PUTRI. 3.
SANG BOLA BEKEL
“Gambar pertama, seorang bayi menyusu pada seorang ibu yang
gelisah memikirkan kesulitan hidup. Dia, ibu biologis, tapi hati dan pikirannya
disandera oleh dunia. Kita gambarkan otaknya dengan isi gaya hidup, uang, fesyen, pesta gila atau
pekerjaan gilanya yang lain yang bersifat matrealistis.”
Semua diam, menatapku, aneh,
seolah mereka menemukan diriku yang lain:
Qonita si otak ‘berdenyut’.
“Kamu sadar? Bukan citra kasih sayang yang kau tampilkan, tapi
kita akan dihujani kritik sebagai iklan ‘batu
bata’.” Bu Kim menggigit bibirnya, dia pasti mulai mempertimbangkan ideku.
“Qonita masih seorang gadis bos,
dia tak tahu rasanya jadi seorang ibu.” Suara tenang Kamila, seperti membantu,
tapi aku tahu maksudnya. Menurutnya, aku sama sekali tidak kompeten!
“Hah!” suara keras pak Rudi,
terdengar lagi.
Seputar meja gelisah. Sistem
pertahananku bergerak, waspada. Siapa tahu di ujung meja ini ada semburan api
dari mulut besar bu Kim.
“Teman-teman, biarkan dia
menyelesaikan penjelasan konsepnya!” Kamila tersenyum. Kini aku sadar, dia
sengaja melakukannya, seolah-olah memberiku kesempatan, seolah-olah dia
mendukungku, dengan menarikku ke dalam timnya. Nyatanya dia akan ‘membantingku’
kini.
Kalau itu tujuannya, akan
kupastikan, dia akan gagal. Karena aku ingat pesan ibu Ratija yang rajin
diulang-ulang sejak aku kanak-kanak. Pesan yang selalu ia berikan pada
tujuh adikku, kala mereka pulang,
menangis karena di dera hinaan sebagai anak-anak cacat dari rumah yatim piatu,
tepatnya rumah buangan.
‘Sabarlah,
anggap saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan jatuhnya yang
penting tapi pantulannya yang penting. Semakin dibanting, kau akan semakin
melambung, karena Tuhan meninggikan derajatmu, tapi itu terjadi jika kau ikhlas.’
Aku harus membuktikannya! Bahwa
aku si bola bekel!
“Gambar ke dua, anak sapi yang bahagia dalam dekapan
ibunya, karena keduanya saling ikhlas.
“Gambar ke tiga, Sapi yang
menyusui bayi manusia. Keduanya setengah ikhlas. Merasa, adegan itu bukan takdir
mereka.
“Gambar ke empat, seorang
android, yang dilengkapi dengan sistem penyediaan ASI hygienis, penuh nutrisi,
kehangatan pelukan, dan dimasukan dikolom pojok pemandangan ibu biologis yang
‘hebat’ di luar rumah.”
Ah! gambar ke empat membuatku kacau. Aku sendiri
aneh, entah darimana ide ini.
Tuhan, maafkan aku, sepertinya
aku menghianati takdirMu tentang penciptaan ibu. Tapi aku sendiri tak mengerti,
sepenting apakah ibu biologis itu? Karena aku hidup di tengah
ketidakberuntungan anak-anak yang ditinggalkan ibu biologisnya.
Aku melihat tatapan seputar meja
semakin aneh. Menatapku seolah aku manusia
buatan atau android versi terbaru di
dunia ini.
“Hhhhmmm... gi-gimana
sodara-sadara?” suaraku gugup terbata.
Mereka hanya diam.
“Bravo!” tak kusangka si suara
berat, pak Rudi, memecah keheningan.
Aku menunggu reaksi di ujung
meja. Bu Kim. Akan menjulur lidah apikah? Atau saweran kembang yang akan
terlontar dari mulutnya?
Yang lain terburu merespon ide
spontanku dengan memukul-mukul meja. Tanda salut yang berlebih. Kurasa mungkin
seperti inilah rapat para bar-bar itu.
“Jadi? Jadi? Kalian suka?
Bagaimana mungkin?” Kamila terlihat kaget
melihat respon ramai yang menyambutku di seputar meja.
“Ke empat konsep ini kita
tampilkan bersama. Jadi bukan kita mengarahkan penggunaan isi ulang ASI buatan ke dalam kantung android,
tapi –setidaknya- kita memberi kesempatan pada mereka, calon konsumen, untuk memilih.” Mendapat respon positif,
suaraku mengalir bak air sungai tanpa hambatan.
“Kenapa? Itu bukan iklan! Dan kita
tidak membuat iklan layanan masyarakat!” Kamila mulai terdengar berusaha menyudutkan.
“Tanggung jawab moral.” Jawabku.
Kurasakan pelukan ibu Ratija dalam bayanganku.
“Ha?” Kamila melirikku sinis.
“Jadi kau biarkan pasar ‘bermoral’, dan melihat iklan ini, lalu
produk ASI isi ulang tak laku?”
Pertanyaan Kamila disambut pukulan meja para senior lain. Respon absurd dari
para seniman iklan.
“Setidaknya dengan menampilkan
fakta yang ada, ini membuat kita, saya,
tidak merasa bersalah karena menghianati takdir sebagaimana Tuhan ciptakan
rahim pada seorang perempuan. Dan sepasang payudara untuk menyusui bayinya.”
Kataku dengan senyum ke arah Kamila. Senyumku tulus, senyum merasa menang atas
dirinya. Tepukan para senior di atas meja seperti genderang perang yang
menguatkan hati di medan
peperangan.
“Taik kucing.” Cetus Kamila,
tepat saat tepukan meja berhenti.
Membuat para senior menengok ke
arah Kamila. Kamila si wanita cantik lemah lembut, berkelas, santun dan anggun, bisa bicara seperti ‘itu’. Apa katanya? Taik kucing! Oh...
Kamila menutup mulutnya. Tapi
sudah terlambat.
“Oh?” si lidah api, bu Kim ragu.
Aku merasakan api di mulutnya meredup. Entah tersumpal kata ‘taik kucing’, atau terpesona oleh
paparan singkatku.
“Ya, bos, bagus juga, adik manis
kita, Qonita, secara tidak langsung menjaga citra perusahaan kita di mata
publik, sebagai pengusaha iklan yang menjaga moral.” Seputar meja mulai
bersuara di pihakku.
“Yee!”
Aku mulai merasakan hembusan angin sejuk.
“Tugas kita adalah mengenalkan
produk baru.”
“Yee! Bukan menghasut masyarakat
untuk menggunakannya.”
“Tapi para pengguna yang lain
bisa putus dengan kita, karena kita ‘gagal’ membuat produk mereka laku.” Kamila
sepertinya menyiapkan anak panah baru.
“Ya bos, kita harus menjaga hubungan dengan
para pengguna kita yang lain.”
Meja mulai ramai. Semua bicara
tanpa ada yang diam, kecuali aku. Aku melihat si lidah api diujung meja. Dia
mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja,
tanda dia sedang berpikir. Atau sedang
mengipasi api didalam mulutnya.
Aku lihat ujung meja yang lain.
Pak Jan. pemilik kantor ini. Orang
terkaya di meja ini. Dan tentu saja paling tampan. Dia... dia... dia sedang
melihatku. Me-na-tap-KU.
BERSAMBUNG......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar