Rabu, 31 Agustus 2016

TELELOVE 60

PANGERAN. 20

TAMU


Ibu Ratija terdengar jengkel, melihat tayangan penculikan yang jelas di kamera pengamat yang terpasang entah di mana.
            “Huh, itu karena kami bukan orang penting, bukan siapapun, bukan  orang kaya yang bisa menghancurkan indeks saham, atau seorang komandan di depan pasukan monitoring  hulu ledak, jika dia hilang, tak akan ada bedanya.
            “Kami cuma statistik.” Suara bu Ratija terdengar nelangsa.
            Aku terdiam, pilu. Sebulan tinggal di rumah ibu Ratija, dengan keluarga ini,  membuat kecerdasan dan kebingunganku melompat-lompat silih berganti. Aku tahu, apa yang dimaksudkan ibu Ratija. Tentang statistik kaum miskin, statistik  penculikan, statistik kriminal. Statistik itu cuma angka, selebihnya adalah cerita nyata tentang  pilu, perih, derita, sengsara rakyat negeri ini. Statistik itu cuma halusinasi angka.
            “Coba perbesar!” pinta bu Ratija tak sabar.
            Kuturuti keinginan ibu Ratija, tangan keriputnya menunjuk langsung ke monitor.
“Lihat tangannya!” bicaranya terburu dan gemetar, demi dilihatnya ikon angker yang menempel di tangan orang dalam rekaman itu. Tatto yang sama. Kupu-kupu emas.
            Kubanting tubuhku ke sandaran kursi. Kepalaku berkecamuk di kebuntuan. Kulirik ibu Ratija lebih tenang.
            “Ibu, ada tamu.” Terdengar suara  standard Yasmin si Android dari bawah loteng.
            Ku ganti gambar layar monitor dengan layanan sensor tamu, kamera yang dapat menangkap tamu atau siapapun yang ada di depan pintu. Kami bisa melihat jelas pak Jan datang dengan teman bisnisnya, dan seorang kameramen.
“Oh, si tampan itu. Kenapa datang berjamaah begini?” ibu Ratija menepuk pundakku.
“Hati hati, aku merasa ada yang salah dengan apartemen ini.” Aku memberi peringatan, tapi sepertinya hanya dianggap angin lalu, jelas saja, karena ibu Ratija lebih mengenal lingkungan ini dibanding aku.
            Ibu Ratija turun dengan hati-hati, sementara aku menutup pintu yang menyerupai atap dengan perlahan.
            “Hallo apa kabar? Semua terkendali bukan?” kudengar sapaan hangat pak Jan  dibawah sana.
            Aku mengendap ke luar membawa penyerentaku. Lalu aku, seperti biasa, melompat-merayap, hingga sampai di sisi gedung lain lalu duduk di balkon apartemen yang sedang kosong. Lalu  mengamati semua yang terjadi di ruang tamu apartemen kami melalui penyerentaku yang terhubung dengan CCTV yang aku pasang di sana beberapa hari lalu. Dokter Rut pasti kagum dengan hasil kerjaku ini.
            “Oke dok, kau bisa memulai mengevaluasi para bayi.” Seseorang, entah siapa,  memulai interuksinya. Entah dimana ibu Ratija dan pak Jan, mereka pasti ‘menghilang’ sementara pembuatan iklan Android  ASI Refill sedang berjalan. Langsung.
            “Kamera siap? Ya? Untuk androidnya?”
            “Ok, kamera terus jalan!”
            “Mana android itu?”
            “Oke dok, mulai!”
            “Bayinya...!”
            “Oh... lucu sekali...”
            Lewat penyerentaku, aku tak bisa melihatnya sebagai tayangan iklan yang rapih, kurasa mereka harus mengeditnya sebelum tayang. Tapi Qonita bilang, iklan ini bentuknya  semacam siaran langsung atau reality show yang spontan.
            Sang dokter nampak melakukan semua test dan  pengukuran, sambil bermain dengan Rahman dan Rahim.Mulutnya tak berhenti bicara, dengan membandingkan hasil pengukuran beberapa waktu yang lalu. Memang fantastik, kedua bayi itu mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan.
            Tapi ke mana ibu Ratija dan pak Jan, yah tentu saja mereka harus menyisih, karena mereka bukan bagian dari iklan ini. Dan tujuh kurcaci ‘adik-adikku’ itu menonton dan makan semua oleh-oleh yang kru bawa.
            Benar kata Qonita dan ibu Ratija, pak Jan adalah perpanjangan tangan Tuhan.
            Pak Jan telah menyelamatkan rumah tangga ibu Ratija dari kesengsaraan dan kerepotan dengan kemakmuran dan pembantu yang sangat efesien, Yasmin si Android.
            Kulirik jam di penyerentaku. Sudah sejam lewat. Dan mereka belum selesai juga?
            “Oke! Ibu Ratija! Ibu Ratija...! siapkan dialog penutup...!”
            Oh, akhirnya! Rasanya jika lebih lama lagi aku harus mendekam di balkon ini, aku tak kan kuat, karena bau polusi di sini begitu menyengat, dan memedihkan mata. Aku juga mulai merasakan akan ada badai.
            “Bos, bagaimana matanya?”
            Mata? Mata apa?
            “Oh ya ibu Ratija, maaf kami menayangkan beberapa kali iklan langsung dari sini. Saya kira ibu tak kan keberatan karena semua sudah kita setujui dalam surat kontraknya.”
            “Maksud bapak, apa?”
            “Tayangan iklan langsung bu! ASLI!”
            Seseorang mendekati si Yasmin, dan mengambil Rahman yang sedang menyusu nyaman di buah dadanya yang palsu itu.
            Sementara yang lain membawa kotak alat. ‘Mematikan’ si Yasmin android, dan mencongkel matanya.
            “Sayang beberapa hari lalu Dinda mengacaukannya, dia bermain-main dengan mata ini.” Si teknisi menunjukan bola mata Yasmin dalam gengamannya.
            Deg! Jantungku tiba-tiba berdenyut tak menentu. Aku tahu, ini karena keterkejutanku, pikiranku bergerak cepat.
            Jadi selama ini seantero dunia ini menyaksikan kehidupan kami lewat mata Yasmin si Android? Jadi semua orang ‘sudah’ tahu akan keberadaanku?
            Semua? Termasuk orang-orang dari hutan Buatan? Orang-orang bertatto kupu-kupu emas, JUGA!
            Tanpa dapat kuhindari tubuhku menggelinjang kejang. Aku akan mengelupas karena aku shock. Padahal selama di rumah ibu Ratija aku tidak pernah mengelupas.
            OH, jangan sekarang! Aku harus segera bergerak!
            Tentu saja aku tak mampu menahannya, karena takdir mengikatku dengan keperihan yang  luar biasa. Setelah sekian lama aku tak mengalaminya, kulitku meluruh.
***





BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: