Rabu, 03 Agustus 2016

TELELOVE 44

PANGERAN. 16

BURON



“Tet!” Bel pintu rumah berbunyi, itu artinya aku akan cepat naik ke kamar atas, lalu diam di sana untuk batas waktu tak menentu. Sampai tamu itu ke luar rumah.
            Dari atas sini aku biasanya mengintai siapa yang datang.
            “Wanda.... kenapa?” ibu Ratija tergopoh-gopoh menyambut gadis tetangga depan kami. Gadis itu, seperti biasanya, tampil lusuh dengan jins belel dan kaos oblongnya, rambutnya tergerai berantakan, di cat hijau lumut, bagian ubun-ubunnya sudah memerah menampakan warna rambut aslinya, ujung rambut terpecah. Kulit bibirnya pecah biru, matanya sembab, berkantung. Tapi semua orang tahu sekalipun ia tampil kumuh, kecantikannya selalu terlihat.
            “Masuklah!”
            Aku bisa mengintip gadis itu langsung memeluk ibu Ratija dan menagis di sana.
            Lalu Wanda menatap para kurcaci yang memadati ruang tamu kami. Para kurcaci itu tertarik dengan kehadiran Wanda. Di  rumah ini, tamu selalu menjadi hal istimewa. Sekalipun cuma seorang tetangga. Ibu Ratija nampaknya mengerti dengan tatapan Wanda seperti itu.
            “Nisa, bisakah kau bawa adik-adikmu untuk bermain ke luar?” Pinta bu Ratija. Perintah itu pasti karena ibu Ratija perlu bicara tanpa ada yang menguping.
            Hal seperti inilah yang menarik bukan?
            Ku intip Nisa menuntun 2 adiknya. Karin juga menuntun dua adiknya. Hanya tinggal Yasmin si android  yang tanpa malu, menyusui Rahman di depan tamu kami.
            “Ada apa?” tanya ibu Ratija, begitu pintu apartemen ini menutup.
            “Aku gagal hamil.” Suara Wanda tertimpa suara tangisnya.
            “Hah?” kadang ibu Ratija memang nampak kurang pendengaran, tapi kukira kali ini ‘hah’nya, karena –dia tidak percaya.
            “Mereka telah membayar uang muka pada ayah.  kamipun telah menandatangani perjanjian. Tapi ayah telah memakainya untuk membayar hutang judinya.” Wanda bicara lirih. Tapi aku si manusia buatan bisa mendengarnya.
            “Astagfirulloh.” Ibu Ratija nampak kaget. “Kamu tidak pernah cerita...”
            “Ingat Ibu pernah cerita pada kami tentang tamu-tamu yang meminta Qonita, pertama untuk membeli sel telurnya, lalu meminta  untuk dapat menyewa rahim Qonita?” Tanya Wanda.
            Aku harus berpikir lebih keras lagi. Ada istilah, dan cerita yang tak kumengerti sama sekali. Memoriku mencoba bergerak cepat. Tapi gagal. Terburu percakapan baru terdengar.
“ Tamu-tamu yang itu? Yang terus datang? Yang terus menghubungi? hingga ibu merasa perlu menghubungi polisi?” bu Ratija semakin bicara lirih.
“Ya, orang-orang misterius itu.” Wanda mengangguk tegas. “ Setelah mereka gagal mendapat restu ibu, tanpa sepengetahuanku, ayahku menemui mereka.”
Hening sejenak. Lalu tangisan Wanda memecah keheningan itu. Membuat Rahim yang terlelap di ranjang bayi terusik. Dengan ‘lembut’ Yasmin mengambilnya dengan satu tangan.
            “Ayah, memaksaku menggantikan Qonita. Tapi sampai hari kemarin, aku belum hamil juga.”
            Ibu Ratija menarik nafas lega. Aku bisa mendengar kata ‘Alhamdulillah’ dari mulutnya. Aku bingung. Sepertinya aku melihat sesuatu yang abstrak di otakku.
            “Ibu, tidakkah ibu lihat ini musibah baru bagi keluarga kami? Ayah akan dijebloskan ke penjara karena hutang, dan aku dijebloskan ke penjara karena menyalahi perjanjiannya.” Wanda menangis lagi.
            “Bersyukurlah, bahwa kau terselamatkan pencampuran darah yang tidak dihalalkan.” Suara ibu Ratija yang tenang tak mampu menghentikan kecemasannya.
            “Apa....? ibu tidak mengerti juga?”
            “Jika kau hamil maka kau akan menanggung banyak penderitaan. Selain fisikmu, jiwamu akan sengsara karena anak dalam rahimmu bukan buah cinta dari habungan yang sah.” Suara bu Ratija tetap tenang. Seperti biasanya.
            “Aku sudah mempertimbangkannya.” Tangisan Wanda mulai reda. Dia bersuara dengan jelas.
            “Darah yang tercampur darimu kepadanya dan sebaliknya penuh keraguan.”
            “Apa maksud ibu?”
            “Dia itu anak siapa nantinya? Anak ibunya yang melahirkan, atau anak ibu yang sel telurnya dan spermanya dipersatukan entah dimana?”
            Oh, masalah Sperma! Dan hamil? Dan sel telur? Karena masalah inilah aku berkesempatan kabur. Jadi masalahku ternyata banyak diderita oleh manusia normal juga?
            “Aku tidak peduli. Jika gadis ‘miskin’ lain bisa melakukannya, kenapa aku tidak.” Wanda berdiri dan bersidekap di depan bu Ratija. Menurutku,  Ini sikap yang tidak sopan.
            Tapi apa hubungannya hamil, sel telur, sprema, dan kemiskinan?
            “Astagfirulloh... kau tidak bisa melakukkannya karena kau tahu segala keraguan, dan fatwa haram di dalamnya.” Bu Ratija menarik Wanda untuk duduk kembali di kursi.
            “Aku tidak peduli.” Wanda tetap berdiri.
            “Astagfirulloh...”
            “Begitu mudahnya ibu mengucap astagfirulloh. Apa jika aku ucapkan astagfirulloh sesering ibu, aku akan terbebas dari kesulitan?”
            Ibu Ratija diam. Dengan lemah dia menggeleng.
            “Rahimmu adalah milikmu, Wanda, bagaimana mungkin Ayahmu membuat  perjanjian tanpa ijin darimu?” Tanya bu Ratija hati-hati.
            “Jika aku tidak mau melakukkannya, maka ayah akan menjual saya ke mucikari di rumah judi tempat dia berhutang.” Wanda membanting tubuhnya di samping bu Ratija. Dia menutup wajahnya dan tubuhnya mulai terguncang. Dia menangis. Lagi.
            “Astagfirulloh..”
            “Jangan istigfar lagi! Buatku Allah tidak ada! Dia tidak pernah menolong sejak aku dilahirkan. Jika ‘Dia’ ada, ‘Dia’ cuma memberi pilihan hidup untuk berbuat dosa. Jadi pelacur atau tempat penyewaan rahim.” Wanda nyaris teriak. Suaranya sarat luapan amarah.
            “Kamu bisa lari bukan? Atau kau bisa menginap atau bersembunyi di sini.”
            Kurasa. Bu Ratija terlalu emosional, dia tidak memperhitungkan aku yang statusnya juga buron.
            “Lari? Ibu mau membantu saya lari? Kemana? Hahahaha... bagaimana saya ikut ibu? Untuk berjalan saja ibu nyaris tidak mampu, bagaimana ibu mau melindungiku?”
            Ibu Ratija mengelus punggung Wanda dengan kasih sayang. Dengan mataku, aku dapat menangkap air matanya menetes.
            Dari tawa pilu, Wanda mengubah suara jiwanya, dia menangis lagi.
            “Mungkin aku akan dijemput para preman rumah bordil. Atau aku dan ayah akan segera melakukan transaksi lain. Menjual organ kami di pasar gelap.”
            “Astagfirulloh.” Bisik ibu Ratija. Sekalipun Wanda tak mendengarnya. Aku bisa, karena aku seorang mansis, mampu melihat detil, dan mampu mendengar suara yang halus.
            “Wanda... malang benar nasibmu...” Ibu Ratija memeluk Wanda. “Aku akan berusaha menyelamatkanmu.”
            “Tak perlu! aku ingin bunuh diri saja.”
            “Tidak, kau akan lari! Tuhan pasti  membantumu. Asal kau yakin!”

            “Jangan sebut-sebut ‘Tuhan’ lagi. Bagiku ‘Tuhan’ tidak ada. Karena ‘Tuhan’ tak pernah mengurus kehidupan kami.”


BERSAMBUNG... 

Tidak ada komentar:

Translator: