Rabu, 03 Agustus 2016

TELELOVE 48

PUTRI. 47

JANIN




Pak Jan menarik nafas.
            “Saya juga akan segera keluar dari rumah ini.”  Kataku meluncurkan apa yang kupikirkan selama dua hari ini.
            “Keluar? Kenapa?”  dahi Pak Jan mengkerut.
            “Yah, saya kira kehamilan saya akan membuat mbak Maya salah paham.”
            “Ha, dia? Tak usah kau pikirkan.  Dia wanita bebas. Tak ada hubungannya denganmu.”
            “Lho? Kehamilan saya akan bisa saja mengganggu hubungan bapak dan mbak Maya.”
            “Tak ada ikatan apa-apa.  Jangan khawatirkan kami. Yang sedang susah itu kamu.”
            Jadi benar, mereka cuma ‘sepasang’ nafsu.
            “Saya percaya, dia berada di dalam perutku sebagai anugrah dari Tuhan. Sejak dia ada, bapak tahu sendiri bukan, pekerjaanku lancar, ide-ideku selalu ada saat dibutuhkan, gajiku naik, komisi dari rekanan bertambah, dan aku selalu mendapat pesanan baru.”
            “Jangan bodoh, Qon, kau sudah kerja keras sejak kau bergabung di perusahaanku, dan kau pantas mendapat ganjarannya.”
            “Mungkin bagi bapak seperti itu, tapi saya percaya, Tuhan telah mengatur rezekinya, lewatku, lewat perutku. Dan hal terpenting lain, melakukan pengguguran, pembunuhan, bagi janin yang sama sekali tak tahu kesalahannya apa, adalah dosa besar. Aku tak mau menanggungnya.
            “Jika diberi kesempatan, dan Tuhan mengijinkan, yang ingin aku bunuh adalah orang yang membuat janin ini ada di perutku.”
            “Oh, Qonita...”
            “Jangan khawatir pak, saya akan segera keluar dari rumah ini, sebelum seorangpun mengetahui keadaan saya, terlebih lagi keadaan saya yang sedang  hamil.”
            “Kau...”
            “Nama bapak dan kehidupan bapak akan baik-baik saja, sama seperti sebelum bapak mengenal saya.”
            “Kenapa kau berpikiran aku seperti itu?”
            “Saya –tidak berpikiran atau merasa bapak seperti itu-. Sayalah yang menginginkan –bapak akan baik-baik saja-.”
            “Aku yang menginginkan –kau akan baik-baik saja-!”
            Aku pura-pura tak mendengarnya. Aku tahu, dia serius. Sikapnya  membuatku sedikit merinding.
            “ Uang gaji saya telah naik beberapa kali. Bonus yang kantor berikan kemarin bisa saya pakai untuk menyewa kos-kosan di tempat lain. Pokoknya saya tak ingin merepotkan bapak, lebih banyak lagi.”
            “Kamu lupa Qon,  penculik –penculik itu masih terus mengintaimu.”
            “Gaji dan komisi  saya yang baru sebagai desainer lima proyek  kemarin yang gol cukup untuk menyewa seorang mansis.”
            “Kamu serius, Qon?”
            “Iya pak, terima kasih banyak atas bantuan bapak selama ini. Berkat bapak, saya aman di sini, dan berkat ide bapak pula, rumah ibu Ratija bisa mendapat penghasilan baru dari ke dua bayi kami yang menjadi model.”
            “Qon?”
            Aku lihat matanya memandangku tidak percaya. Antara kagum dan... apa ya?
            “Kau tahu berapa harganya seorang manusia buatan?” Tanyanya perlahan.
            Aku menelan ludah. Ya, seorang manusia buatan  memiliki harga yang spektakuler.
            “Saya kira, saya bisa kursus bela diri. Hmmm, mungkin sedikit lebih hemat.”
            “Dengan perut besarmu itu? Bagus, kau bisa sekalian menggugurkannya karena kegiatan  fisik yang berat.”
            “Hhhhhggggrrrrr…..” aku menggeram bingung dan kesal. Kuremas kertas kertas desainku yang gagal.
            Pak Jan tersenyum meleceh, ngilu.

***



BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Translator: