Selasa, 30 Agustus 2016

TELELOVE 59

PANGERAN. 20
TAMU



Jika seorang penting mati, bisa menjadi sebuah  tragedi
Tapi Jika kami hilang atau mati, kami cuma akan menjadi angka dalam statistik.
 Ratija si ‘bukan siapapun’..


Ibu Ratija kedatangan tamu lagi! Bisa kupastikan mereka itu preman, walaupun penampilannya rapi, tetap saja kepremanan mereka dapat dikenali. Karena mereka memiliki penanda yang sama. Tatto di punggung tangan mereka. Sebagai ciri kelompok mafia tertentu.
            Biasanya mereka memberi tanda tatto, sebagai pengganti kartu anggota seumur hidup. Untuk mendapatkan tatto itu bukan cuma cukup kau mampu berbuat kriminal, membunuh berdarah dingin, cerdik, culas. Tapi juga kau juga harus mampu untuk setia.
Sekali saja orang  menghianati organisasi, itu artinya si  penghianat  dikeluarkan dengan paksa. Sebuah ritual gila akan mereka lakukan sebagai symbol ‘pencopotan’ keanggotaan. Si Penghianat harus mengalami  pemotongan  pergelangan tangan  mereka. Untuk menghilangkan simbol setia yang ada pada tatto itu.
            Itu adalah hukuman yang lebih sengsara, dibandingkan harakiri secara paksa dalam organisasi. Karena dengan lengan tanpa tangan seperti itu, sama saja kau membawa catatan masa lalu yang hitam pekat, kemana pun kau pergi.
            Tanpa lengan itu akan sama dengan memberi tahu polisi bahwa ada penjahat yang ‘mudah ditangkap’ untuk menanggung semua kejahatan gilanya di masa lalu. Dan untuk menjaga keamanan organiasasi, si Penghianat akan dipotong lidahnya, hingga dia tak dapat bicara. Karena bila dia tertangkap, dia dijamin tak akan mampu bicara membocorkan rahasia organisasi pada polisi.
            Tanpa lengan, tak bisa bicara, maka tidak ada orang yang berani menanggung resiko dengan menerimanya bekerja.
            Ekonominya terancam, rumah tangganya hancur, anak-anaknya menderita secara mental lebih berat, lebih dari saat mereka tahu ayahnya anggota mafia.
            Tanpa lengan  adalah bencana dengan efek domino. Maka memilih mati bunuh diri setelah ‘pencopotan’ tatto secara tidak terhormat, nampak menjadi masuk akal.
           
Kekagumanku pada ibu Ratija semakin menggunung. Wanita rapuh itu bisa duduk tenang sambil menggendong Rahman, menghadapi lima orang preman yang mengaduk-ngaduk rumahnya. Sementara  Yasmin si Android –dengan wajah datarnya- menyusui  Rohim.
            Dinda, Mufti, Ilalang ikut  duduk mengelilingi ibu Ratija. Mereka nampak tegang. Sedangkan Karin, Nisa, Ica, Muti berdesak-desakan bersamaku mengintip mereka.
            Seorang preman nampak duduk diam, angkuh, dia pasti kepala regunya. Sementara yang lain bergerak bingung, si kepala regu hanya  berpangku kaki, dan tangannya diatas paha. Hingga aku dapat melihat tattonya.
            Mataku tak salah melihat tattonya. Tatto kupu-kupu. Gambarnya terasa akrab di ingatanku. Oh! Mereka orang-orang yang berhubungan dengan Hutan Buatan!
            Aku ingat beberapa waktu lalu, di hutan buatan,  saat aku diperkenalkan dengan seseorang. Aku menarik tangannya saat bersalaman, karena buatku, tattonya sangat menarik. Seperti kupu-kupu. Deg!
            Tapi di sini mereka mencari Wanda, bukan aku. Yah, mungkin saja, banyak pekerjaan yang harus dilakukan mereka dalam suatu oraganisasi semacam ini. Pekerjaan semacam pesanan rahasia, untuk pekerjaan rahasia, dengan objek rahasia, untuk tujuan rahasia. Semua serba rahasia.
            “Menurut tetangga, kaulah yang paling mungkin menyembunyikannya.”  Terdengar si pemimpin duduk angkuh. Dia bicara tegas, dan tak sopan, karena menyebut bu Ratija dengan panggilan ‘kau’.
            “Jika tuan-tuan tidak percaya, silahkan tuan cari sendiri.” Bu Ratija berdiri membuka pintu kamar yang lain.
            Nisa cepat membuka jendela dan menarik tanganku, memberi kode agar aku segera ke luar. Tanpa kata, aku ikuti saja perintahnya. Ke luar melalui jendela di lantai 8 gedung ini. Merayapi jendela demi jendela. Merayapi balkon demi balkon, menyeberangi atap gedung ke atap gedung yang lain. Hingga berbelok ke sisi gedung  yang lain.
            Lalu diam mematung di sisi balkon sebuah rumah kosong. Nafasku perlahan teratur. Almatsurat terlantun rendah membisiki jiwa.
            Terima kasih Tuhan, telah kau pertemukan aku dengan ibu Ratija, dan menjadikan dia ‘jibril’ bagiku, mewahyukan  almatsurat ini.
            Karenanya, aku bisa menenangkan jiwa, dan aku tidak lagi mengelupas sembarangan! Rupanya di dunia ini ada juga yang  hebat selain dokter Rut.
            Lama aku menunggu, hingga Nisa mengirimkan pesan pada penyerentaku:
Aman. Kembalilah!

***


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: