Minggu, 21 Agustus 2016

TELELOVE 55

PUTRI. 19


WANDA




Wanda nampak terkejut karena aku begitu ‘berani’ dengan si Boy.
            “Ah, kau bisa ‘bebas’ seperti itu dengan dia?”
            “Hahaha... ini kan ‘cuma’ android, Wanda... ya kan Boy?”
            “Betul, nona.” Suara datar, wajah lurus.
            “Ya ampun... kamu tahu tidak ada  android ilegal yang dirancang sebagai ‘pasangan’?”
            “Tentu saja aku tahu!”
            “Maka aturlah kelakuanmu, agar orang tak menyangka si Boy ini ‘pasangan android’mu.”
            “Hah...?”
            “Karena kau ‘susah laku’ secara normal, maka makin wajar bukan kalau kau bekerja keras, menabung gajihmu, untuk membeli seorang android agar jadi pasanganmu...”
            “Saya tidak keberatan.” Tiba-tiba si boy nyeletuk, dengan wajah leumpeung, dan  suara standardnya.
            “Hahahahaha...dengar dia bisa merespon dengan baik!” Wanda tertawa hingga dia tersedak dan terbatuk. Itu pasti karena Tuhan pasti tidak rela aku dihina gadis malang ini.
            Aku mendengus sebal. Tapi aku lalu tersenyum, syukurlah badai kepanikan semalam telah reda pagi ini. Wanda sudah mampu bercanda lagi, walau candanya itu membuat aku sebal.
            “Jadi bagaimana dengan bosmu? Apa dia mengijinkan aku bersembunyi di sini?”
            “Dia akan memutuskan setelah bertemu denganmu.”
            “Kau tidak bisa membantu membujuknya?”
            “Oh Wanda, kamu lupa statusku saja sebagai pelarian. Hingga dia mau menyediakan si Boy sebagai penjagaku!”
            Ups! Apa aku berlebihan? Kulihat  mata Wanda membulat.
            “Bagus, jadi sekarang dia bisa berlaku lebih ekonomis, dan efesien, seorang boy menjaga dua gadis pelarian. Bagaimana Boy?”
            “Terserah tuan Jan saja.” Si Boy, wajah leumpeung, suara standard, jawaban standard.
            Tiba-tiba aku jadi berharap agar pak Jan segera pulang dari acara Kamar Dagang  Internationalnya di Berlin. Yah, dia baru berangkat dua hari yang lalu. Tapi aku sudah merasa rumah ini sepi tanpa kehadirannya.
            “Ngomong-ngomong, aku punya pertanyaan besar. Kenapa Tuhan sepertinya selalu menolong untuk keluarga ibu Ratija yang asal usulnya tidak jelas, dan melakukan hal ilegal karena menampung seorang mansis buron. Sedang keluargaku yang jelas-jelas susah, dan hidup di dunia hitam Tuhan tidak mau menolong?” tanya Wanda tiba-tiba mengehentikan canda urakannya.
            “Karena kau tidak pernah berdoa.” Kataku meniru gaya bu Ratija.
            “Aku sudah sering berdoa. Tapi hidupku tetap susah. Karena itu aku hentikan segala doa omong kosong itu.”
            “PertolonganNya yang akan turun, mungkin berhenti, begitu kau menghentikan keyakiananmu.” Kataku masih dengan gaya bu Ratija.
            “Hahahaha.... kenapa kecepatan pertolongannya tidak ‘tepat waktu’?” Tanya Wanda melecehkan.
            “Kata siapa Tuhan tidak tepat waktu? Tuhan selalu tepat waktu, tapi kau tidak di sana. Kalaupun kau ada di sana, kau tidak pernah menyadari kehadiranNya.”
            “Haaa.. kau pandai sekali bicara! Aku lupa, kau anak sekolahan, dan aku anak jalanan.” Wanda mengacungkan garpunya ke arahku.
            “Dan Wanda, jika semua doamu dikabulkan olehnya, apakah kau akan siap menerima segala konsekuensinya?” aku tak mengacuhkan komentarnya tentang pendidikanku yang sekedarnya. Seebenarnya kami sama-sama tak pernah mengenal sekolah. Pendidikanku aku capai dari rumah saja. Dengan sebongkah computer, internet, dan seseorang yang kaya akan pengalaman hidup, ibu Ratija. Tapi seorang Wanda tak pernah melalui pendidikan apapun. Pendidikannya ada di jalan, di mana dia keluyuran cari sesuap nasi.
            Agak lama Wanda terdiam. “Fiuh.... tak kusangka kau seperti seorang filsuf!”
            “Aku bukan filsuf, aku cuma gadis yang selalu berdoa...” kataku ajeg.
            “Cuih!”
            Wanda meludah. Aku tersentak. Hah, dia ‘berani’ meludah di tempat yang sebersih dan semewah ini? Apa dia tak bisa melihat perbedaan jalan  dan rumah? Benar-benar tak sopan. Kutarik nafasku untuk menahan marah. Kucoba resep ibu Ratija menahan amarah dan kekurangmaklumanku...
            ‘Aku adalah kamu’,  aku ingat nasihat ibu Ratija, agar kita selalu peka dengan orang ain. kucoba aku selami Wanda.
            “Kau yang malang, yang gelisah, seolah dunia ini air comberan. Kau yang tenggelam menggapai tanggan mencari pertolongan. Berdoalah bahwa tangan yang menolongmu dapat mengangkatmu, bukan tertarik olehmu, oleh air comberan yang busuk dan hitam pekat...” bisikku. Pasir di otakku riuh.
            “Qon...?” Tring! Wanda menjatuhkan sendoknya. Aku tak peduli dia bengong dan bingung.
            “Tolong bersihkan, Boy!”
            “Oke, nona.” Wajah Boy yang datar dan beku lebih menenangkanku dibanding wajah Wanda yang kusut.
            “Kau sudah mandi?” tanyaku, kulirik jam dinding. Jangan sampai penampilan Wanda yang kumuh memberi kesan buruk pada pak Jan.
            “Sebentar lagi bosku datang, berilah kesan bahwa kau gadis yang baik!” pintaku.
            “Apa aku harus berjilbab?” tanyanya selalu dengan nada melecehkan.
            “Jilbab itu bukan cuma untuk menutupi rambut tak terawatmu.” Kataku mulai jengkel.
            “Yah, aku mengerti. Bisakah kau pinjami aku baju yang sedikit seksi?” Tanya Wanda. Ya ampun, dia ini memang ndablek. Dia itu benar-benar sebongkah batu yang diberi nafas!
            “Hah?” gemas sekali aku melihat ketakpeduliannya.
            “Oh ya, tentu saja kau tak punya.” Katanya menyimpulkan sendiri.
            Tuhan, berapa kali lagi aku harus menarik nafas panjangku?  Ibu Ratija, seputih apakah hatimu, hingga kau mau menolong ‘sebongkah batu berwujud cecunguk malang’ ini dengan mengganggu hidupku?
“Aku akan ke kantor, kau akan di sini sendiri, jadikanlah  dirimu berguna.”
“Lho kan ada si Boy?” dia piker Boy itu semacam pembantu untuk di rumah saja?
“Dia ‘bekerja’ bersamaku.” Jawabku dengan nada sombong.
“Hah?”
“Dan ingat ini: rumah ini memiliki sistem keamanan yang hebat. Kau akan aman. Tapi juga kau tidak bisa melakukan kejahatan apapun.”
Mata Wanda membulat, tanda takjub.
“Ayo boy!” aku segera bangun dan bergegas pergi.
“Yes bos.” Jawaban datar si boy, kupastikan membuat mata Wanda semakin melotot takjub. Bu Ratija, bolehkan aku merasa senang bergaya keren di depan Wanda?

***


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: