Sabtu, 20 Agustus 2016

TELELOVE 54

PUTRI. 19

WANDA


“Tet!” belum sempat pasir diotakku bergerak, kakiku harus segera melangkah. Itu pasti mereka. Kudengar si Boy memeriksa tamu lewat kamera Bel.
            “Selamat malam, hendak apakah tuan dan  puan datang?” suara dan bahasa Boy yang standard pasti membuat kaku wajah di balik pintu.
            “Wanda! Masuklah! “ kataku keras membuat wajah dongo di luar sana langsung berubah cerah. Aku sendiri bingung kenapa Wanda hanya sendirian di sana. Mana Yusufnya?
“Silahkan masuk.” Si Boy langsung membuka pintu dan menutupnya segera setelah tahu bahwa aku mengenal mereka. Tapi Boy tak lupa dengan protokol keamanan, lewat matanya, dia memindai apakah ada alat atau benda tajam dibalik baju Wanda.
             Wanda berdiri kaku. Dia nampak pucat.
“Qonita...” dan pingsanlah Wanda. Menubrukku lunglai.
            Ya Tuhan dia bawa masalah apa lagi? Tidakkah Tuhan cukupkan aku dengan cobaan masalah hamilku?
            Si Boy langsung mengangkutnya dan membaringkannya di sofa. Mengambil wewangian untuk membangunkannya.
            “Lho, Yusufnya  mana?” tanyaku bingung, begitu dia siuman dari pingsannya. Otak pasirku mendesis. Hatiku berdesir saat menyebutkan ‘namanya’. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin aku menanyakan ‘Yusuf’ bukan ‘bagaimana keadaan Wanda yang baru pingsan, dan mengenaskan’.
            “Dia harus segera kembali. Ibu Ratija memanggilnya pulang.”
            “Perlu saya kejar, nona?” tanya si Boy –datar- tanpa emosi.
            “Oh Boy sayang... sudah sangat terlambat.” Benar –benar robot android ini sering membuatku keki. Tapi aku harus maklum bukan? Karena dia itu hanya  sebongkah android.
            “Saya pandai mengejar, nona.” Katanya dengan suara kaku.
            “Ah, sudahlah, tak usah.”  Kejar dia cepat! Hadapkan padaku agar aku dapat menatapnya dan kukatakan dari lubuk hatiku yang terdalam : Terima kasih sobat-soudaraku-sayangku-kasihku... karena kau telah menolong kami.
            Tentu saja aku hanya menggigit bibirku, menahan teriakan pasir diotakku itu. Sial! Pasir-pasir ini berteriak dengan Toa! Entah bagaimana caranya. Hingga telingaku mendengung.
***

“Aku tak menyangka selama ini tetangga dekatku  menyembunyikan manusia buatan sehebat Yusuf.” Kata Wanda di tengah suapan sarapannya. Seperti biasanya, gaya makannya membuat aku risi. Mulutnya masih penuh, tapi dia terus melayangkan sendok seisinya kesana. Beberapa kali ia selang dengan minum. Gaya terburu-burunya mengingatkan pada perlombaan makan banyak secepatnya. Dia memang juaranya. Yang aku tak habis pikir, tubuhnya tetap saja kurus.
            Aku menahan diriku agar tak bertanya tentang Yusuf pada Wanda. Wanda bukanlah orang yang cerdas dalam menanggapi obrolan. Aku harus menjaga jangan sampai terjadi kesalah pahaman.
            Mulanya kukira ibu Ratija juga terlalu ceroboh menolong Wanda dengan cara ini. Tapi adakah jalan lain? Yang lebih cepat dan aman? Setelah mendengar kisah Wanda semalam, aku jadi sedikit  mengerti kegentingan situasi semalam. Kuharap hilangnya Wanda dari sana tidak menyeret ibu Ratija dan adik-adikku ke dalam kesulitan.
            Jadi aku banyak menelan kata-kata.
Sedang Wanda banyak menelan segala makanan. Aku tak tahu, sebenernya sudah berapa lama dia tak makan. Tadi malam kan dia sudah makan banyak juga.
            Aku harus mencatat ini, jumlah yang dia makan berapa, agar aku bisa menggantinya bila si Boy belanja nanti. Aku sudah melakukannya sejak awal. Aku tak mau tinggal di sini gratis. Walaupun aku tahu buat pak Jan penggantianku itu tidak ada harganya.
            “Oh, Ibu Ratija yang baik. Beruntunglah kau sejak bayi tinggal bersamanya.” Katanya lagi disela kecipak makanan dalam mulutnya.
            “Benarkah tinggal di sini aman, Qon?” tanyanya lagi.
            “Ya, apalagi bosku memiliki si Boy. Android serba bisa.” Aku menepuk punggungnya, lalu memeluk bahunya.
            Si Boy menengokku datar.


BERSAMBUNG...



W

Tidak ada komentar:

Translator: