasir diotakku bekerja normal, dilusi optik tentang lidah api bu
Kim, tanpa kusadari hilang dengan sendirinya. Yah otakku memang butuh dilatih
bekerja lebih sinergis.
Menurut bu Kim aku harus mencoba
membuat lima
proposal proyek sekaligus untuk diajukan ke kantor pusat. Besar kemungkinan,
ide tentang pencitraan ‘industri berniat
baik’ akan diterima baik. Bagian pemasaran, mungkin tidak suka menerima ide
–mustahil- ini.
Memang kelihatannya seperti
proyek ambisius buat anak bawang sekelasku, proyek ini seperti ‘mustahil’.
Mendengar tantangan dari bu Kim saja,
pasir diotakku langsung kalut, antara bangga dan bingung.
Lalu angin ribut menari-nari di
seputar meja kerjaku. Pasir diotakku –seperti biasa- tak dapat membedakan
antara sindiran dan sanjungan atau jilatan bahkan ancaman. Semacam inilah
keributan itu, diributkan dengan suara sengaja keras.
“Hah? Anak bawang ini? 5 proyek?
Dan kita yang harus membantunya?”
“Ah anak bawang ini telah
bermetamorfosis menjadi anak EMAS!”
“Wow, 5 proyek? Taruhan, di
minggu ke dua, kepalamu yang berjilbab itu akan ganti dengan penutup perban,
karena otakmu –me-le-dak-!”
“Anjrit! Gila! Mimpi apakah?”
“Sssssttt... kamu pake susuk?”
“Bolehlah nona ciprat dikit
rezeki dan berkah yang nona dapat untuk ane?”
“Aku mencium bau busuk.”
“Aku mencium bau uang.”
“Aku ingin menciummu!”
Tapi aku hanya diam saja.
Sebagai anak bawang, aku harus tahu
diri, harus jaga diri, dan jaga lidah
dari keparahan kerusakan persepsi yang sedang terjadi.
Dari semua celoteh angin ribut
diseputar mejaku, kamu bisa menebak bukan yang mana suara Kamila? Lupakan
Kamila! bicara tentang dia hanya buang-buang waktu energi dan perasaan saja.
Ingat kata ibu Ratija:
Tinggalkan
yang sia-sia, kerjakan yang penting!
Jadi dua minggu ini aku lakukan riset pasar,
melalui internet. Untungnya ditengah kesibukan itu, Ibu Ratija melalui saluran
jarak jauh, mengingatkan aku untuk selalu
sholat tahajud. Dia bilang, sholat tahajud, adalah kunci segala masuknya
energi positif. Aku percaya itu. Karena
selama sholat segala inspirasiku datang menggodaku bertubi-tubi.
Jelas bukan? Aku tidak munafik,
bicara sebagai pelaku sholat tahajud yang khusu. Yang jelas, setidaknya dalam
11 rokaat itu, aku menemui Tuhanku, aku merasakan Tuhan menciprati ilham di
malam-malam seperti itu.
Aku anggap inilah hasil tanya
jawabku dengan Tuhan.
Tapi apakah ‘tinggal/numpang’
termasuk rutinitas? Yah tentu saja. Anggap saja begitu, karena dua minggu ini aku beralih tugas dari dapur rumah ibu
Ratija, ke dapur mewah pak Jan.
Aku memasak untuk pagi dan malam.
Semula pak Jan mengusulkan untuk makan di luar. Tapi aku beri pertimbangan
bahwa makan di rumah lebih irit, aman,
sehat, pak Jan mau menurutiku.
Aman dari gosip. Dan dari
Kelompok Kupu-kupu yang konon masih berkeliaran di perumahanku, entah kenapa.
Tentang Kelompok Kupu-Kupu, aku curiga, merekalah yang menculikku,
kemarin. Tapi aku jadi ragu. Karena bila benar mereka yang menculik aku
kemarin, pasti mereka sudah berhenti mencariku. Dan berkeliaran di sekitar
rumah ibu Ratija. Memangnya apa lagi yang mereka cari?
Sembilan adik-adikku? Ah tidak!
Jadi karena kekhawatiran ini aku sering menghubungi Ibu Ratija. Aku bisa
melihat Ke sembilan adikku bergantian nongol di monitor komputerku. Mereka
terlihat baik-baik saja.
Ibu Ratija bilang, ‘Tuhan telah mengaturnya, saat kau pergi, seorang manusia buatan datang menyusup dan tinggal secara ilegal di
rumah kami. Dia datang beberapa saat
setelah aku pergi. Hebatnya manusia buatan
ini mampu belajar dan berlatih dengan cepat
Walaupun
tidak ‘sehebat’ diriku, dia bisa
menggantikan aku dalam mengajari anak-anak dan pekerjaan rumah yang lain.
Bahkan ibu Ratija bilang, dia bisa diandalkan untuk menjaga keamanan kami. Dia
bisa menyamar, dan menghindar dari para tukang palak kupon air dan listrik.
Sepertinya kehidupan rumah ibu Ratija semakin baik sepeninggalku.
Ingin sekali Aku mengenal manusia buatan ini. Ingin aku ucapkan banyak terima kasih
untuknya. Tapi kata bu Ratija dia belum siap bertemu denganku. Menurut bu
Ratija dia begitu malu dengan penampilannya yang buruk rupa. Sekalipun bu
Ratija menerangkan bahwa aku tak pernah mempedulikan diua buruk rupa atau
tidak. Kupikir aku ingin sekali-kali berkunjung ke sana . Tapi itu tidak mungkin, menururt bu
Ratija gang Kupu-kupu semakin rajin
patroli. Jadi sampai hari ini aku belum melihat kakak Mansis yang menjadi
pahlawan rumah kami itu. Mungkin Tuhan menginginkannya begitu.
***
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar