PANGERAN. 6
OPERASI
Oh, ayolah bicara, aku sangat
penasaran! Aku tahu kau bisa bicara. Dan kau mengerti semua yang aku bicarakan.
Katanya terlihat gemas. Seperti biasa, bila para ilmuwan –pemula- melihatku.
Beraninya
dia memegang rahangku, lalu membuka-menutupkan rahangku dengan paksa, seolah
aku ikan mati yang sedang ia mainkan.
Oh,
mimpiku tadi indah sekali dok. katanya lalu terkikik sendiri. Dia bicara, aku
tahu maksudnya dia pura-pura menjadi diriku.
Tak
ada hal lucu yang bisa membuatku ikut terkikik.
Yang aku rasakan adalah rasa malu, karena aku terbaring telanjang. Malu
dan marah. Jahatnya mereka memperlakukanku seperti –ikan mati-.
Lalu
aku mulai gatal. Tuhan kenapa kau beri aku perasaan untuk sakit hati, marah,
dan malu, yang hanya membuatku ingin mengelupas.
O-oooo..
Orang itu mengambil kepingan sisikku. Dia terlihat cemas. Sebentar lagi dia mungkin panik.
Aku
akan mengkelupas bodoh! Dasar ‘pemula’. Ingin kuteriakan suaraku. Tapi aku
tidak bisa. Aku belum mampu untuk bicara, aku masih dalam tahap pengajaran
bicara. Terapi bicara. Olah lidah. Atau apalah namanya.
Bagaimana
dia? Sudah sadar? tanya yang lain mendekati kami.
Tanganku
yang terikat oleh juluran tali ranjang, mulai dapat mengepal menahan gatal dan
sakit.
Ya.
Dia juga akan mengelupas. Kata si sok tahu itu.
Orang-orang masih saja ribut.
Gigiku
gemelutuk, gemas tanpa daya.
Kenapa?
Tanya temannya.
Yang lain bingung. Seandaynya di
sini ada dokter Rut.
Bola
mataku bergerak, kuliarkan pandangan mataku.
Penuh amarah.
Pengaruh
obatkah? kata Si Sok Tahu.
Aku
tak tahan lagi. Mereka bicara riuh rendah mendiskusikan topik yang aku tak
ingin memikirkannya.
Cepat
pindahkan dia ! sebelum kekuatannya pulih dan mengamuk! Ku dengar perintah
seseorang dari pengeras suara.
Mereka
pasti sudah hapal dengan semua gejala mengelupasku ini.
Tenang,
kau lupa, obat biusnya cukup membuat dia mati rasa sampai sore nanti. Si Sok
Tahu menepuk-nepuk dadaku.
Ha,
efek obat sampai sore?
Bagus! Eh, efek itu sama dengan
-pengaruh- kan ?
Suntikan
saja obat penenang! Perintah yang lain.
Obat
penenang? Mereka takut aku marah?
Oke!
Jawab si Sok Tahu.
Dia membuka besi yang
menyelubungi lenganku.
Mohon
perhatian, doktor Roro, doktor Aziz, doktor Rataya ditunggu di ruang intensif,
segera! Perhatian-perhatian...- kata suara seseorang yang menggema di
mana-mana.
Ketiga orang yang bersiyap mengerjaiku, saling
berpandangan, lalu bergegas meninggalkanku. Begitu saja. Seolah aku tak penting
lagi.
Aku melihat mereka memijitkan
beberapa nomor sandi di pintunya. Dengan mataku, aku coba menyimpannya di kepalaku.
Tapi gagal. Kata dokter Rut,
penyakit lupa ini karena otaku belum
berkembang maksimal.
Dan
syukurlah mereka lupa mengunci lagi besi
pengikat lenganku. Jadi seperti yang kmu
duga, aku dapat dengan leluasa membuka
kunci pengikat lenganku kiriku yang terhubung dengan tempat tidur. Lalu
selanjutnya kaki kiri, kaki kanan.
Lalu
aku lari menuju pintu. Aku harus mengetikan kode yang mereka ketik. Ah,
bagaimana ini? Mungkin cara mencium bekas jari mereka bisa membantuku. Bagus,
dokter Rut telah membuat penciumanku bekerja melebihi para manusia pada
umumnya. Penciuman ini dapat memncium jejak pijitan jari mereka di atas
tombol-tombol kunci pintu pengaman ini.
Ya,
bau ini kata dokter Root, kimia yang mengandung alkohol. Kmu jangan tanya apa
itu kimia dan alkohol ya.
Kini terbukalah pintunya.
Inilah
kesempatan itu!
Kulalui
lorong berlari mengendap, menghindari kamera pengintai yang telah aku hapal
setiap aku lalui selama belasan tahun.
Sialnya,
aku hanya hapal jalan menuju Hutan Buwatan. Aku harus melangkah ke mana?
Terdengar suara orang bercakap-cakap di ujung gang. Kucari seswatu yang dapat
menyembunyikan tubuh telanjangku.
Itu dia, tumpukan kain yang baru
keluar dari tempat cucian.
Aku
menyelinap kedalam tumpukan kainnya.
Lama
aku menunggu. Menahan segala rasa, karena dorongan untuk mengelupas yang
semakin memuncak, dan pasti karena obat bius itu. Aku harus mengelupas
sekarang, jika tidak, semuanya akan kacow. Kuremas kain dengan kuat. Ototku
terasa –mengeras-. Lalu Segala persendiannku ngilu.
Lalu
aku mengelupas. Menggugurkan semua kesakitan dan kegelisahan mendadak. Nyeriku
yang tak seorangpun dapat merasakannya.
Lalu
aku begitu lemas. Lalu kurasakan
kehangatan darah mengaliri tubuhku. Mungkin kini giliran obat bius itu yang
bekerja. Sebenarnya tanpa obat bius pun, setiap selesai mengkelupas, aku pasti
merasa lemas, maka yang kulalukan adalah tidur.
Kurasakan
gerobak tempatku bersembunyi bergerak. Tapi aku sudah lelah untuk waspada.
Apalagi samar aku temukan gadis itu lagi. Si pesek, nonong, hitam manis, dan
mata yang indah. Mahluk istimewaku.
Jangan
tidur... jangan tidur... ini nyata...
Tapi
aku tak kuat lagi.
***
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar