Senin, 08 Agustus 2016

TELELOVE 52

PANGERAN. 18
MENUJU MENARA



Seperti inilah malam di kota mepolitan. Lampu-lampu menyala dengan sombong mengambil alih matahari. Papan TV reklame menyala 24 jam. Saat malam tayangan menjadi lebih seronok, dan memaksa siapapun yang melintas dibawahnya untuk melirik. Tak heran bila kecelakaan di persimpangan ini punya catatan yang serius. Sudah lama keberadaan papan TV reklame yang besar dan menonjol ini diprotes, tapi, pajak yang dihasilkan dari sana lebih menggiurkan rupanya.
Sambil membawa Wanda di punggungku, aku rayapi gedung tinggi ini, memutar jalan menuju belakang rumah susun kami. Beberapa kali Wanda menjerit dan berdesis-desis ngeri saat aku harus menyeberangi gedung tinggi menuju gedung tinggi lain.
“Ah, hati-hatilah! Aku masih ingin hidup seribu tahun lagi!” katanya cerewet. Aku tahu itu Cuma perumpamaan. Kini aku sudah pandai, dan tak banyak bertanya lagi.
Kutemui lagi papan TV iklan. Dan Iklan lain yang seronok juga.
            “Kau tahu Yusuf, aku pernah lho jadi model iklan bergerak.” Bisik Wanda di punggungku mengganggu konsentrasiku. Dia pasti tahu mataku tergoda dengan tayangan iklan seronok itu.
            “Iklan apa?” tanyaku sekedar basa-basi.
            “Iklan obat nyamuk.”
            “Yang mana?” iklan obat nyamuk itu banyak sekali, bukan? Aku menurunkan Wanda dari punggungku  begitu kakiku menginjak daratan yang letaknya cukup jauh dari rumah susun kami.
            “Shozhii, aku yang jadi pasien gara-gara digigit nyamuk.” Wanda menyebutkan salah satu merk obat nyamuk terkenal.
            “Hmm.” Aku tahu dia bohong, tapi aku tak mendebatnya. Dia pikir aku tak pernah memperhatikan iklan.  Bagaimana mungkin aku tak memperhatikan iklan, sementara Qonita, gadis yang bekerja di periklanan itu,  membuat aku sangat penasaran.
            Kami menunggu bis di halte, dan naik begitu bis jurusan daerah Qonita tinggal datang. Kuberdirikan kerah jaketku, dan kuturunkan topiku menutupi wajahku. Aku tak ingin penumpang bis ini memandangku sebagai manusia buatan yang aneh.
            “Dari mana asalmu, Yusuf?” Tanya wanda begitu kami duduk di bagian belakang bis. Kuberikan isyarat telunjuk ke bibirku, agar dia mengerti bahwa identitas kami harus kami sembunyikan. Bukankan kami sama-sama pelarian?
            Untunglah Wanda mengerti. “Boleh aku minta nomormu?” dia menyodorkan telpon genggamnya padaku. Ragu aku memberi nomerku. Untuk si tukang bohong ini, perlukah aku memberinya nomerku? Ah, kenapa tidak?
            Ping. Aku melihat tanda smsku dr nomer tak dikenal. Sejak bu Ratija menghadiahkan telpon genggam kepaku hanya 3 nomer di dalamnya. Ibu Ratija, Qonita, dan Karin. Bukankah hanya mereka kenalanku?
            Kubuka pesannya. ‘andai kau setampan namamu, Yusuf, aku tentu sudah jatuh cinta. Kau begitu… perkasa…’ kulirik wanda yang duduk di sampingku. Dia tersenyum sambil mengedipkan mata. Aku mengerti, ini adalah nomer Wanda.
            Ping! Ah dia kirim pesan lagi. ‘jadi dari mana asalmu? Kau lari dari mana?’ tanyanya. Dia pasti sangat penasaran. Kuketikan jawabannya, ‘aku berasal dari Tuhan.’ Kujawab begitu saja. Ini seperti jawaban ibu Ratija jika anak-anak bertanya tentang apapun, yang dia tak bisa menjawabnya dengan pasti.
            ‘huh! Cara jawabmu sudah seperti b Ratija.’ Aku diam saja. Tapi dia kirim SMS berikutnya.
            ‘Kamu pasti berasal dr tempat yang kejam.’ Aku tak menjawabnya. Aku tak akan menjawabnya. Aku harus waspada, dia seorang pembohong, dia dalam keadaan stress, orang semacam ini harus dihindari untuk akrab. Ya aku tahu, bukankah aku sudah pandai?
            ‘Karena tak ada orang yang mampu bertahan lama-lama di tempat bu Ratija, tempat sempit, penuh dengan monster kecil yang selalu menangis, bergerak berbunyi, dan seorang tua yang tak mampu apapun.’ Ketiknya begilu lancar. Tentu saja aku terkejut dengan pandangannya terhadap rumah kami yang hangat penuh dengan kasih saying. Wanda pasti seorang yang kesepian, pesimis atas segala sesuatu. Hingga memandang segala sesuatu dari sisi negative.
            ‘saya dari surga. Dan sedang dihukum dibuang ke dunia.’ Kataku penuh symbol. Yup, hutan buatan itu surga bukan? Bila tak ada  campur tangan para ilmuwan di dalamnya. Dan duniaku yang baru, adalah lading amalku bukan? Aku sudah pandai, bukan?
            “hahahahaha…” tiba-tiba wanda terbahak. Benar, dia sedang stress. Baru beberapa menit lalu dia menangis hingga matanya sembab. Tawanya yang tiba-tiba membuat penumpang lain menoleh kea rah kami.
            Tiba-tiba bis berhenti. Seorang polisi naik bis kami. Dia membisikan sesuatu pada supirnya. Aku bisa melihat, supirnya mengangguk takut. Wanda disampingku langsung duduk gelisah.  Lho, bukannya kita sedang di kejar-kejar gangster,  bukan polisi? Aku semakin bingung melihat wanda menyumpal perutnya dengan tas yang ia bawa.
            Polisi itu semakin dekat berjalan ke arah kami. Tangannya yang memegang kursi di depanku bertatto kupu-kupu. Oh! Kini mengertilah aku kenapa Wanda begitu gelisah. Apalagi polisi itu dengan kurang ajar menarik dagu Wanda untuk memperjelas pengelihatannya.
“Maaf.” Entah dari mana keberanian ini, aku mengenyah tangan polisi gadungan itu.
“Dia istriku, dan dia hamil.” Kataku berbohong, kuelus perut Wanda dengan kaku. Ah aku benar-benar padai berakting.
Polisi itu nampak penasaran dengan wajahku. Aku mencoba menghindari tatapannya dengan menengok ke arah Wanda.
“Ok. Stop pir!” perintahnya seenaknya saja. Tanpa memikirkan larangan bis berhenti di luar halte. Tapi supir bis ini menurutinya begitu saja. Itu pasti karena ketakutannya pada si preman. Polisi gadungan itu turun saat bis berhenti. Dan menepuk bis dengan keras, menyuruh bis ini pergi.
Aku dan Wanda bernafas lega. “Trims Yusuf.” Bisik Wanda masih gemetar. Aku bisa merasakan sisa ketakutannya.
Ping! ‘maaf bila aku kini membahayakan dirimu.’ Bunyi SMS Wanda, membuatku tersenyum. Tanpa dia pun sebenarnya hidupku selalu berbahaya bukan?

***



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: