Minggu, 07 Agustus 2016

TELELOVE 51

PUTRI. 17




JANIN





Maka canggunglah kami. Di meja makan  ini. Hubungan kami yang hangat berubah menjadi kaku sejak hadiah test pack itu mengabarkan –kehamilan tanpa sebabku-, ditambah dengan pertengkaran Maya dan pak Jan.
            Hubungan kami benar-benar kaku dan canggung. Tapi aku lihat pak Jan nampak tenang, sedangkan  aku tidak bisa. Apalagi sejak aku pulang tadi beberapa kali aku pergoki dia sedang memperhatikanku.
            Memang tempat terbaik di rumah ini adalah kamarku. Tapi aku tak mungkin membawa makanan yang telah dia pesan ini ke kamarku bukan? Itu tidak sopan dan dapat menyinggung perasaannnya.
            “Bagaimana hari ini?” Tanya pak Jan basa-basi. Dia pasti berusaha memecah kecanggungan ini.
            “Biasa, tadi siang sempat ada masalah dengan aliran listrik, dan cuaca saat syuting di luar  tiba-tiba berubah.” Jawabku tanpa menatapnya. Lalu diam. Tapi tak bisa. Aku tak boleh membiarkan keadaan –menyiksa ini berlarut-larut.
            “Pak...”
            “Qon...”
            Bagus, sekarang kami bicara bersamaan.
            “Ada apa Qon?”
            “Katakan saja yang akan bapak bicarakan tadi.” Aku mencoba menahan topikku.
            “Aku memikirkanmu.” Katanya. Kulirik dia, sepertinya makanan dalam mulutnya tidak juga ia telan. Pasti ini hal berat untuk diucapkan. Memikirkanku, pasti lebih berat daripada memikirkan strategi perusahaan untuk bersaing secara global. Oh… tunggu, sepenting itukah diriku! TUHAN! Ibu Ratija! Dengarkan!
            “Aku bukan teka-teki silang pak, tak usah dipikirkan.”
            “Aku memikirkan janin yang ada di perutmu.”
            Barulah giliranku sulit menelan makanan. Aku tiba-tiba mual. Terburu aku ke kamar mandi untuk menumpahkan semua makan siangku, dan makan malamku ini.
            Seperti biasa, dalam empat hari ini, pak Jan ada di sana, membawakan tisue dan air hangat untukku.
            “Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, bagaimana mungkin kau ingin mempertahankannya, sementara baru usia sebulan saja kau begitu terlihat payah dan tersiksa.”
            “ Alhamdulillah, Terima kasih Tuhan, karena mualku ini, aku jadi ingat begitu besar pengorbanan seorang ibu.”
            “Huh, kau kira aku tak pernah menghargai ibuku, hanya karena aku tak bisa hamil?” tanyanya terdengar kesal.
            Kecanggungan mulai cair.
            “Qon, bayangkan, 8 bulan ke depan, mungkin perjuanganmu akan semakin sulit. Dengan janin yang terus membesar, sembelit, muntah, masalah hormon, kejiwaan...”
            “Alhamdulillah, Tuhan tahu, seorang wanita lebih kuat dari pada seorang pria, karena dengan kesulitan dan –penderitaan- seperti itu, terbukti para wanita tetap bisa melaluinya, bahkan sengaja membuat dirinya hamil, dan  beberapa wanita ingin melahirkan sampai 2 kali lebih.”
            “Aku serius Qon. Janinmu, hanya akan membawa kesusahan.”
            “Susah senang itu tergantung dari individu yang melakoninya,  pak.”
            “Mungkin kau belum memikirkan ini, setelah anakmu lahir,  bagaiamana kau membesarkan anakmu? Apa anakmu mau kau titipkan di rumah ibu Ratija juga? Karena pasti sulit di jaman ini menjadi orang tua tunggal.”
            “Tentu saja empat  hari ini aku sudah  memikirkannya.”
            “Bagaimana jika ia tanya tentang ayahnya? Atau orang tuanya? Bagaimana jika ia bercita-cita menjadi tentara, dimana silsilah keluarga sangat penting?”
            “Mungkin nanti di jamannya, pertanyaan itu sekedar untuk mengisi formulir tertentu. Aku bisa mencari sumbernya di bank sperma, lalu mencomot salah satui kode begitu saja? Hahaha… mungkin nanti di jamannya, teman-temannyapun banyak yang nasibnya seperti anak ini.”
“Qon, ini bukan lelucon…” pak Jan nampak terkejut dengan jawabanku. Dia pasti tak menyangkanya aku punya pemikiran spontan seperti itu.
“Ah, Kita pikirkan itu nanti, Tuhan tidak memberikan pilihan itu sekarang bukan?”
“Lalu tentang sekolahnya? Kesehatannya, bagaimana bila ia cacat karena –mungkin saja- kehamilanmu adalah bagian dari skenario uji coba ilegal para ilmuwan...”
            “Astagfirulloh. Kenapa aku baru memikirkan kemungkinan itu? “
            “Coba pikirkan, bagaimana mungkin bila orang tuanya –normal- menitipkan janinnya padamu dengan cara –menculik-? Sementara hal seperti ini bisa dilakukan dengan legal. Karena orang tuanya miskin? Mana ada orang tua miskin berpikir –menitipkan janin- sementara untuk hidup mereka saja sudah susah, bagaimana mereka membesarkan janinya? Memebesarkan anaknya setelah lahir nanti?”
            “Hoek....!” muntah dan menangislah aku atas kekakacau perut dan pikiranku. Jelas sekali, dalam hal ini pak Jan bukanlah teman bijak untuk berdialog.
            “OH, Qon...” dia merasa bersalah. Setidaknya dia sadar karena semua kata-katanya, janin dalam perutku memberontak.
            Aku tahu, seandainya dia adalah suamiku, pastilah dia sudah mengelus punggungku agar aku lebih nyaman. Tapi dia bukan apa-apaku.  Dan dia nampaknya mengatur keadaan ini. Karena dia menghormatiku sebagai muslimah.
            Ya. Tentu saja, aku bukan seorang Maya. Dia pasti tahu persis.
            “Maafkan aku, Qon... ini karena aku memikirkanmu. kau mengerti?”
            “Saya tidak  mengerti pak.”
            Tuhan kenapa belajar tentang hubungan antar manusia  lebih sulit daripada belajar tentang mata kuliah RPSPPSMMP –Rekayasa Pencitraan sebagai Strategi Perubahan Perilaku Sosial di Masyarakat Megapolitan-?

****


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: