Senin, 01 Agustus 2016

TELELOVE 45

PANGERAN 16

BURON





“Sssstttt... Yusuf...! turunlah!”
            Ah! Apa telingaku salah dengar, tapi aku intip lewat pintu lantai ini, ibu Ratija memang sedang menatapku. Tepatnya pintu ini. Dia pasti sudah tahu kebiasaan mengintipku.
            Jadi akupun turun memenuhi panggilan bu Ratija.
            Wanda nampat kaget, dan takut saat melihatku turun.
            “I...iiiii...ibuuu..? dia...?” tanyanya takut-takut.
            “Anak hilang yang lain, anggota baru keluarga ini. Wanda kenalkan, ini Yusuf.”
            “Hallo...” Aku berusaha ramah. Aku sudah siap atas respon orang yang baru mengenalku. Bukankah selama pelarian ini aku selalu menemukan wajah kombinasi terkejut, ngeri, takut, jijik, hingga kasihan saat melihat atau bertemu denganku.
            “Dia monster? Mutan? Mansis?” tanya wanda gemetar.
            “Dia malaikat pelindung yang tampan di rumah kami.”  Jawaban bu Ratija sungguh membuatku mati kaku bingung. Tolong dicatat, aku belum bisa membedakan mana sindiran, pujian, hinaan dalam basa-basi yang membuatku bisu ini.
            “Ha? Ah ya tentu saja.” Kata Wanda tersenyum masgul. “Cuma kamu yang laki-laki di sini.”
            Barulah aku tersenyum ngilu, ini lelucon ironis kami, jelas aku yang paling tampan, karena hanya akulah lelaki dewasa dirumah ini selain si bayi Kembar.
            “Dia bisa mengantarmu, melindungimu agar kau sampai dengan aman di tempat Qonita.”
            “Qonita?” Tanya Wanda tak percaya.
            Aku juga bingung, bagaimana aku tahu tempatnya. Kulihat ibu Ratija menuliskan sesuatu. Lalu memberikannya padaku. Dia mencatat alamat Qonita.
            “Lalu ayah?”
            “Apa kau mau menyelamatkan lelaki yang selalu menjerumuskanmu ke dalam kesulitan? Ingat Wanda, yang menjerumuskanmu adalah ayahmu sendiri bukan Tuhanmu.”
            Aku membaca sekilas alamatnya.
            Belum selesai kami bercakap-cakap, pintu rumah digedor orang dari luar.  Kami saling berpandangan. Itu pasti mereka. Entah siapa.
            Sepertinya tembok apartemen ini memiliki banyak mata dan telinga, begitu ada yang mencurigakan, pasti ada orang datang memeriksa.
            “Usahakan jangan sampai ada yang melihatmu!” Bu Ratija mencium kening Wanda. Juga keningku! Itu adalah kebiasaannya jika kami semua hendak bepergian.
            Aku langsung menarik Wanda naik ke kamar atas, menutup pintunya. Lalu kukenakan wig rambut warna hitamku.
            Wanda bingung menatapku. Tanpa kata aku jongkok dan memerintahnya untuk menaiki punggungku.
            Keributan di ruang bawah membuat kami harus segera bergegas. Sepintas aku intip ibu Ratija yang sedang duduk tenang di kursinya. Hebatnya wanita tua itu bergaya tenang,  menghadapi kegentingan ini.
            Dia menggendong Rahim menimangnya agar berhenti menangis.
            “Ke atas!” terdengar seseorang dari luar memberi komando.
            Dengan sigap aku memanggul Wanda di punggung, mulai merayap turun melalui jendela ke jendela dan balkon-balkon apartemen-apatermen di bawah apartemen kami.
            “Allahuma yasir wala tu asir wabi tamim bi khoir...” kumohonkan perlindungan dan kelancaran dariNYA.
            “Kau… ber… doa...?” bisik Wanda tepat ditelingaku. Suaranya bingung.
            Tuhan, masukanlah diriMu kedalam jiwanya yang sedang bingung ini.

***



bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: