Selasa, 02 Agustus 2016

TELELOVE 46

PUTRI. 17
JANIN



Hasrat sesatlah, yang membuat cinta meluka


Melalui monitor laptopku, kutatap wajah ke 9 adikku yang sedang tertidur lelap, ibu Ratija tahu aku sangat merindukan mereka semua. Ibu Ratija merekam wajah mereka semua.
            “Qonita, kita harus akhiri obrolan kita malam ini. Kau harus jaga kesehatan dan keamananmu. Kau nampak pucat dan loyo, Qon.” Katanya meraba layar monitor. Wajahku  seolah merasakan usapan tangannya yang kasar. Tangan tua yang berpuluh tahun bekerja keras, dan bersentuhan dengan aneka kimia tak jelas.
            “Aku ingin pulang.” Keinginanku terucap begitu saja. Aku si pandai menahan keinginan sepertinya sedang melakukan penghianatan terhadap ketetapan perilaku ‘kebijakan pengendalian keinginan pribadi’.
“Oh, Qonita…” ibu Ratija tentu merasakan hal sama. Karena aku adalah satu-satunya orang dewasa di rumah itu tempatnya berbagi segala masalah. Maksudku, Yusuf itu tidak bisa 100% menggantikan aku.
“Ah, lupakan bu, aku cuma kangen.” Kugigit bibirku untuk menahan semua kata-kata rindu yang digaungkan pasir di otakku.
“Kau harus sabar…” bu Ratija tak melepaskan tangannya dari monitor. Di seberang sana dia pasti sedang meraba wajahku di monitor.
Ya! Aku harus sabar, menahan diri lebih hebat, karena aku punya rahasia baru. Rahasia besar yang harus aku simpan sendiri. Yang entah sampai kapan aku mampu memikul kerahasiaannya.
Aku Hamil ibu! Aku ingin memelukmu, menangis dipangkuanmu, merasakan belai hiburanmu, karena aku tahu, kau tak akan memarahi, kau hanya akan kecewa.
Tidak, aku tak mau mengecewakanmu, dan membuatmu lebih susah, menyita batinmu yang mengurus setiap harinya akibat kesusahan hidup.
Aku harus menahan diri untuk tidak mengatakan: ‘ibu, aku hamil, dan aku tidak tahu siapa yang bertanggung jawab, apalagi bapak biologis anakku ini’.
“Qon? Qon!”
“Ya? Yayaya…” ah ibu tadi cerita apa?
“Situasi di sini semakin panas saja sejak kau pergi. Untungnya ada  Yusuf yang membantu segalanya.” Senyum bu Ratija mengusir wajah loyonya. Aku mencium bau bunga saat dia menyebutkan namanya. Yusuf.
            “Alhamdulillah. Sampaikan terima kasihku dan salam hangatku, ibu.”
            “Pasti. Assalamualaikum.”
            Bip!
            “Siapa Yusuf itu?” tiba-tiba pak Jan sudah ada di belakangku. Aku tak tahu sudah berapa lama dia ada –tepat-dekat-punggungku. Bagaimana mungkin sarafku yang peka tidak bisa menangkap kehadirannya? Baunya! Oh, bagaimana mungkin aku tidak mengacuhkan bau harumnya ini?
            “Bapak menguping pembicaraan kami?”
            “Tentu saja, Qon, kamu bertatap muka jarak jauh di dapur ini, dan aku ada di sini sedang makan kudapan.”
            Huh! Betapa bodohnya aku. Untungnya tak ada pembicaraan rahasia diantara aku dan ibu Ratija.
            “Siapa Yusuf itu?” Pak Jan mengulang pertanyaannya.
            “Teman baru, sukarelawan baru di rumah kami. Jangan Tanya lagi siapa dia. Saya tak tahu tentang dia secara detil.” Kataku jujur. Smoga jawabanku menghentikan pertanyaan dia tentang Yusuf. Yusuf adalah rahasia baru di keluarga kami. Rahasia yang manis.
            Untung saja saat mengobrol dengan bu Ratija tadi, kami tidak melantur membahas pak Jan, dan aku tidak konyol  memberondong pertanyaan pada bu Ratija. Pertanyaan tidak penting tapi cukup sensitif:
            ‘bagaimana caranya membuat pak Jan berahlak mulia seperti Rosul? Dan berapa besar kemungkinan dia akan melamarku dalam keadaan solehnya itu?’
            “Qon... kalau ibu Ratija tanya tentang perutmu yang membesar bagaimana?”  Tanya pak Jan duduk di depanku meneruskan makan kudapannya.
            Mendengar pertanyaan itu, aku jadi kaget.
            “Qon...kenapa  kamu selalu melamun?”
            “Tidak mungkin dia tanya tentang perutku. Aku kan di depan monitar sebatas ini.” Kutunjukan arah dada ke atasku.
            “Suatu saat dia akan tahu.” Pak Jan menatapku tajam. Seperti biasa. Semula aku begitu risih setiap bersirobok mata saat bicara. Tapi lama-lama, aku tahu, dan melakukan penyesuaian hingga tatapan matanya tak lagi membuatku risih.
            “Tapi pada saat kami semua, dan seisi rumah itu sanggup dan bisa menerima beritanya.” Kataku. Oh Tuhan tolonglah aku, siapkan segalanya…
            “Kenapa tidak sekarang?”pak Jan mulai mendesak.
            “Karena, ibu Ratija sudah sangat banyak memikul banyak masalah.” Jawabku.
            “Ah? Masalah apa? Disana sudah ada android yang bisa mengasuh adik kembarmu seperti layaknya seorang ibu. Juga bayaran atas kontrak model iklan ini.” Pak Jan tahu benar membuat lawan bicaranya tak bisa menjawab dengan benar.
            “Berita ini akan membuatnya sangat kecewa, pak. Saya adalah harapan tertinggi –saat ini- di rumah kami.”

            “Kau tidak bisa menutupinya terus Qon.”



BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar:

Translator: