Sabtu, 06 Agustus 2016

TELELOVE 50

PUTRI. 17

JANIN


Ah, sial! Kenapa aku lupa dengan naskahnya? Naskah yang ada di kantung fileku, di notebookku, yang tertinggal di kamar? Fiuh! Jadi aku harus kembali ke ke rumah? Untungnya si Boy tak keberatan mengantarkan aku kembali.
            Maka di sinilah aku, di kamarku, bersama si Boy.  Mencari Flash disk yang isinya –sangat penting- bagi syuting iklan hari ini. Aku tahu, Boy dengan daya carinya yang lumayan, bisa membantuku.
            Kudengar suara sepatu berhak tinggi memasuki rumah dan berkeliling di ruangan dengan langkah terburu. Pasti  Maya, karena suara sepatunya, selain itu  hanya dia, aku, dan pak Jan yang tahu kode masuk rumah ini. Dari suara langkahnya yang bergegas, dan cara membuka-membanting pintu kamar, dia pasti sedang dalam keadaan kacau. Seperti biasanya. Maya selalu datang dengan langkah seperti itu, atau tidak melangkah sama sekali, karena mabuk.
            Aku memberi isyarat pada Boy agar diam dan tak ke  luar kamar. Si Boy hanya memandang datar.
            Suara langkah pertama disusul oleh langkah yang lebih berat. Itu pasti pak Jan. Sekalipun pak Jan bilang berulang kali bahwa tidak ada apa-apa diantara dia dan Maya, tapi tetap saja, aku merasa ada hubungan khusus.
            Buktinya kini mereka ada di rumah ini berdua saja, di siang bolong! Pak Jan pasti telah memperhitungkan, karena aku akan di luar cukup  lama-.
            Tapi kenapa  kini aku dengar jeritan-jeritan histeris dari Maya menggema di kamar sebelah. Aku tak menyangka sama sekali. Jika namaku terkait dalam pertengkaran mereka.
            Ingin sekali aku menutup telinga tapi tak bisa. Jelas sekali aku mendengar suara Maya melengking histeris.
            “Kau kira aku bisa semudah itu kau putuskan? Kau pikir aku ini apa? Batu yang bisa kau campakan kapan saja?” itu suara Maya, tinggi melengking.
            “Aku tidak pernah mencampakanmu. aku bilang kita sudahi hubungan tak jelas ini.” Suara pak Jan terdengar tenang.
            “Kalau begitu perjelas saja hubungan ini.”
            “Maaf, aku bukan orang yang tepat untukmu.”
            “Jan, jangan kau anggap aku ini perusahaan kecilmu yang gagal, yang bisa kau tutup, atau kau jual begitu saja.”
            “Sebenarnya aku berharap seperti itu. Seandainya benar kamu perusahaan kecilku, aku sudah menjualnya begitu aku melihat neraca kebangkrutanmu.”
            “Jan! teganya kau!”
            “Hidupmu bangkrut karena kau selalu mabuk.”
            “Kamu selalu bilang aku mabuk, untuk selau  menolakku!”
            “Aku salah waktu menerimamu sebagai pemabuk.”
            “Aku bukan pemabuk.”
            “yah tentu saja, seorang pemabuk sulit sekali menerima kenyataan itu.”
            “Aku sudah menjalani rehabilitasi.”
            “Maaf, tapi kau tak pernah berhasil menyelesaikannya.”
            “Katakan siapa orangnya?”
            “Kenapa kau tanyakan itu? Bukankah sudah perjanjian diantara kita, bahwa masing-masing diantara kita bebas melakukan apapu. A-pa-pun.
            “Kalau begitu, biar saja! Biar kita terus begini, aku bebaskan kau dengan wanitamu. Dan kau bebaskan aku dengan hidupku.”
            “Aku ingin mengubah hidupku.”
            “Hahahaha... maksudmu kau ubah yang hidup jadi mati? Jan-Jan... baru sadar kau kekacauan hidupmu?”
            “Tepatnya kekacauan yang kau buat.”
            “Hah, aku bukan kambing hitam dalam opera hidupmu.”
            “Terserah. Pikirkanlah ini Maya, hubungan kita tak bisa dibawa ke manapun. Kau terikat dengan agensimu, dan kau tak mau melepaskannya. Sementara  aku sudah bertambah tua .”
            “Kenapa baru kau ributkan tentang kontrak agensi? Kau pikir aku akan melepaskan karirku? Kau sedang mengacamku?
            “Tidak. Aku hanya ingin memutuskan hubungan kita.”
            “Hah! Pasti gara-gara idiot tukang ngaji itu.”
            “Namanya Qonita, Maya, dia punya nama. Dan dia tidak idiot!”
            “Hah! Benar, kini kau memasukan namanya dalam perhitungan hidupmu.”
            “Benar.”
            Deg... ya Allah! Kenapa –aku-...? ku tengok si Boy, tapi seperti biasa dia hanya menatapku datar tanpa ekspresi.
            “Oh, tak kukira, seleramu begitu payah, Jan. Aku tak kan terima ini!”
            “Kau mau apa? Maju ke persidangan? Jangan lupa membawa surat nikahnya, dan bukti bahwa kita pernah berhubungan intim!”
“Hoooo... Shit! Pokoknya aku tidak terima, kau akan rasakan akibatnya.”

Di luar keinginanku, penyerentaku berdering, dengan volume keras, karena, yah kau tahu kan, ini adalah strategi antisipasi dari kebiasaanku yang kurang tanggap itu. Padahal sekarang aku termasuk orang yang cukup penting. Setidaknya dikantor banyak orang yang berkepentingan denganku.
 “Bip! Nong! Gimana nih... semua orang nunggu! Cepet, bentar lagi mulai!” suara Kamila di  lapangan memberondong, mempercepat laju jantungku.
 “Hah! Tukang ngaji itu!  benar-benar idiot!” Maya membuka pintu kamarku, membuktikan bahwa aku ada di sini. Dia berbalik dan ke luar apartemen.
            “Qon! Qon! S.O.S! S.O.S!” suara Kamila dari lapangan, dia sangat tahu cara memanggilku.
 “Oh yayayaya...”
            Pak Jan berdiri tepat di depanku, memandangku dengan pandangan yang aku tak bisa mengerti.  “Maaf saya ketinggalan ini, pak...” kutunjukan flash diskku. Kupasang senyum canggungku.  “Mari Boy, sayangku, pahlawanku...”  kelihatannya aku benar-benar dalam skenario yang kacau.

****


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: