Putri. 9
SANG BINTANG
Riuh rendah suara kacau yang berseliweran di kepalaku berhenti. Seperti biasa, aku mengalami serangan dilusi. Suara ribut itu hilang begitu aku membaca email pertamaku dari Kamila. CC pak Jan dan bu Kim pula.
Ini baru NYATA:
‘Tolong konsep iklannya dikirim ke bos besar. SEKARANG!’
Senyata degup jantungku. Kamila
ini bagaimana? Katanya konsep detilnya besok. Sekalian membicarakan masalah
audisi.
Belum
sempat aku mengetik sehurufpun, pintu ruang bu Kim terbuka.
“Rapat
sodara-sodara, untuk tim produksi, lima
menit lagi.ada perkembangan baru dari bos besar. Jangan telat!” Terdengar suara
bu Kim menggema di ruangan. Memecah alunan musik terapi.
Teman-teman
dari grupku segera beranjak dari mejanya, membawa note booknya masing-masing.
Aku memandang pergerakan yang cepat itu. Pergerakan yang tak ingin menungguku.
As-ta-ga.
Rapat
dimana konsep detilku akan dijadikan bahan?
No-n-no-n-no.
mati aku.
Tuhan,
sebenarnya Kau siapkan berapa kali keberuntungan untukku di kantor ini? Kulirik
Kamila yang memasang wajah datar. Dia
pasti tahu aku grogi.
“Oke,
kita langsung saja. Qon, ada yang akan kau sampaikan tentang konsep detil iklan
ASI refill kemarin?” Tanya pak Rudi. Seniorku di grup. Ruang rapat ini
sepertinya menjadi ruang eksekusi bagiku. Aku seolah duduk di kursi listrik
yang siap kapan saja menerima ribuan watt daya untuk membuat aku mati.
Aku
menggeleng lemas. Ya, aku akan dipecat. Karena seisi kantor ini seudah tahu
bahwa akulah yang ditugasi membuat detil konsepnya.
“Hallo,
selamat pagi semua.” Pak Jan tersenyum.
“Kita
akan ajukan bayi kembar dari rumah yatim piatu sebagai modelnya. Kita akan
‘menodong’ rekanan kita untuk melakukan uji coba lapangan terhadap bayi itu.”
Suara pak Jan terdengar bergairah. Dia membuka rapat ini begitu saja? Dia
melihat ke arahku.
Ah jangan-jangan aku salah
mendengar. Aku harus tahu diri, karena otak pasirku sering membuat aku terkecoh
dengan dunia nyata. Pak Jan pasti sedang berusaha memancing ideku.
“Apa tidak terlalu berlebihan? dan
maaf sebenarnya, bukankah ini semestinya pekerjaan tim produksi? Bukankah
banyak pekerjaan bapak yang lebih besar lagi yang harus bapak tangani? Bukan
bergabung dengan tim produksi?” suara bu Kim pun terdengar bimbang.
“Yah, anggap saja aku hanya ‘mampir’
di tim ini.” Jawab pak Jan tenang.
“Bagaimana kami menjelaskan pada
rekanan, pak?” Tanya pak Rudi mengulang.
“Meminta android untuk ‘anak yang tak jelas asal usulnya’?”
tanya Kamila sambil melirikku. Aku tahu apa maksudnya, tapi aku sudah kebal dengan topik ‘tak jelas asal-usul’ini.
“Jika rekanan diminta seperti itu, kita bisa
kalah dengan pesaing kita yang bisa menekan biaya produksi.” Pak Rudi terdengar
pesimis.
“Apa tidak merusak citra produk? ASI refill
‘hanya’ cocok untuk anak haram.” Kamila masih tetap dengan pendapatnya. Aku
tahu siapa yang dimaksud ‘anak haram’
itu. Aku semakin tahu, bahwa dia tidak suka padaku, entah kenapa.
Sangat
berbeda dengan sebulan lalu, saat aku baru bergabung di sini.
“Tidak, jangan khawatir, sesuai
dengan semboyan kita yang baru, yaitu ‘memberikan citra kebaikan dengan
kebaikan’.” Bu Kim menengok kearah pak Jan dengan ragu. Aku lihat dahi lebar bu
Kim memantulkan sinar lampu. Bisa jadi otak bekunya mencair gara-gara sorotan
sinar ini. Dia sepertinya menangkap wangsit.
“Wow!” Anita berdecak setuju.
“Keren!” Maria menepukan tangan.
Seputar meja bergairah. Pak Jan
tersenyum puas.
“Kita tidak perlu audisi, Qonita
akan menerangkan detilnya –sekarang-.” Pak Jan melihat ke arahku.
Alamak! Kenapa harus sekarang? Di
meja ini pula?
Oh wangsit turunlah!
Turunlah....! doa panik pun menghujan
otak pasirku.
“Tunjukan saja si kembar yang ada
dirumahmu!” pinta pak Jan. Oh! Aku mengerti, dia pasti memancing inspirasiku.
Aku lalu meletakan telpon
genggamku di meja setelah mengatur tabel
menunya. Mengarahkan sinarnya dari atas meja. Hingga seputar meja ini bisa
melihat proyeksi tiga dimensi dari telpon genggam mungilku.
Video si kembar Rahman Rahim. Adegan waktu
mereka baru tiba, tangis pertama mereka di rumah kami yang heboh, keseharian
mereka. Mandi dan berguling-guling. Berganti-ganti pengasuh. Gigi pertama...
Ah baru semalam aku meninggalkan
mereka, tapi aku begitu kangen.
“Aiiih, lucu sekali.” Anita
terlihat gemas.
Aku tersenyum bangga.
“Orang tua gila mana yang tega membuang anak selucu setampan itu?”
Maria menyahuti dari seberang.
“Siapa tahu bila melihat anak
mereka menjadi bintang iklan, mereka akan datang mengambil lagi.” Gumam bu Kim.
“Bisakah kita menjadi agen
langsung bayi kembarnya, Qon?” Tanya pak Rudi bergairah. “Pasti itu lebih
menguntungkan.”
“Ya, bisa buat iklan makanan
bayi, kosmetik bayi, popok bayi, mainan bayi.” Tambah Maria sambil
bertepuk-tepuk tangan tanda dia dalam keadaan semangat.
Deg! Betul juga, iklan ini akan
membuat orang tuanya mengambil dia. Atau menarik perhatian orang untuk
mengadopsinya? Lalu rumah kami tak kan
seceria waktu ada bayi kembar ini. Haruskah aku bersyukur jika itu terjadi?
“Ok, cukup-cukup... jadi mau kita
apakan bayi ini?” tanya Kamila mulai dengan nada sumbang.
Oh wangsit! Turunlah! taburkan
pasir dikepalaku ini dengan semesta inspirasi. “Qon?”
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar