Rabu, 03 Agustus 2016

TELELOVE 47

PUTRI. 17


JANIN



“Aku sangat takut, apalagi dia sangat menentang hal semacam ini. Menurut ibu, keadaanku yang seperti ini mengacaukan silsilah seseorang. Mungkin –sekalipun- dari asalnya data-datanya sangat jelas, bayi ini turunan siapa, tapi menurut agamaku, darah yang tercampur menimbulkan banyak keraguan. Dan keraguan adalah temannya syetan.”
            “Kalau begitu gugurkan saja!” saran pak Jan mengagetkanku. Lelaki yang selama ini aku hormati karena kematangannya dalam berpikir, bicara, dan bertindak, kini tiba-tiba menjadi orang asing bagiku.
            Oh! Aku lupa, dia juga  menjalani kehidupan liar sebagai sepasang kekasih tanpa ikatan apapun dengan Maya. Jadi pikiran seperti ini, semestinya menjadi  wajar berada dalam kepalanya.
 Tapi tetap saja aku tak pernah menyangka, setelah dua hari kami dalam diam dan  kekakuan, tiba-tiba saja dia bisa bicara seperti balon meletus begini.
            “Astagfiruloh, tidak pak.” Aku raba perutku.
            “Gugurkan! maka kau akan mendapatkan kehidupan normalmu lagi.”
            “Memangnya sekarang saya tidak hidup normal?”
            “Oh, Qon! Kamu baru tahu dua hari, tapi lihat perubahan besar yang terjadi. “
            “Perubahan?”
            “Kamu sakit –jiwa dan raga-“
            “Jangan terlalu berlebihan, pak.”
            “Kamu tak  berani keluar, bahkan hanya untuk bertatap muka di monitor computer  saja kamu tak berani.”
            Oh, itu. Yah seharian kemarin, ada jadwal rapat jarak jauh antara  bu Kim, aku, dan salah satu rekanan kami.
            “Itu karena...” aku belum menyelesaikan detil konsepku. Batinku malu.
            “Karena kau begitu takut semua orang akan tahu kau hamil di luar nikah?” suara pak Jan menyerobotku. “Oh! Jaman ini hamil di luar nikah bukan –masalah memalukan- Qon!” NAH! Benar, pak Jan adalah ‘orang jenis ini’.
            “Saya muslimah...”
            “Memangnya kenapa kalau kau muslimah, tidak bisa hamil di luar nikah? Ah, Qon, aku tahu kealiman dirimu. Tapi kau sendiri ragu dunia luar menuduhmu, bahwa jilbab dan baju gombrangmu hanya kedok kenakalanmu. Kamu takut tuduhan itu.”
            “Rapat jarak jauh itu...”
            “Kalau kau terus menarik diri, mereka akan curiga.”
            “saya belum siap.”
            “Aku rasa hanya orang gila yang mau menerima dirinya hamil, tanpa sebab atau alasan jelas dari dirinya! Bahkan dia mau menerima janin itu tanpa tahu asal usulnya.
            “Gugurkan saja! Menurutku itu adalah hal yang paling masuk akal, bahkan manusiawi! Karena siapapun yang melakukannya pada dirimu, dialah oknum yang tak memiliki sifat manusia sedikitpun.”  Suara pak Jan penuh penekanan.
            “Bayangkan mereka melakukan pada seorang gadis, yang masih perawan. Apa mereka tidak memikirkan cedera jiwa? Lalu bagaimana efek terhadap janin pada gadis yang mentalnya tidak sehat?
            Aku melihatnya seperti orang asing. Maksud dia,  aku si gadis yang mentalnya tidak sehat?
            “Jelas, aku tidak rela kau mengalami hal gila seperti ini.”
Si Boy  mengantarkan teh manis hangatnya. Kubisikan doa, ya Tuhan berilah ketenangan pada jiwanya. Maklumkanlah dia atas kekacauan yang aku sebabkan.
“Silahkan minum tuan.” Suara Boy, kaku, standard robot.
            “Minumlah dulu pak. Saya mohon bapak yang tenang, semua ini harus kita pikirkan dengan kepala dingin bukan?”
            Belum pernah aku mendengar pak Jan bicara panjang lebar  dan meletup-letup seperti ini. Inikah buntut kekakuan yang terjadi diantara kami dua hari ini? Kenapa bisa begini? Sejatinya akulah yang merasa serba salah, malu, marah dengan semua yang terjadi  atas diriku.
            Dua hari ini, bagaimana mungkin aku bertindak –ceria dan produktif- seperti BIASA bila badai yang menerpaku benar-benar membenturkan aku pada dinding besi yang dingin dan tak terpecahkan.
            Berapa kali sudah aku sembahyang ini-itu. Memohon-merajuk-sampai menuntut pada  Tuhanku? Bertanya tanya tanpa mendapat jawab apapun dari Tuhanku.
            Kenapa aku? Kenapa aku?
            Aku menarik nafas. Kamu pasti bisa melihat, mataku sembab akibat lelah memompa air mata dua hari ini.
            Pak Jan menyesap tehnya sambil terus menatapku. Entah kenapa, saat seperti ini. Saat-saat kami berdua, aku selalu menginginkan Maya ada diantara kami. Sekalipun kehadirannya sering membuat kami tak nyaman.
            “Pikirkan, Qon, kau pasti tak mau anak –tak jelasmu- itu menjadi bagian dari rumah Ibu Ratija bukan? Kau tak mau anak tak jelasmu itu menyandang predikat nggak jelas seumur hidupnya bukan? Kamu juga pasti tak ingin anak nggak jelasmu, kepahitan hidup seperti yang kau alami.”
            Aku hanya menggeleng kepala berulang kali. Aku dan sembilan adikkku sudah dan akan terus kenyang dengan panggilan ‘anak haram’ sepanjang hidup kami.
            “Kamu tak mau bukan teman-teman kamu, yang mengenalmu sebagai gadis alim, berjilbab, bersih dosa,  melecehkanmu akibat hamil nggak jelas?”
            Aku hanya mampu menggeleng kepala. Yah, pada masa ini,  buat gadis lain, kehamilan di luar nikah adalah hal biasa. Ini adalah hasil propaganda sosial yang berbunyi:
            *NARKOBA LEBIH BURUK DARIPADA HAMIL DI LUAR NIKAH*
            “Atau kamu mau jadi contoh bagi adik-adikmu? Yang jumlahnya sembilan itu?”
            Deg! Aku langsung menggeleng-geleng kepala.
            “Bagaimana?” tanyanya, lagi.
            “Saya akan mempertahankannya.”
            “OH Tuhan! Bagaimana mungkin?” tangan pak Jan kiri kanan mengangkat ke atas.
            “Seperti yang bapak bilang, Tuhan memberikan ujian ini karena saya kuat. Jadi insyaAllah, saya pasti bisa melaluinya.”jawabku setenang mungkin. Menahan semua gedoran pasir di otakku yang bergerak panik mendengar semua desakan pak Jan.
            “Kamu serius, Qon?” Tanya pak Jan masih tak percaya.

            “InsyaAllah, pak.”


BERSAMBUNG.... 

Tidak ada komentar:

Translator: